Sebagai warga negara yang patriotik, kita sungguh merasa malu dengan komitmen dan janji kebangsaan yang justru semakin tak berdaya dengan fenomena hedonisme, korupsi, hipokrisi, kerakusan, dan tragedi kemanusiaan.
Oleh
SUKIDI
·4 menit baca
Arah bangsa ini sedang dalam pertaruhan besar. Perjuangan ke arah Indonesia maju menghadapi hambatan serius dengan meluasnya defisit integritas di kalangan para pemimpin republik ini. Mereka bukan sekadar tidak menyadari luasnya kejutan ketidakpastian global, tetapi juga tidak menjiwai kepekaan pada kompleksitas masalah bangsa.
Kepentingan bangsa sering diabaikan demi kesenangan pribadi. Gaya hidup mewah dipamerkan di tengah rakyat miskin yang mendambakan kesejahteraan. Korupsi dilakukan di tengah harapan publik pada penyelenggaraan negara yang bersih dan benar. Hukum digadaikan di tengah kerinduan bersama pada tegaknya keadilan. Bahkan, warganya sendiri pun dibunuh secara biadab dan massal.
Defisit integritas moral, yang sebenarnya berfungsi sebagai penggerak utama di balik kejatuhan suatu bangsa, seperti diuraikan Edward Gibbon dalam karya klasiknya, The History of the Decline and Fall of the Roman Empire (1776 & 1789), tak pernah menjadi peringatan kepada para pemimpin untuk belajar dari sejarah peradaban dunia agar Indonesia tidak terjatuh sebagai bangsa yang mengalami kemerosotan moral.
Bahkan, mereka juga tidak mau belajar dari keteladanan ibu dan bapak pendiri bangsa yang mendirikan negara Indonesia modern dengan pikiran-pikiran brilian dan integritas moral yang luhur. Akibatnya, mereka tidak pernah mampu mewujudkan cita-cita Indonesia sesuai impian para pendirinya. Ada jurang yang lebar antara Indonesia yang menjadi impian para pendiri bangsa dengan kenyataan Indonesia sekarang ini, terutama dari aspek persatuan, kesejahteraan, dan keadilan.
Saatnya kita terpanggil untuk menegakkan kembali pembaruan komitmen kebangsaan yang telah lama pudar. Sebagai warga negara yang patriotik, kita sungguh merasa malu dengan komitmen dan janji kebangsaan yang justru semakin tak berdaya dengan fenomena hedonisme, korupsi, hipokrisi, kerakusan, dan tragedi kemanusiaan.
Saat berkunjung ke Indonesia pada 1999, Benedict Anderson menyerukan slogan politik untuk ”hidup rasa malu selamanya” (Long Live Shame!). Seruan kepada kita semua untuk merawat rasa malu ini penting untuk ditegaskan secara jelas karena, menurut Anderson (1999), ”Tidak ada seorang nasionalis sejati yang tidak mampu merasa malu jika negara/pemerintahnya melakukan tindak kejahatan, terutama ketika pemerintah membantai warganya sendiri”. Inilah yang sepenuhnya dan setulusnya kita rasakan dengan menjalani ”hidup rasa malu selamanya” atas tragedi pembantaian massal warga negara yang harkat dan martabat kemanusiaannya diperlakukan secara tidak manusiawi.
Sebagai bagian dari kesadaran hidup bersama yang saling terkoneksi dan sekaligus tergantung satu dengan yang lain, setiap warga negara merasakan keperihan moral dan luka batin yang teramat dalam atas penderitaan kemanusiaan yang dirasakan oleh warga lainnya. Setiap warga yang patriotik dan humanistik pasti merasakan penderitaan warga lainnya, yang terbunuh di tangan aparatus negara yang semestinya menjaga keamanan warganya. ”Sebagai bagian dari komunitas imajiner,” lanjut Ben Anderson (1999), ”setiap orang harus merasakan ketidaknyamanan moral dalam setiap hal buruk yang terjadi atas nama bangsa.”
Ini yang sungguh kita rasakan dan tunjukkan kepada publik luas sebagai protes atas tindak kejahatan luar biasa melawan kemanusiaan yang dilakukan kepada warganya sendiri. ”Jika rasa malu ini dapat berkembang secara sehat di Indonesia,” demikian harapan Ben Anderson (1999), ”orang-orang Indonesia akan memiliki keberanian untuk menghadapi ketakutan” dan tindak kejahatan atas nama apa pun.
Perjalanan bangsa ini memang harus terus dikawal secara bersama agar nasibnya tidak bergerak di simpang jalan. Seperti halnya Soekarno, melalui Frans Seda, mengamanahkan nama Kompas (1965) sebagai ”pemberi arah dan jalan dalam mengarung lautan atau hutan rimba” (Jakob Oetama, 2011), Indonesia pun butuh ”Kompas” sebagai pemberi arah dan panduan hidup bernegara secara bersama-sama untuk mengawal dan menentukan masa depan Indonesia agar bangsa ini tidak berada di simpang jalan dan tidak dibajak lagi oleh pemimpin yang mengalami defisit integritas.
Kompas itu adalah kita bersama, pemimpin dan warganya, yang harus selalu berpegang teguh pada komitmen kebangsaan yang diprioritaskan jauh di atas kepentingan pribadi dan golongan. Komitmen kebangsaan ini harus ditransformasikan secara gradual dan cepat pada kemajuan Indonesia dan kesejahteraan rakyatnya.
Proyek ini hanya mungkin tercapai dengan sukses jika bangsa ini dinakhodai oleh pemimpin yang bukan sekadar menjiwai keteladanan hidup dan pikiran-pikiran brilian para pendiri bangsa, melainkan juga menunjukkan keteladanan moral yang luhur dengan kesadaran penuh tentang arah dan masa depan Indonesia yang adil, sejahtera, dan demokratis.