Perlu penyegaran kolektif arah komitmen kebangsaan kita. Ini dapat direalisasikan dengan komitmen menjadikan Pancasila sebagai barometer bersama mengkritisi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh
HENDRO MUHAIMIN
·4 menit baca
Mesin-mesin politik sudah mulai adu panas, pertanda tensi politik segera memuncak. Gagasan-gagasan kebangsaan jangan sekadar lewat dan timbul tenggelam. Timbul saat membutuhkan dan tenggelam saat diminta. Setidaknya, publik harus diberi keyakinan seperti apa arus politik nanti akan membawa komitmen demokrasi kebangsaan di atas dasar negara, Pancasila. Siapa pun representasi kekuasaan yang terpilih nanti, ia harus memiliki jawaban, setidaknya dugaan, terhadap pertanyaan ini: ”Bagaimana kesinambungan ideologi berbangsa kita?”
Dalam konteks ini, penting untuk memahami gagasan Acemoglu dan Robinson yang berjudul Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty. Gagasan kritis mereka telah memberikan suatu kesimpulan bahwa hal yang menyebabkan kemajuan suatu negara tidak ditentukan oleh faktor budaya, agama, iklim, penyakit tropis, dan faktor geografis. Dari pandangan mereka, kemajuan serta kemunduran suatu ekonomi negara juga tidak ditentukan oleh nilai-nilai dan etika yang diambil oleh negara.
Kemajuan dan kemunduran suatu negara ditentukan oleh desain institusi politik serta ekonominya. Negara yang berpotensi maju adalah negara yang memiliki sistem ekonomi politik yang inklusif, sedangkan negara yang memiliki sistem ekonomi politik yang ekstraktif tinggal menunggu waktu untuk terseret ke dalam keterpurukan, seperti kemiskinan, instabilitas sosial politik, dan bahkan menuju predikat sebagai negara gagal.
Melihat Fragile State Index (Indeks Negara Rentan) 2023 yang dirilis The Fund for Peace menempatkan Indonesia di peringkat ke-98 dari 179 negara. Indeks ini telah mengukur kerentanan suatu negara terhadap potensi konflik atau perpecahan. Dalam indeks tersebut, semua indikator yang mengukur Indonesia ditampilkan hampir menunjukkan stagnasi, termasuk indikator hak asasi manusia yang berkaitan dengan kebebasan berbicara, kebebasan beragama, dan toleransi.
Kondisi ini sekaligus memberikan gambaran bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi masih memiliki sejumlah pekerjaan rumah memperbaiki toleransi antarwarga dan tuntutan hak-hak kebaikan publik. Di balik itu, kita masih memiliki harapan dari capaian Indonesia yang masuk jajaran negara yang ketahanannya dalam menghadapi tekanan sosial, ekonomi, dan politik dinilai cukup membaik dalam satu dekade terakhir.
Melihat data dan analisis tersebut, menjadi bahan refleksi bersama bahwa tidak ada satu pun negara bangsa yang memiliki keyakinan dirinya sempurna, sekaligus menunjukkan tidak mudahnya menumbuhkan rasa dan kegairahan berbangsa di tengah-tengah keragaman dan persoalan yang begitu kompleks.
Gagasan keindonesiaan
Negara-bangsa Indonesia adalah gagasan luar biasa yang nyaris mustahil terjadi. Sepintas, bahan dan rumusan kesatuan nasional Indonesia tampak tak menjanjikan. Misalnya sejarah Indonesia penuh pemberontakan dan sering timbul konflik karena perbedaan ideologi, suku, ras, dan agama.
Namun, Indonesia sebagai konsep dan negara-bangsa terus ada, bahkan mungkin sedang mulai berjaya kembali. Kenyataan tersebut turut diungkap oleh Robert Edward Elson dalam The Idea of Indonesia: A History, ia merangkum segala problematika tersebut, dengan mengatakan bahwa penentuan hakikat negara dan bentuk bangsa adalah tugas kemerdekaan, dan pekerjaan itu panjang, berat, dan sering diwarnai kekerasan, dan masih belum tuntas sampai sekarang.
Sebenarnya Indonesia sebagai sebuah negara bangsa masih gamang untuk mengonsepsikan secara jelas dan filosofis apa itu Indonesia dan apa tujuan dari adanya Indonesia dan bagaimana caranya mencapai tujuan itu.
Refleksi kritis yang diberikan oleh Elson memberikan suatu fenomena bahwa sebenarnya Indonesia sebagai sebuah negara bangsa masih gamang untuk mengonsepsikan secara jelas dan filosofis apa itu Indonesia dan apa tujuan dari adanya Indonesia dan bagaimana caranya mencapai tujuan itu. Lebih lagi, fenomena terbaru yang didapatkan dari hasil survei Setara Institute dan Forum on Indonesian Development (Infid) telah mencatat 83,3 persen siswa SMA menganggap Pancasila bukan ideologi permanen dan bisa diganti.
Fenomena mengenai pandangan usang ini perlu segera disegarkan bahwa warga negara sebagai obyek pasif tak berdaya harus diubah dengan paradigma yang memosisikan warga negara sebagai subyek kreatif. Oleh karena itu, perlu penyegaran kolektif mengenai arah komitmen kebangsaan kita. Penyegaran bisa dilakukan melalui reaktualisasi wawasan kebangsaan secara optimal serta diiringi perubahan paradigma dan metodologi implementasinya.
Salah satu jalan ke luar yang ideal, strategis, dan rasional adalah penyegaran (rekonstruksi) nilai-nilai kebangsaan dalam bingkai besar keindonesiaan. Upaya penyegaran ini diharapkan mampu mempercepat proses kebangsaan Indonesia menjadi negara bangsa yang dicita-citakan Pancasila.
Penyegaran ini harus dilandaskan kepada komitmen kebangsaan yang juga harus dibarengi dengan wujud konsistensinya tanpa ragu kepada tuntutan-tuntutannya. Untuk itu dalam konteks penyegaran terhadap komitmen kebangsaan, kesadaran bersama perlu digugah kembali. Bahwa eksistensi suatu negara bangsa sesungguhnya ada karena kesepakatan, komitmen, dan tujuan hidup bersama.
Proses pemanduan ini, terutama dilakukan oleh segenap warga masyarakat melalui kontrol dan masukan kritis dan cerdas dalam rangka ”menyelamatkan” krisis kepercayaan terhadap ideologi Pancasila di era pertarungan gagasan. Disadari bersama bahwa Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara telah dikepung ideologi-ideologi lain dan menuju polarisasi yang intensif.
Semoga gagasan-gagasan kebangsaan tidak lagi dibahas jauh di pinggiran, dalam ruang-ruang sempit dan pengap. Apalagi dibajak para petualang politik yang tidak bertanggung jawab yang memainkan arus kebangsaan yang timbul dan tenggelam dalam medan demokrasi ini.
Ideologi kerja
Pancasila sebagai ”ideologi kerja” memang perlu segera dirumuskan lebih utuh, dapat dipahami, dan diterapkan oleh warga negara-bangsa, tidak sebatas menjadi ideologi label yang serba formalitas seremonial.
Arsip UGM pada September 1986 pada Forum Diskusi Filsafat UGM menyelenggarakan Seminar Nasional ”Pancasila sebagai Orientasi Pengembangan Ilmu”. Dalam seminar itu, Profesor Teuku Jacob mengatakan, ”Kalau kita benar-benar ingin agar Pancasila tetap lestari, ia harus diinterpretasikan dalam konteks waktu dan tempat ia berada, tidak kehilangan hakikatnya. Pancasila harus dipakai dalam menyebarkan dan melestarikan dirinya. Dengan perkataan lain, Pancasila jangan sampai terpakai justru untuk menentang dirinya sendiri, karena dengan demikian nilai-nilainya akan sirna, sebab ia berasal dari keyakinan dan ketaatan pendukungnya.”
Sebagai rujukan bersama, dalam tantangan arus deras tensi politik ini, Pancasila hendaknya dimaknai dan dijadikan tempat kembali sekaligus titik berangkat semua komponen dalam membangun demokrasi dan sekaligus menghindarkan para petualang politik yang mengancam keutuhan bangsa.
Penyegaran nilai-nilai kebangsaan dapat direalisasikan dengan komitmen menjadikan Pancasila sebagai barometer bersama mengkritisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Semangat ini harus tetap menyala di bawah kesadaran bahwa proses menjadi bangsa adalah perjalanan panjang yang tak pernah selesai.
Pandangan kritis dari Acemoglu dan Robinson tentang negara gagal sebaiknya kita tempatkan sebagai alarm bersama untuk disadari dan selangkah demi selangkah mampu menuju negara-bangsa yang sesuai cita-cita bersama. Di sinilah perlunya langkah-langkah untuk mengedepankan semangat persatuan dan kebangsaan yang bersumber dari ideologi yang kita miliki, yakni Pancasila.
Sudah 78 tahun lahirnya dasar negara Pancasila memberikan refleksi besar dalam menjamin kematangan demokrasi kita. Bahwa sejarah tak akan berulang, tetapi kita bisa melindungi nilai-nilai kebangsaan kita dengan belajar dari sejarah.