Bila demikian, artinya banyak manusia dewasa Indonesia yang tidak sepenuhnya lulus fase perkembangan remaja tersebut. Seperti kata pepatah : menjadi tua itu pasti, tapi menjadi dewasa itu pilihan.
Oleh
Alissa Wahid
·4 menit baca
Suatu hari di lounge internasional Bandara Cengkareng (Bandara Internasional Soekarno-Hatta) yang biasanya tenang, dua orang perempuan muda berbincang asyik dengan suara keras. Mereka terlihat tak acuh terhadap sekitarnya. Mereka juga tidak memedulikan pandangan penumpang-penumpang lainnya, yang kesal tapi tak bertindak apa pun. Benak saya pun tersulut dua pertanyaan : mengapa kedua perempuan ini bersuara lantang di ruang tenang, dan mengapa penumpang lain tidak menegurnya walau jelas-jelas merasa terganggu?
Kali lain, saat bertugas sebagai anggota Amirul Hajj 2023, saya membantu Panitia Penyelenggara Ibadah Haji untuk mengingatkan jamaah haji Indonesia untuk tidak mengepak air zamzam dalam koper mereka. Pemerintah Saudi melarang air zamzam masuk dalam bagasi jamaah, dan petugas bandara akan selalu memeriksa dan membongkar bagasi jamaah untuk mengeluarkan air zamzam "selundupan" ini.
Walaupun sudah diingatkan berkali-kali, tetap saja banyak jamaah bersikukuh. Walhasil, para petugas bandara dan petugas haji dibuat repot dengan proses bongkar koper yang memakan energi besar dan waktu yang tidak sebentar. Sungguh kesia-siaan yang membagongkan - meminjam istilah anak muda sekarang. Benak saya tersulut kembali : mengapa orang tetap melakukan tindakan pelanggaran, walau sudah tahu kerepotan yang ditimbulkannya?
Yang lebih menakjubkan adalah beberapa video viral dari perlintasan kereta api di berbagai tempat. Para pengendara terekam memaksa melintasi rel kereta api, walaupun telah melihat tanda kereta api akan segera lewat seperti palang perlintasan yang telah diturunkan atau suara alarm penanda.
Sungguh berat menjadi petugas perlintasan, yang harus turun tangan dan merisikokan keselamatan pribadinya demi mengurus kendaraan-kendaraan yang masih berada di tengah jalan kereta api. Benak saya tidak hanya tersulut tapi terbakar oleh pertanyaan : apa yang ada dalam pikiran para pelanggar perlintasan ini sementara risiko kehilangan nyawa karena tertabrak kereta sedemikian nyata, tidakkah mereka tahu betapa merepotkannya mereka bagi para petugas perlintasan, tidakkah mereka tahu mereka akan membahayakan para penumpang kereta?
Dari manakah berasal perilaku yang tidak mengindahkan kepentingan bersama ini? Atau perilaku yang menimbulkan kerepotan pada banyak orang lain? Atau perilaku yang berisiko mencelakakan diri sendiri dan orang lain?
Sikap tidak peduli pada orang lain ataupun pada kepentingan bersama ini rupanya juga telah lama menjadi perhatian Paus Fransiskus. Di berbagai khotbah, Paus mengingatkan umatnya agar tersadar dari culture of indifference (budaya tak acuh) yang kian menjangkiti warga dunia.
Menurut Paus, budaya tak acuh ini menyebabkan individu dan masyarakat kehilangan empati, terutama terhadap mereka yang terpinggirkan dan terlemahkan. Contoh yang diangkat Paus adalah bagaimana imigran di Eropa diperlakukan dengan buruk. Budaya tak acuh akan membuat ketidakadilan sosial semakin terasa.
Budaya ini terbentuk dari banyaknya warga masyarakat yang rupanya terperangkap di fase perkembangan remaja. Menurut psikolog perkembangan David Elkind, ciri khas fase ini adalah tumbuhnya egosentrisme alias berfokus pada diri sendiri dalam memandang kehidupan. Akibatnya, para remaja merasa dirinya berbeda dengan orang lain dan tidak mengalami nasib yang sama dengan orang lain.
Mereka mengembangkan fabel personal, yaitu keyakinan-keyakinan mengenai dirinya sendiri. Ini memunculkan invincibility fable, yaitu keyakinan bahwa hal-hal buruk tidak akan terjadi pada diri mereka. Keyakinan inilah yang membuat para remaja yakin tidak akan kecanduan pada saat mulai merokok atau mencoba-coba perilaku penuh risiko seperti mengebut di jalan raya atau melanggar perlintasan kereta api.
Bila demikian, artinya banyak manusia dewasa Indonesia yang tidak sepenuhnya lulus fase perkembangan remaja tersebut. Seperti kata pepatah : menjadi tua itu pasti, tapi menjadi dewasa itu pilihan.
Menjadi dewasa membutuhkan ekosistem yang mampu mendukung tumbuh kembang individu. Pendidikan berkualitas menjadi kunci, karena di lingkungan pendidikan, idealnya ekosistem dikelola dengan deliberatif untuk tujuan ini. Sayangnya, di Indonesia, ini menjadi PR tersendiri di tengah arah kebijakan pendidikan yang menekankan pada penyiapan tenaga kerja bukan pada penyiapan "manusia indonesia seutuhnya".
Apalagi, perkembangan kehidupan bangsa membuat warga semakin terdesak untuk memikirkan dirinya sendiri. Walaupun ada perbaikan, sistem bangsa-negara yang ada tidak bisa diandalkan untuk berlaku sama bagi semua pada segala ruang waktu. Misalnya dalam hal penegakan hukum, layanan publik yang tersedia, akses pada pendidikan berkualitas atau kesempatan kerja, dan lain sebagainya. Jangankan memikirkan kehidupan bersama sekitar, memikirkan nasib sendiri saja belum tentu beres. Barangkali ini juga salah satu penyebab perilaku banyak pejabat dan politisi yang berfokus pada diri dan kepentingannya sendiri.
Ini pun masih ditambah dengan kearifan lokal nrimo ing pandum. Koper dibongkar karena air zamzam, itulah nasib. Petugas terpaksa menghabiskan tenaga dan waktu sia-sia untuk membongkar, itulah nasib sebagai petugas. Melanggar perlintasan kereta api lalu mengalami kecelakaan, itulah nasib. Orang lain ikut celaka karena kita, itulah nasib mereka.
Sungguh kita menjelma menjadi orang-orang tidak tahu diri. Sepertinya, serat Ronggowarsito dan ramalan Jayabaya memang telah nyata : ini zaman edan, tidak ikut edan tidak akan kebagian (walaupun berisiko kematian dan kerusakan).