UU Kesehatan, ODGJ, dan Kesehatan Jiwa
Pencabutan UU Kesehatan Jiwa dilebur ke UU Kesehatan 2023 dikhawatirkan membuat upaya perbaikan masalah kesehatan jiwa mandek. Masalah kesehatan jiwa terus meningkat, karena itu butuh infrastruktur regulasi yang kuat.
”We need never be hopeless, because we can never be irreparably broken”. (John Green, 2008)
Undang-Undang Kesehatan 2023 resmi diberlakukan dan UU Kesehatan Jiwa Nomor 18 Tahun 2014 resmi dicabut, dilebur ke dalam UU Kesehatan 2023.
Kekhawatiran para profesional, pemerhati, dan konsumen kesehatan jiwa atas penghapusan UU Kesehatan Jiwa kini terjadi. Terbayang dengan diperasnya 91 pasal UU Kesehatan Jiwa menjadi 12 pasal dalam UU Kesehatan 2023 upaya perbaikan masalah kesehatan jiwa menjadi mandek. Bahkan pesimisme merebak di kalangan profesional maupun para pengguna layanan kesehatan jiwa. Akankah kondisi kesehatan jiwa di Indonesia malah memburuk?
Baca juga: Kesehatan Jiwa Bangsa, Sudahkah Menjadi Prioritas?
Alasan pencabutan UU Kesehatan Jiwa sulit dimengerti. Isi UU Kesehatan Jiwa tidak ada yang bertentangan dengan alasan yang didengungkan pemerintah dalam sosialisasi RUU Kesehatan omnibus law. Tidak seperti UU lain yang dicabut, dalam naskah akademik RUU Kesehatan omnibus law, tidak disebutkan urgensi penghapusan UU Kesehatan Jiwa.
Namun, kekhawatiran ini tidak bisa diperdebatkan lagi. UU Kesehatan sudah sah dan kini perlu memikirkan bagaimana memastikan upaya perbaikan layanan kesehatan jiwa dengan perangkat regulasi sederhana yang ada.
Ancaman hilangnya momentum
Kesehatan jiwa sudah lama tertinggal dan terabaikan. Hingga kini mudah menemukan kasus pemasungan, penelantaran, pelanggaran HAM, dan diskriminasi terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Akses pengobatan dan ketersediaan layanan masih terbatas. Stigma dan literasi yang buruk tentang kesehatan jiwa masih tinggi.
Beberapa kasus terkini dapat menunjukkan urgensi masalah kesehatan jiwa. Di Banten, empat anak belia menganiaya dan membunuh ODGJ, di Jember seorang ibu terindikasi ODGJ putus berobat, kambuh dan membunuh dua anaknya sebelum bunuh diri.
Di Makassar, seorang remaja siswa sekolah putra pejabat bunuh diri melompat dari gedung sekolah. Juga kita masih ingat kisah pilu di tengah Ibu Kota, Ibu Eni yang mengisolasi diri lama lebih dari 11 tahun yang membuat pendidikan anak dan rumah mewahnya terbengkalai.
Akses pengobatan dan ketersediaan layanan masih terbatas. Stigma dan literasi yang buruk tentang kesehatan jiwa masih tinggi.
Data Riset Kesehatan Dasar 2018 seharusnya bisa menggerakkan perbaikan layanan kesehatan jiwa. Gangguan depresi 6,1 persen dan masalah mental emosional mencapai 9,8 persen populasi usia dewasa, dan sebagian besar (91 persen) penderita depresi tidak berobat.
Tahun lalu, Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) melaporkan bahwa lebih dari sepertiga remaja (34,9 persen) mengalami masalah mental emosional dalam 12 bulan terakhir, dan sangat sedikit (2,6 persen) yang pernah datang ke layanan kesehatan dan konseling. Laporan Global Burden of Disease (2019) menunjukkan peningkatan beban gangguan jiwa, dari peringkat 16 pada tahun 1990 menjadi peringkat 9 di tahun 2019.
Jelas masalah kesehatan jiwa sangat besar dan terus meningkat. Karena itu, infrastruktur regulasi yang kuat sangat dibutuhkan.
Meski belum maksimal, UU Kesehatan Jiwa paling tidak telah secara bermakna membangun momentum perbaikan layanan dan pelindungan terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). UU Kesehatan Jiwa telah menggerakkan sektor lain membawa layanan kesehatan jiwa yang lebih baik.
Kementerian Sosial telah ikut mencanangkan program bebas pasung dan perbaikan panti yang menampung ODGJ. Kementerian lain dikomandoi Kemenko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan mulai melirik program kesehatan jiwa. Kemenkum HAM telah melakukan penelitian dan kajian tentang masalah kesehatan jiwa dan membentuk pokja Penghormatan, Pelindungan, Pemenuhan, Penegakan, dan Pemajuan HAM ODGJ.
Baca juga: Kesehatan Jiwa bagi Semua, Antara Asa dan Realita
Komnas HAM, Ombudsman RI, dan Komnas Perempuan telah membuat penelitian dan kajian untuk mendorong urgensi perbaikan layanan di rumah sakit jiwa dan panti rehabilitasi. Bappenas sejak awal tahun ini mulai menyusun langkah untuk meningkatkan layanan kesehatan jiwa. Juga berbagai pemerintah daerah yang selama ini ikut abai, kini telah mulai menyusun program kesehatan jiwa dan bahkan beberapa telah dan akan menerbitkan peraturan daerah atau peraturan gubernur tentang kesehatan jiwa.
Momentum lain terjadi di tengah masyarakat. Harian Kompas pada 10 Juli lalu menuliskan rangkaian kondisi kesehatan jiwa di Indonesia, dan menunjukkan momentum positif ini. Lembaga swadaya masyarakat kesehatan jiwa muncul dan berkembang.
Kelompok masyarakat ini, dengan caranya sendiri, membantu meningkatkan kesadaran pentingnya kesehatan jiwa serta mendorong pelindungan terhadap ODGJ dan layanan kesehatan jiwa yang lebih baik. Inisiatif individu-individu di daerah-daerah telah muncul dalam membantu menyediakan berbagai kegiatan rehabilitasi ODGJ.
Di Kementerian Kesehatan, UU Kesehatan Jiwa tidak mendorong peningkatan anggaran kesehatan jiwa secara bermakna, tetapi program kesehatan jiwa muncul dari dengan cara lain, seperti adanya indikator kesehatan jiwa dalam Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK), program gerakan masyarakat sehat, serta tercantumnya indikator kesehatan jiwa pada Standar Pelayanan Minimal Kesehatan. Jelas UU Kesehatan Jiwa secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi terhadap berbagai momentum ini.
Kementerian Kesehatan berjanji merampungkan semua peraturan pemerintah (PP) terkait kesehatan jiwa dalam waktu singkat. Taruhlah PP selesai sesuai janji, tetapi apakah PP mampu meneruskan momentum positif kesehatan jiwa?
Dengan UU Kesehatan Jiwa yang memiliki sanksi bagi pihak yang tidak patuh serta mampu menarik program dari sektor di luar kesehatan, masalah pelindungan ODGJ dan layanan kesehatan jiwa tersendat-sendat. Seumpama masalah kesehatan jiwa adalah gunung tinggi yang harus diratakan, UU Kesehatan Jiwa adalah buldoser, sementara PP adalah alat kecil layaknya cangkul. Tentu upaya meratakan gunung akan terhambat dan melambat.
Anggaran kesehatan jiwa di Indonesia paling rendah di negara berpenghasilan menengah dan rendah lain.
Kini perlu antisipasi untuk melanjutkan momentum positif dalam pelindungan ODGJ dan perbaikan layanan kesehatan jiwa dengan perangkat regulasi yang lebih sederhana ini. Menyusun PP yang kuat, mengikat, dan mampu laksana adalah hal terdekat yang perlu dilakukan. Kementerian Kesehatan perlu menggunakan kesaktian kembali untuk mendorong kementerian lain membahas PP dengan cepat. Ini tantangan serius mengingat kementerian lain tentu memprioritaskan agenda pembahasan regulasi kementerian masing-masing.
Untuk memastikan momentum perbaikan terus berjalan cepat, Kementerian Kesehatan dapat meningkatkan anggaran untuk kesehatan jiwa. Untuk diketahui, anggaran kesehatan Jiwa di Indonesia paling rendah di negara berpenghasilan menengah dan rendah lain. Rendahnya anggaran adalah salah satu alasan penting yang membuat UU Kesehatan Jiwa kurang maksimal.
Berbagai organisasi sudah bersiap melakukan judicial review. Namun, upaya ini tentu akan memakan waktu lama dan biarlah para ahli hukum kesehatan yang mengupayakannya. Strategi lain adalah memaksimalkan undang-undang lain yang terkait kesehatan jiwa, seperti UU Penyandang Disabilitas, UU HAM, UU Perlindungan Anak, dan lainnya dalam advokasi pelindungan dan peningkatan layanan kesehatan jiwa.
Perlu mengulang sejarah?
Kita memiliki UU Kesehatan Jiwa pertama pada 1966. Pemikiran pemerintah saat itu sangat visioner, melebihi pemikiran banyak negara maju saat itu yang belum memiliki regulasi khusus tentang kesehatan jiwa. UU Kesehatan Jiwa 1966 ini sukses mendorong penyediaan rumah sakit jiwa (RSJ) di hampir semua provinsi.
Anggaran kesehatan jiwa di kementerian tidak kalah dengan anggaran di direktorat lain. Berbagai program kesehatan jiwa masyarakat juga berjalan didorong oleh anggaran yang memadai. UU Kesehatan Jiwa 1966 ini juga mendorong Menteri Dalam Negeri saat itu untuk memerintahkan semua kepala daerah melarang praktik pasung di wilayah masing-masing. Membuktikan regulasi setingkat undang-undang mampu menggerakkan sektor lain.
Baca juga: Masa Depan Kesehatan Jiwa Kita
Sayangnya, UU Kesehatan Jiwa 1966 ini dicabut dan dilebur dalam UU Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 dan UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009. Banyak catatan menunjukkan sejak hilangnya UU Kesehatan Jiwa, kondisi kesehatan jiwa di Indonesia tidak banyak berkembang.
Atas inisiatif DPR tahun 2014, UU kesehatan Jiwa muncul kembali untuk memastikan penanganan masalah kesehatan jiwa yang lebih serius. Namun sejarah berulang, kini UU Kesehatan Jiwa untuk kedua kalinya dicabut.
Bisa saja DPR berikutnya berinisiatif melahirkan kembali UU Kesehatan jiwa, meneruskan pengulangan sejarah. UU ini bisa muncul dengan nama lain, seperti UU Perlindungan dan Jaminan Penanggulangan Orang dengan Gangguan Jiwa. Nama ini mencerminkan upaya afirmasi dari pasal dalam UUD yang tidak berjalan dengan baik sehingga perlu didorong dengan UU. Lintas sektornya langsung terlihat, dan (mudah-mudahan) tidak dengan mudah dicabut oleh kementerian mana pun.
Irmansyah, Peneliti Ahli Utama BRIN, Ketua Jaringan Rehabilitasi Psikososial Indonesia