Kesehatan Jiwa Bangsa, Sudahkah Menjadi Prioritas?
Kesehatan jiwa seharusnya menjadi prioritas program pembangunan manusia karena sulit menyiapkan manusia unggul tanpa jiwa yang sehat. Menilik berbagai kasus kekerasan, mungkin waktunya melakukan evaluasi program.
Berita tentang kekerasan akhir-akhir ini makin membuat miris dan susah dipahami nalar. Kekerasan tak pandang bulu, merentang dari usia muda sampai lanjut tanpa melihat status sosial dan jenis kelamin.
Tua-muda, kaya-miskin, laki-laki ataupun perempuan, bisa dengan mudah kita dapatkan kasus-kasus tersebut di media sosial.
Penganiayaan Mario Dandy terhadap David Ozora yang sedang dalam proses persidangan saat ini dan penganiayaan Aditya Hasibuan terhadap Ken Admiral di Medan adalah contoh viral kekerasan antar-remaja dari keluarga berada dan aparatur sipil negara bermasalah.
Tidak hanya kekerasan fisik, tapi juga seksual. Kasus-kasus perkosaan yang sangat memilukan terjadi pada sejumlah korban, baik laki-laki maupun perempuan. Khususnya anak perempuan. Harian Kompas, 21 Juni 2023, mengupas satu halaman penuh upaya melawan kebiadaban predator seksual.
Tulisan ini dimulai dengan kekejian seorang lansia laki-laki berumur 65 tahun yang tega memerkosa sampai lima kali seorang bocah perempuan sembilan tahun di Cipayung, Jakarta Timur. Trauma yang diakibatkannya membuat korban tidak ingin jadi perempuan, ia ingin operasi menjadi laki-laki.
Baca juga : Siswa Diculik Guru di Tangsel Cermin Buruknya Sistem Keamanan Sekolah
Kekerasan terjadi karena adanya relasi kuasa. Mereka yang merasa kuat melakukan apa yang menurutnya pantas untuk dilakukan pada yang lemah. Kelompok lemah mencakup tidak hanya perempuan, miskin, dan anak sebagai korban, tetapi juga semua kelompok yang tidak diuntungkan (disadvantaged group), termasuk LGBTQ dan mereka yang hidup dengan disabilitas.
Salah satu berita terakhir yang sangat memilukan adalah perilaku keji empat remaja di Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, terhadap seorang dengan disabilitas psikososial atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Hanya karena kesal pernah dilempar batu oleh ODGJ yang juga mempunyai keterbatasan bicara dan mendengar, ia bersama tiga temannya mengikat dan menyiksa korban selama tiga hari kemudian membakarnya sampai tewas.
Membaca judul beritanya di media saja membuat sebagian orang bahkan tidak berani membaca isinya.
Meluruskan makna kesehatan jiwa
Kesehatan jiwa tidak hanya berbicara tentang ODGJ.
Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa menyatakan, kesehatan jiwa adalah ”kondisi di mana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial, sehingga individu tersebut menyadari kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya”.
Merujuk pada definisi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kesehatan jiwa adalah kemampuan untuk mengatasi tekanan, dalam hal ini tekanan hidup atau stres yang normal, dalam hidup keseharian individu.
UU yang sama menyatakan bahwa mereka yang mempunyai masalah perkembangan fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup disebut sebagai orang dengan masalah kejiwaan (ODMK).
Dari sini jelas diketahui bahwa kesehatan jiwa tidak hanya berbicara tentang gangguan jiwa (ODGJ) atau yang oleh masyarakat sering disebut ”gila”.
Kesehatan jiwa lebih dari itu, karena sebetulnya tiada kesehatan tanpa kesehatan jiwa. Demikian yang telah ditegaskan oleh WHO. Maka, penyederhanaan makna kesehatan jiwa hanya pada ODGJ membuat kita kecolongan pada berbagai masalah sosial yang tak henti-henti terjadi dalam masyarakat.
Maka, penyederhanaan makna kesehatan jiwa hanya pada ODGJ membuat kita kecolongan pada berbagai masalah sosial yang tak henti-henti terjadi dalam masyarakat.
Dengan definisi ODMK di atas, kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh Mario, Aditya, empat remaja Lebak, serta warga lansia Cipayung hanya merupakan contoh betapa besarnya masalah kesehatan jiwa di Indonesia yang patut mendapatkan perhatian.
Penulis merasa yakin bahwa berita-berita yang muncul dan dilaporkan hanyalah a tip of an iceberg alias pucuk dari sebuah gunung es yang amat besar.
Presiden Joko Widodo telah mencanangkan Visi Indonesia 2045 dengan peta jalan pembangunan sumber daya manusia (SDM) menuju Indonesia unggul. Dalam pidatonya pada Sidang Tahunan MPR 2018 ditegaskan bahwa ”Membangun manusia Indonesia adalah investasi kita untuk menghadapi masa depan dan melapangkan jalan menuju Indonesia maju. Kita siapkan manusia Indonesia menjadi manusia unggul sejak dalam kandungan sampai tumbuh mandiri, juga meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarganya” (https://www.setneg.go.id).
Berbagai bentuk pendidikan dan pembangunan karakter telah disusun dan dilaksanakan. Jika menilik kasus kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini dengan bentuknya yang makin tidak berkemanusiaan, mungkin inilah waktunya untuk melakukan evaluasi, apa yang salah dengan program-program yang selama ini berjalan.
Di akhir pemerintahan Jokowi, evaluasi sangat dibutuhkan untuk kemudian hasil evaluasi bisa diserahkan kepada presiden berikutnya untuk diperbaiki dan dikembangkan.
Menurut hemat penulis, kesehatan jiwa seharusnya menjadi salah satu prioritas program pembangunan manusia karena sulit menyiapkan manusia unggul tanpa jiwa yang sehat.
Pembangunan kesehatan jiwa sebagai prioritas ini juga selaras dengan tema Hari Kesehatan Jiwa Sedunia tahun 2022, yaitu ”Make Mental Health and Well Being for All a Global Priority” atau menjadikan kesehatan jiwa bagi semua sebagai prioritas global.
Tantangan
Setidaknya ada dua tantangan besar ke depan. Pertama, sejak diluncurkan sampai saat ini, UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa belum ada aturan turunannya, alias mandul. Padahal, UU ini akan dianulir jika RUU Kesehatan disahkan.
Namun, ada sejumlah pasal penting UU Kesehatan Jiwa yang diadopsi dalam RUU Kesehatan, dan semoga yang sedikit ini tidak sirna karena tanpa aturan turunan [lagi].
Kedua, masalah kesehatan jiwa sepertinya bukan masalah seksi yang layak untuk dijadikan agenda kampanye para calon wakil rakyat. Sempitnya pemahaman bahwa kesehatan jiwa adalah gangguan jiwa atau sakit jiwa mengakibatkan banyak calon anggota legislatif (caleg) enggan mengusung masalah kesehatan jiwa dalam agenda politiknya.
Yang terjadi malah kasus-kasus gangguan jiwa pada caleg yang gagal terpilih di sejumlah wilayah. Bahkan, rumah sakit sampai perlu menyiapkan ranjang khusus untuk caleg gagal. Lalu, manusia Indonesia unggul seperti apa yang akan disiapkan kalau gagal nyaleg saja jadi terganggu jiwanya?
Oleh karena masalah kesehatan jiwa sangat kompleks, perlu kerja sama lintas sektor dan disiplin serta melibatkan masyarakat, termasuk ODMK dan ODGJ. Nihil de nobis, sine nobis atau nothing about us without us. Artinya, kebijakan apa pun tidak ada artinya tanpa melibatkan partisipasi masyarakat yang terdampak oleh kebijakan itu.
Oleh karena masalah kesehatan jiwa sangat kompleks, perlu kerja sama lintas sektor dan disiplin serta melibatkan masyarakat, termasuk ODMK dan ODGJ.
Sebagaimana ditengarai oleh berbagai kalangan, omnibus RUU Kesehatan sejatinya merupakan usulan pemerintah yang dititipkan kepada DPR dan kurang melibatkan masyarakat, khususnya tenaga kesehatan.
Hal ini mengakibatkan terjadinya demonstrasi oleh para tenaga kesehatan yang merasa dirugikan oleh beberapa pasal yang dirumuskan. Kalau tenaga kesehatan saja merasa tidak begitu dilibatkan, apalagi mereka yang terpinggirkan: ODGJ dan keluarganya.
Lenyapnya pasal mandatory spending, yaitu masing-masing minimal 10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pemerintah pusat dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pemerintah daerah di luar gaji, menjadikan RUU Kesehatan seperti macan ompong.
Di tingkat pusat, saat ini saja dengan aturan yang ada, yaitu UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, anggaran kesehatan minimal 5 persen dari APBN di luar gaji. Dari 5 persen ini, anggaran untuk program kesehatan jiwa tidak sampai 1 persen dari seluruh program kesehatan nasional.
Angka riilnya Rp 35 miliar-Rp 40 miliar setiap tahun. Tidak jauh beda dengan uang tunai yang disimpan di brankas Rafael Alun Trisambodo, yakni Rp 37 miliar.
Maka bisa disimpulkan, menjadikan kesehatan jiwa sebagai prioritas dalam pembangunan manusia Indonesia yang unggul masih berupa wacana. Indah untuk diucapkan, namun realisasinya beda tipis dengan mission impossible.
Eunike Sri Tyas Suci, Dosen Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; Anggota Pengurus Jaringan Rehabilitasi Psikososial Indonesia (JRPI)