Merdeka dalam Keberagaman
Peringatan kemerdekaan Indonesia tahun ini harus mampu memberikan pesan heterogenitas yang lebih nyata. Sejumlah peristiwa menunjukkan, kita belum merdeka dalam keberagaman.
Tradisi perayaan kemerdekaan RI tahun ini memasuki usia ke-78 tahun. Hiruk-pikuk sambutan masyarakat pun menggelora. Aneka perlombaan ”khas Indonesia” yang menarik juga digelar di segala penjuru Tanah Air. Tradisi ini senantiasa dilakukan dengan penuh rasa sukacita. Kegembiraan ini menunjukkan salah satu variabel kecintaan dan rasa kebanggaan mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Dalam ruang lingkup sederhana, gegap gempita penyambutan yang terjadi juga menjadi simbolisasi hadirnya rakyat dalam perayaan tersebut. Semua berbaur dalam satu pemikiran bersama tentang cara memperingati kemerdekaan dengan berbagai sudut pandang yang ada.
Di antara kemeriahan tradisi yang tergelar, terdapat satu kesepakatan yang harus menjadi renungan bersama. Renungan tersebut bermuara pada pemikiran bahwa Indonesia selalu tetap tegak berdiri sebagai negara yang memiliki banyak keberagaman.
Para pendiri bangsa telah mengikrarkan bahwa bentuk terbaik Indonesia adalah melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa. Sampai saat ini, komitmen kebangsaan masih terpatri meski beberapa kali upaya penggantian ideologi bangsa itu pernah dilakukan. Upaya tersebut sampai kini masih terjadi. Beberapa pola dan cara yang dilakukan tentu berbeda. Ini adalah pengingatan bersama dan bukan untuk memberikan kecemasan bagi semuanya.
Baca juga: Pembaruan Komitmen Kebangsaan
Harus diakui bahwa bermacam opini, misalnya melalui beragam konten, yang sifatnya menggiring pandangan bahwa semua masyarakat berhak menyuarakan pendapatnya sering bersliweran melalui berbagai saluran komunikasi yang ada. Kebebasan tersebut sah dan dijamin undang-undang.
Sayangnya, materi yang disampaikan tidak melalui sudut pandang obyektivitas yang baik. Media sosial yang marwah aslinya digunakan menyambung komunikasi dan berbagai informasi ternyata sering berubah fungsi. Demokratisasi selalu menjadi alasan yang dijadikan pembenaran. Padahal, definisi negara demokrasi tentu tidak memberikan makna ekspresi yang sebebas-bebasnya. Ada batasan-batasan dan norma yang berlaku.
Dunia yang serba digital kerap memberikan pemahaman yang salah bagi sebagian masyarakat. Segala berita yang tersaji melalui internet dianggap sebagai data yang benar. Ini yang harus terus diedukasi.
Kebablasan
Harus diakui bahwa saat ini digitalisasi informasi berkembang sangat cepat. Berbagai platform penyedia layanan berita berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sangat masif. Masivitas ini tentu membuat banyak manfaat. Keterbukaan informasi menjadi dunia yang baru. Kini tidak ada lagi berita yang dapat disembunyikan. Dengan kata lain, aksesabilitas masyarakat akan berbagai informasi menjadi sangat mudah.
Ironisnya, beberapa oknum menggunakan sarana tersebut sebagai penggiringan pemikiran untuk kepentingan pragmatis sesaat, misalnya untuk kepentingan elektoral. Bahkan, beberapa tahun lalu, otoritas keamanan di Indonesia menetapkan beberapa situs berita yang ternyata sengaja memproduksi berita hoaks. Konten yang disebarluaskan adalah berita yang secara vulgar dapat langsung ditelan karena memasuki area spiritual yang mendasar, yakni agama.
Jika edukasi masyarakat tentang ‘kebenaran’ informasi masih belum baik, kesenjangan akibat literasi yang rendah, berita palsu (hoaks) menjadi ancaman.
Peristiwa Cikeusik yang mengusik rasa kemanusiaan pada 6 Februari 2011 yang menyebabkan tiga orang tewas ternyata belum menjadi pengingat. Penyerangan secara brutal terhadap sesama manusia yang secara entitas memiliki keyakinan sama telah menggoreskan luka bahwa beberapa di antara kita belum merdeka dalam keberagaman.
Hal ini menunjukkan bahwa betapa setiap insan memiliki sentimen yang mudah dibakar jika berkaitan dengan kodrat manusia sebagai bangsa yang bertuhan. Apa pun agama mereka, jika Tuhan-nya diganggu, tentu adrenalin para pengikutnya gampang terpacu.
Jika edukasi masyarakat tentang ”kebenaran” informasi masih belum baik, kesenjangan akibat literasi yang rendah, berita palsu (hoaks) menjadi ancaman. Inilah yang harus terus dicerahkan agar setiap diri insan tidak mudah terprovokasi informasi yang tidak jelas, atau dimanfaatkan oknum masyarakat untuk kepentingan tertentu.
Kini usia ke-78 tahun RI telah tiba. Jika dibandingkan tahun sebelumnya, perayaan kemerdekaan tahun ini memiliki semiotika makna yang mendalam. Pertama, beberapa saat lalu telah terbit Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2023 tentang Penetapan Berakhirnya Status Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Indonesia sehingga status faktual Covid-19 berubah menjadi penyakit endemi (kompas.com).
Jadi, sekat-sekat perayaan karena protokoler pandemi benar-benar klir. Interaksi masyarakat dapat berlangsung dengan aman. Aneka lomba dan perayaan tentu lebih semarak. Dengan kata lain, fase pandemi Covid-19 telah dilalui. Secara ekonomi, stabilitas Indonesia berada pada zona yang aman.
Kedua, saat ini, persiapan pesta demokrasi lima tahunan juga dimulai. Berbagai atribut calon anggota legislatif bersliweran di berbagai ruang publik. Program-progam para caleg tersebut terpampang. Uniknya, masih ada di antara mereka yang konsep programnya berada pada tataran persoalan yang sifatnya sangat pribadi, seperti ruang-ruang spiritual yang mestinya menjadi konsumsi sangat pribadi.
Diskursus semacam itu tentu juga bukan merdeka dalam keberagaman. Padahal, sudah saatnya paparan ide atau gagasan pemikiran berlian untuk Indonesia Emas yang ditonjolkan. Oleh karena itu, peringatan kemerdekaan Indonesia tahun ini harus mampu memberikan pesan heterogenitas yang lebih nyata.
Baca juga: Pancasila dan Kesinambungan Berbangsa
Ini penting karena pada Oktober 2023, tahapan penentuan calon presiden tahun 2024 telah memasuki masa pendaftaran. Pada fase ini, setiap tim pemenangan seharusnya benar-benar membawa proposal gagasan dalam konsep kampanye yang dilakukan. Gambaran proyeksi hasil survei suara capres dalam perspektif provinsi mestinya untuk konsumsi internal saja dan bukan untuk dipublikasikan.
Hasil survei tentang capres A menang telak di provinsi B atau capres C akan kalah di provinsi D adalah hal yang kurang tepat. Meskipun itu dilakukan dalam rangka memetakan titik-titik yang harus menjadi konsumsi tim sukses capres, sekali lagi, itu untuk konsumsi internal sehingga potensi pengkotak-kotakan akan diminimalisasi.
Jika ini diabaikan, bukan tidak mungkin ujungnya akan beririsan dengan tema yang membawa sentimen agama, suku, ras, atau golongan, yang mestinya sudah tidak lagi ditampilkan. Tema-tema tersebut cukup menjadi catatan sejarah yang boleh ditengok, tetapi tidak boleh lagi dilihat. Apalagi menjadi rujukan karena bangsa Indonesia harus merdeka dalam keberagaman.
Upaya yang harus dilakukan
Satu yang harus disadari bahwa dalam pesta demokrasi, termasuk pemilihan presiden, satu suara sangat menentukan nasib bangsa ke depan. ”Makelar” politik yang memanfaatkan homogenitas suara-suara pemilih dengan garis ideologi politik tertentu akan tetap ada. Inilah yang harus disadari juga sebagai bagian dari heterogenitas Indonesia. Yang penting klan-klan suara ini tidak menjadikan warga bangsa lupa sejarah lahirnya Indonesia sebagai negara yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Jika edukasi tentang keberagaman terus disuarakan, urusan pemakelaran menggaet suara dengan tema ”jadul” tersebut tentu akan berkurang. Bahkan, lambat laun akan hilang. Setiap insan harus betul-betul menyadari bahwa pilar kebangsaan adalah yang utama sehingga kecerdasan memilih dan memilah berita menjadi bekal yang sangat fundamental dalam mengikuti perkembangan dunia digital, misalnya melalui media sosial.
Peringatan detik-detik proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun ini harus dimaknai sebagai merdeka dalam keberagaman.
Pemilihan dan pemilahan berita ini penting karena sejalan dengan era keterbukaan, postulat filsafat pasca-kebenaran akan mengiringinya. Berita yang salah, jika itu terus digelorakan, akan menjadi benar. Opini sepihak yang hoaks dapat diformulasikan menjadi berita seakan bijak. Ini yang berbahaya. Apalagi jika tema yang dibahas menyenggol persoalan yang sifatnya meneguhkan politik identitas atau sentimen kedaerahan. Dua hal tersebut menjadi bahan pemberitaan yang sumbunya sangat cepat terbakar jika tidak diantisipasi dengan baik.
Harus diakui bahwa pengguna internet di Indonesia berkembang sangat cepat. Pada awal 2023, tercatat 212,9 juta warga yang menggunakan internet dan dari data tersebut, rata-rata mereka menghabiskannya untuk kepentingan medsos 3 jam 15 menit (https://inet.detik.com). Berdasarkan data tersebut, medsos yang paling banyak digunakan adalah media percakapan Whatsapp. Instagram, Facebook, Tiktok, Telegram, Twitter, dan Facebook Messenger (Muhtar, 2023).
Gambaran tersebut menunjukkan betapa populernya penggunaan medsos di Tanah Air. Oleh karena itu, peringatan detik-detik proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun ini harus dimaknai sebagai merdeka dalam keberagaman.
Baca juga: Ke Mana Kita Merdeka
Semua mengetahui bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dengan berbagai heterogenitas yang melingkupinya, baik agama, suku, bahasa, maupun budayanya. Setiap warga bangsa yang menjunjung tinggi keberagaman tentu berpikir bahwa Indonesia Emas 2045 akan dengan mudah terwujud jika setiap elemen bangsa, mulai dari lingkungan keluarga sampai pada para pemimpin negara benar-benar meneguhkan komitmen kebangsaan bahwa Indonesia harus terus tegak berdiri sebagai negara memiliki beragam perbedaan.
Namun, perbedaan yang ada tetap disatukan dalam ikatan semangat kebinekaan, gotong royong, saling menolong, peduli, dan berpandangan bahwa perbedaan yang ada adalah anugerah Yang Kuasa. Inilah makna merdeka dalam keberagaman. Jadi, mari kita gelorakan pikiran ”terus melaju untuk Indonesia maju”.
Ojat Darojat, Rektor Universitas Terbuka