Narasi Sindir-menyindir
Peristiwa sindir-menyindir dalam kampanye politik diyakini menjadi bumbu penyedap dalam hiruk-pikuk memperebutkan suara calon pemilih jelang Pemilu 2024.
Narasi sindir-menyindir segera menampakkan wajah aslinya jelang perhelatan Pemilu 2024. Hal itu diperkuat dengan realitas media yang mencatat peningkatan tensi aktivitas komunikasi politik sindir-menyindir. Siapa pelakonnya?
Jejak digital menorehkan nama bakal calon presiden bersama jenama partai politik yang mengusungnya. Jejak digital lainnya merekam proses komunikasi politik sindir-menyindir lewat statistik algoritma yang berkumandang lewat media sosial atau yang diamplifikasikan lewat ruang publik.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Dalam perspektif budaya visual, media sosial, serta ruang publik sengaja dipilih sebagai gelanggang teater guna mempertontonkan drama sindir-menyindir. Bangunan narasi dan storytelling sindir-menyindir secara konotatif ditujukan kepada seteru politik mereka.
Wujud verbal narasi sindir-menyindir itu di antaranya berbunyi: ”... perubahan, meneruskan, dijegal, parkir, banjir, rekam jejak, menculik, dijagokan, cawe-cawe….” Semua diksi sindir-menyindir di atas selalu didengungkan parpol dan bakal calon presiden saat melakukan proses komunikasi politik di medsos ataupun di ruang publik.
Baca juga: Komunikasi Politik 2024
Diksi dan narasi sindir-menyindir dalam proses komunikasi politik dimitoskan sebagai senjata pembunuh lawan politiknya. Diksi dan narasi sindir-menyindir dicatat sebagai jejak peradaban politik. Hal itu menjadi catatan sejarah milik partai politik pengusung bakal calon presiden saat menjalankan komunikasi politik di ruang publik dan media sosial.
Diksi dan narasi sindir-menyindir dipersepsikan sebagai senjata nuklir yang sengaja mereka tembakan kepada seteru politik. Tujuannya? Tentu saja untuk menunjukkan kedigdayaan jenama politik milik partai politik sekaligus menjadi kekuatan personal branding bakal calon presiden yang akan berlaga pada kontestasi Pemilu 2024.
Jenama partai politik
Masalahnya kemudian, mengapa mereka memosisikan diksi dan narasi sindir-menyindir dipilih sebagai konten propaganda politik di media sosial dan ruang publik? Bagi mereka, hal itu menjadi peristiwa biasa di dalam proses komunikasi politik. Pola pembiasaan seperti itu didasari kebenaran mitos ”budaya” saling menyindir.
Eksistensi mitos ”budaya” saling menyindir diyakini menjadi sokoguru atas jenama partai politik yang mereka miliki. Artinya, jenama partai politik akan memiliki kekuatan linuwih manakala dibangun berdasarkan unsur nilai kagunan, value, serta daya diferensiasi dengan kualitas di atas rerata jenama partai politik lainnya yang sedang bermain di pasar kampanye Pemilu 2024.
Mereka dengan mudah meraup laba politik manakala penguatan jenama partai politik selalu bersandarkan pada unsur nilai kagunan, value, serta daya diferensiasi.
Ketika bandul politik condong kepada pemilik jenama partai politik yang memiliki tiga kekuatan unggul di atas, maka pemilik jenama partai politik dipastikan memperoleh laba politik yang signifikan. Lalu, bagaimana cara mendapatkan laba politik? Mereka dengan mudah meraup laba politik manakala penguatan jenama partai politik selalu bersandarkan pada unsur nilai kagunan, value, serta daya diferensiasi.
Hal itu tentu saja dapat dijadikan garansi politik bagi si pemilik jenama partai politik. Artinya dari sana terpampang kilauan sinar eksistensi jenama partai politik yang akan bertarung di dalam pasar kampanye Pemilu 2024. Laba politik lainnya dihantarkan lewat kolaborasi antarpartai politik serta dukungan absolut dari konstituen yang cinta mati kepada jenama partai politik kesayangannya.
Kuasa kata
Peristiwa sindir-menyindir dalam kampanye politik diyakini menjadi bumbu penyedap dalam hiruk pikuk memperebutkan suara calon pemilih jelang Pemilu 2024. Dalam konteks budaya visual, fenomena sindir-menyindir selalu menyandarkan dirinya pada kuasa kata yang dijadikan panglima perang guna melemahkan serta menelikung lawan politik.
Kuasa kata yang selalu didengungkan dalam kampanye hitam maupun kampanye putih bagaikan pisau bermata dua. Pada satu sisi membunuh lawan politik, pada sisi lain diposisikan sebagai kekuatan verbal-visual untuk menjalankan proses komunikasi politik. Caranya? Dengan mengedepankan literasi politik bermartabat bagi peserta Pemilu 2024 dan warga masyarakat yang diposisikan sebagai calon pemilih.
Dalam konteks budaya visual, fenomena sindir-menyindir selalu menyandarkan dirinya pada kuasa kata yang dijadikan panglima perang guna melemahkan serta menelikung lawan politik.
Jelang Pemilu 2024, di ruang publik dan media sosial dapat disaksikan celotehan politik bakal calon presiden berikut jenama partai politik pendukungnya. Mereka saling sindir menggunakan diksi serta narasi yang dilontarkan lawannya. Mereka sangat piawai memintal benang diksi serta narasi berbunyi ”... perubahan, meneruskan, dijegal, parkir, banjir, rekam jejak, menculik, dijagokan, cawe-cawe…” menjadi tenunan kain kata-kata yang semangatnya saling menyerang dan melemahkan pihak lawan.
Di tengah perang diksi dan narasi sindir-menyindir, bagaimana posisi warga masyarakat dan warganet? Secara kasatmata mereka terpecah menjadi dua kelompok besar. Bagi warga masyarakat dan warganet pendukung bakal calon presiden berikut partai politik cenderung melentingkan diksi dan narasi sindir-menyindir menjadi bangunan kuasa kata di media sosial. Sebaliknya bagi warga masyarakat dan warganet yang masuk kategori melek literasi politik, mereka memilih menjadi penyaksi atas drama politik yang mengedepankan narasi saling menyindir.
Kuasa kata atas fenomena narasi sindir-menyindir ini dapat ditafsirkan bagaikan suguhan tontonan pertandingan sepak bola Piala Dunia. Pertandingan itu melibatkan negara peserta dan klub sepak bola ternama. Selain itu, aspek keterlibatan penonton, sponsor produk barang dan jasa, liputan televisi, media cetak dan media daring juga memiliki andil besar atas hiruk-pikuknya pertandingan sepak bola Piala Dunia.
Penonton yang menonton pertandingan sepak bola Piala Dunia, dalam konteks jelang Pemilu 2024, sama sebangun dengan penonton yang sedang menyaksikan celotehan politik bakal calon presiden bersama partai politik yang jadi bebotohnya.
Baca juga: Para ”Buzzer” di Pusaran Narasi Pemilu 2024
Fenomena tontonan dan penonton sepak bola layak diposisikan sebagai metafora narasi sindir-menyindir. Para pendukung narasi sindir-menyindir merasakan peningkatan suhu komunikasi politik. Dampak turunannya menyebabkan para suporter narasi sindir-menyindir semakin ceriwis, nyinyir, serta mudah marah. Mereka cepat tersinggung, julid, dan galak saat menuliskan komentar pada posting-an lawan politiknya di media sosial.
Berbekal senjata kuasa kata, penonton sebagai representasi warga masyarakat sekaligus warganet, menginginkan aspirasi dan kebutuhan hidupnya dapat diwujudkan bakal calon presiden bersama partai politik pendukungnya. Mereka menghendaki bakal calon presiden bersama partai politik yang mensponsorinya berperan layaknya Superman. Tokoh superhero ganteng dan baik hati yang dalam waktu singkat sanggup menyulap serta mengejawantahkan hasrat duniawi para penonton.
Sumbo Tinarbuko, Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual FSRD ISI Yogyakarta
Linktr.ee: sumbotinarbuko