Indonesia akan menemui kegagalan dalam mencapai tujuan kelima Tujuan Pembangunan Berkelanjutan jika praktik perkawinan usia anak tak bisa dicegah. Tersisa waktu enam tahun untuk menurunkan angka perkawinan usia anak.
Oleh
MUKHOTIB MD
·3 menit baca
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No 1/1974 tentang Perkawinan belum bisa berjalan sesuai harapan. Perubahan yang berfokus pada pendewasaan usia perkawinan, sebagai upaya menurunkan angka perkawinan usia anak, kandas dengan pengajuan dispensasi perkawinan.
Dispensi perkawinan merupakan upaya agar mendapatkan izin perkawinan karena pengantin masih di usia anak atau setidaknya-tidaknya belum mencapai usia 19 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU No 6/2019.
Pada 2022, data Pengadilan Agama menunjukkan permohonan dispensasi perkawinan mencapai angka 52.095, yang secara langsung merupakan angka perkawinan anak secara nasional. Alasan tertinggi dispensasi karena cinta sebanyak 34.987 kasus, alasan hamil 13.457 kasus, alasan ekonomi 2.406 kasus, karena intim 2.406 kasus, dan karena jodoh sebanyak 113 kasus.
Dampak perkawinan usia anak bisa terjadi pada ranah sosial, ekonomi, dan kesehatan. Dampak langsung yang akan terasakan dalam perkawinan anak adalah persoalan ekonomi. Keduanya sama-sama belum memiliki pekerjaan sehingga kebutuhan hidup pasangan anak ini akan menjadi tanggungan orangtua masing-masing. Situasi semacam ini tentu saja akan sangat mudah menyulut konflik dalam rumah tangga.
Dalam ranah sosial, misalnya dalam pendidikan, anak tidak bisa lagi melanjutkannya. Sampai saat ini, kebijakan sekolah tak memungkinkan anak mendapatkan hak cuti hamil dan tidak juga membolehkan anak yang sudah menikah untuk masuk sekolah kembali. Bagi mereka yang mengalami kehamilan tak diinginkan (KTD), tak ada pilihan, kecuali melakukan pernikahan melalui dispensasi perkawinan.
Sementara dalam ranah kesehatan, perkawinan anak menempatkan mereka pada posisi rentan kematian saat melahirkan, termasuk anak yang dikandungnya. Lebih dari itu, anak juga rentan mengalami kanker mulut rahim pada masa dewasanya. Dalam kesehatan mental anak juga akan menghadapi konflik dalam rumah tangganya karena kematangan perkembangan psikologis mereka. Pada titik tertentu akan menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga, selain rentan terjadi perceraian.
Lebih dari itu, anak juga rentan mengalami kanker mulut rahim pada masa dewasanya.
Selain berbagai dampak di atas, perkawinan anak merupakan satu bentuk pelanggaran hak anak sesuai yang dijamin dalam UU Perlindungan Anak, Konvensi Hak Anak (KHA), misalnya, hidup, mendapatkan pendidikan, mendapatkan akses informasi dan layanan kesehatan, terutama kesehatan seksual dan reproduksi, bebas dari kekerasan, dan eksploitasi.
Sebab itulah, berbagai upaya menghapuskan perkawinan usia anak dengan alasan apa pun sudah seharusnya dilakukan. Dengan begitu, anak akan bisa menikmati hidupnya, tumbuh dan berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya.
Berbagi peran strategis
Manakala memperhatikan lima alasan yang muncul pengajuan dispensasi, hanya 2.406 kasus yang beralasan ekonomi, tentu ini ekonomi keluarga, biasanya ekonomi keluarga perempuan. Dalam pandangan budaya patriarki, yang menganggap perempuan merupakan beban ekonomi dan menikahkan mereka akan segera membebaskan keluarga dari persoalan ekonomi itu. Adapun alasan sisanya sebanyak 49.689 berkaitan langsung dengan relasi antaranak, hamil, cinta, intim, dan jodoh.
Dengan begitu, strategi utama dalam pencegahan perkawinan anak adalah melakukan pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi (PKSR) dalam tiga layer: anak, keluarga, dan masyarakat dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan secara kolaboratif. Misalnya, Pengadilan Agama benar-benar ketat dan selektif dalam memberikan dispensasi perkawinan. Sementara pejabat pemerintah lainnya, terutama yang terkait dengan anak, mengembangkan berbagai program kreatif di daerah masing-masing.
Organisasi nonpemerintah (ornop) terus mengembangkan berbagai program kreatif dalam memberikan edukasi kepada anak-anak, misalnya dengan mengembangkan berbagai kegiatan interaktif, game board, dan mungkin juga mengembangkan aplikasi. Pendekatan ceramah, penuh dengan aroma moralitas yang menyalahkan anak-anak, tak efektif lagi dalam PKSR.
Ornop juga bisa menjangkau orangtua agar mereka melek hak-hak anak, termasuk hak kesehatan reproduksi yang akan tercerabut dan tidak dapat dinikmati anak. Sebab, sesungguhnya, perkawinan usia anak merupakan situasi yang merampas hak-hak dasar anak itu sendiri.
Guru-guru di sekolah harus memberikan dukungan positif kepada anak dan mengembangkan peer educator (PE) di sekolah masing-masing. Melalui PE ini, anak-anak akan mendapatkan informasi kesehatan seksual dan reproduksi (KSR) yang komprehensif, benar, dan bisa dipertanggungjawabkan. Tanpa PKSR, anak-anak sangat rentan terjebak pada mitos KSR, misalnya melakukan hubungan seks sekali tidak akan bisa mengalami kehamilan dan melompat-lompat setelah melakukan hubungan seks bisa mencegah kehamilan.
Peran strategis lainnya, para tokoh agama, termasuk kiai yang mengasuh pesantren. Mereka bisa melakukan PKSR melalui pesantren dengan memberikan pembelajaran mengenai keluarga dalam Islam dan juga langsung kepada masyarakat melalui majelis taklim di masjid sekitar pesantren. Penyampaian kiai akan lebih bisa diterima karena pengajaran berbasis pada kitab kuning yang merupakan referensi utama dalam pendidikan dan pengajaran di pesantren.
Dengan memberikan PKSR kepada anak, mereka akan mampu mengambil keputusan yang tepat dan bertanggung jawab dalam reproduksinya. Keluarga juga penting mendapatkan PKSR sehingga bisa memberikan dukungan positif kepada anak.
Tujuan kelima dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) adalah menghapuskan semua praktik yang membahayakan, seperti perkawinan usia anak. Artinya, pada akhir tahun 2030, negara-negara dunia harus mampu menghapuskan perkawinan usia anak sebagai praktik yang membahayakan kehidupan dan bahkan mengancam nyawa anak.
Indonesia pun akan menemui kegagalan dalam mencapai tujuan kelima TPB manakala praktik perkawinan usia anak tak bisa dicegah. Masih tersisa enam tahun lagi bagi Indonesia dalam menjalankan berbagai kebijakan dan program untuk menurunkan angka perkawinan usia anak ini. Kerja-kerja kolaboratif dan berbagi peran dalam menjalankan strategi akan menjadi kunci dalam penurunan kasus perkawinan anak ini.