Komunikasi Politik 2024
Para politisi sebaiknya memahami bahwa salah satu prinsip komunikasi itu irreversible, tak dapat ditarik kembali. Pernyataan yang melukai perasaan banyak orang, mungkin saja dimaafkan tetapi tidak mungkin dilupakan.
Spekulasi penundaan Pemilu 2024 berakhir, seiring dengan kesepakatan penyelenggaraan pemilu yang akan digelar pada 14 Februari 2024 dan pilkada pada 27 November 2024.
Kesepakatan tersebut diambil setelah Komisi II DPR, Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menggelar rapat bersama, pada 24 Januari 2022. Semua kekuatan politik bersiap untuk mengikuti tahapan resmi Pemilu 2024.
Pasal 167 Ayat (6) Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) menyebut tahapan pemilu dimulai 20 bulan sebelum hari pemungutan suara. Hal ini berarti awal 2022 akan menjadi fase menentukan bagi perjalanan menuju gelanggang pertarungan 2024.
Salah satu faktor menentukan bagi seluruh kekuatan yang akan berkompetisi adalah mengoptimalkan komunikasi guna menguatkan sinergi, memperbesar peluang raih dukungan, menjembatani ragam perbedaan, dan mengontrol berbagi potensi kerusakan.
Semua kekuatan politik bersiap untuk mengikuti tahapan resmi Pemilu 2024.
Mengelola komunikasi
Komunikasi politik memiliki peran signifikan. Panggung politik elektoral kita saat ini semakin termediasi oleh begitu banyaknya media, baik media konvensional maupun media baru. Keberlimpahan informasi memapar khalayak dalam waktu singkat, mudah tersebar luas melintasi strata ekonomi, pendidikan, daerah, bahkan usia. Ragam pernyataan elite politik, mudah sekali diproduksi, direproduksi, didistribusikan hingga dikonsumsi oleh khalayak.
Dari sisi komunikasi politik, ada catatan penting untuk mengawali tahapan pemilu 2024, yakni meningkatkan kualitas dan kuantitas komunikasi berbasis komunitas. Partai politik maupun capres/cawapres harus intens mengelola kerja nyata di masyarakat. Pencitraan searah saja tak cukup mengerek naiknya tingkat penerimaan, tingkat keterkenalan dan tingkat keterpilihan mereka.
Baca juga : Tok! Pemilu Serentak Digelar 14 Februari 2024
Intensitas komunikasi melalui ragam inisiatif kerja nyata menjadi prioritas utama. Terbukti selama ini, masifnya baliho pencitraan dengan beragam narasinya tidaklah efektif mendongkrak tingkat keterpilihan baik parpol maupun sosok capres/cawapres.
Baliho mungkin bisa menaikkan keterkenalan, tetapi di saat bersamaan tingkat kesukaan ataupun penerimaan warga pada parpol ataupun sosok bisa turun, terlebih jika baliho-baliho yang terpasang banyak mengganggu ketertiban umum, estetika kota atau melanggar etika karena memanfaatkan situasi masyarakat yang sedang berduka.
Pendekatan basis komunitas tersebut adalah pelayanan komunitas (community services), pemberdayaan komunitas (community empowerment) dan hubungan komunitas (community relations).
Kerja nyata mengurai masalah yang ada di masyarakat, jika dikelola dengan komunikasi yang baik, akan menguatkan pelibatan publik internal maupun eksternal terhadap parpol atau sosok politisi bersangkutan. Satu hal yang mesti dikritik, saat ini pemilu kita teramat sangat ditentukan oleh rezim popularitas yang menggerus gagasan, program, serta kerja nyata para kandidat. Kehadiran para politisi melakukan pelayanan dan pemberdayaan di masyarakat, jika dikelola dengan baik akan membuat keberadaan mereka lebih kuat dan mengakar.
Politik modern juga menuntut para aktor politik memiliki kemampuan refleksivitas organisasi. Ada catatan menarik dari Poole, Seibold, dan McPhee dalam Hirokawa, RY & M.S Poole di bukunya Communication and Group Decision Making (1986), refleksivitas pada dasarnya merujuk pada kemampuan aktor untuk mengevaluasi tindakan-tindakan dan perilaku mereka.
Pengalaman seseorang atau sekelompok orang di masa lalu, menjadi hal penting untuk memperbaiki situasi dan kondisi saat ini dan juga pengelolaan organisasi di masa mendatang. Harus ada cara dan pendekatan komunikasi baru yang memahami tren di masyarakat. Kegagapan dan jarak komunikasi yang lebar, menyebabkan tergerusnya peluang mereka di Pemilu 2024.
Perilaku pemilih yang banyak berubah mengharuskan strategi komunikasi yang lebih adaptif, oleh karenanya perlu protokol komunikasi yang relevan dengan perkembangan politik saat ini dan ke depan.
Protokol komunikasi penting dimiliki, agar pengelolaan komunikasi lebih terukur, tepat guna dan tepat sasaran. Minimal ada 12 standar penting dalam protokol komunikasi yakni konteks komunikasi, tujuan, rujukan, narasi utama, peran informasi, kegiatan komunikasi, para pihak yang terlibat, kanal yang digunakan, khalayak sasaran, efek yang diharapkan, serta panduan yang boleh dan tak boleh dilakukan/disampaikan.
Dengan adanya protokol komunikasi ini partai maupun politisi yang akan bertarung di Pemilu 2024 memiliki mekanisme yang lebih jelas dalam mengelola komunikasi di musim kompetisi.
Protokol komunikasi penting dimiliki, agar pengelolaan komunikasi lebih terukur, tepat guna dan tepat sasaran.
Manajemen privasi komunikasi
Catatan penting lainnya adalah mengelola opini dan diskursus publik. Partai maupun capres/cawapres tidak berada di ruang hampa, melainkan berinteraksi dengan publik, oleh karenanya diperlukan pengelolaan opini publik, manajemen isu, manajemen konflik serta komunikasi krisis yang dapat merusak sentimen positif parpol dan politisi dalam persepsi khalayak.
Para politisi dituntut piawai mengelola pernyataan mereka di muka publik melalui manajemen privasi komunikasi yang lebih terkendali. Mengacu ke bukunya Sandra Petronio, Boundaries of Privacy: Dialectics of Disclosure (2002), manajemen privasi komunikasi adalah mengelola pertimbangan dan pilihan mengenai apa yang harus dikatakan, dan apa yang harus disimpan dari publik. Politisi mempertimbangkan dan mengatur pesan yang diproduksi serta dibagi ke khalayak luas berdasarkan kriteria penting tidaknya pesan tersebut.
Contoh terkini, kita bisa belajar pentingnya manajemen privasi komunikasi dari kasus yang menimpa Arteria Dahlan (politisi PDI Perjuangan) dengan warga suku Sunda dan Edy Mulyadi (wartawan/mantan caleg PKS) dengan warga Kalimantan. Keduanya bermasalah karena pernyataan mereka yang dianggap menyinggung suku dan daerah.
Satu hal yang diabaikan saat para politisi itu mengeluarkan pernyataan, bahwa ucapan mereka provokatif, menyulut emosi, dan memantik perilaku kolektif yang resisten terhadap mereka.
Baca juga : Kritik dan Retrogresi Demokrasi
Dampak pernyataan mereka tidak semata sosiologis dan budaya, melainkan juga dapat berimplikasi politis. Pernyataan Arteria Dahlan, misalnya, selain menyinggung kebanggaan warga Sunda, juga berpotensi punya dampak elektoral bagi PDI Perjuangan (PDI-P) di Jawa Barat, akibat politik asosiastif antara dirinya dengan partai tempat dia bernaung. Meskipun pernyataan itu bersifat personal, tetapi posisinya sebagai politisi PDI-P menjadi tak terpisahkan dalam persepsi sebagian publik Jawa Barat.
Secara faktual Jawa Barat adalah lumbung suara paling potensial di Indonesia. Daftar Pemilih Tetap (DPT) Jawa Barat pada Pemilu 2019 itu berjumlah 33.276.905, nomor satu terbanyak di atas Jawa Timur (31.011.960) dan Jawa Tengah (27.896.902).
Selain itu, pengalaman beberapa pemilu juga menunjukkan fakta menarik, tren pemilih di Jawa Barat sangatlah cair, terbukti dari naik turunnya perolehan suara partai pemenang pemilu. Pada Pemilu 2014, PDI-P tampil sebagai pemenang dengan raihan suara 4.159.404 suara (19,63 persen), diikuti Partai Golkar 3.540.629 suara (16,71 persen) pada peringkat kedua dan Partai Gerindra 2.378.762 suara (11,22 persen) pada peringkat ketiga.
Kondisi berbeda terjadi pada Pemilu 2019. Partai Gerindra menempati urutan pertama dengan perolehan suara 4.320.050, disusul PDI-P dengan perolehan 3.510.525 suara. Posisi ketiga perolehan suara terbanyak ditempati PKS dengan 3.286.606 suara.
Tren pemilih yang terus berubah menjadi pesan nyata tidak ada garansi kemenangan tetap di Jawa Barat.
Tren pemilih yang terus berubah menjadi pesan nyata tidak ada garansi kemenangan tetap di Jawa Barat. Konteks situasi turut memengaruhi naik turunnya perolehan suara. Jika cara berkomunikasi dalam menangani kerusakan (damage control) yang ditimbulkan oleh pernyataan Arteria Dahlan tidak pas atau bahkan menambah masalah, bukan mustahil akan merugikan suara PDI-P di Pemilu 2024.
Pernyataan yang tidak memiliki sensitivitas retoris atau kepekaan komunikasi juga dilakukan Edy Mulyadi. Diksi dan agresivitas verbal yang tidak pantas mengemuka saat dirinya mengomentari soal Kalimantan Timur yang menjadi Ibu Kota Negara (IKN) baru.
Kritik dia harusnya fokus pada hal-hal substantif seperti anggaran, kesiapan infrastruktur, keamanan, dampak lingkungan dan lain-lain. Kritiknya menjadi sia-sia bahkan menimbulkan bencana komunikasi karena menyinggung perasaan warga Kalimantan.
Para politisi sebaiknya memahami bahwa salah satu prinsip komunikasi itu merujuk ke Larry A Samovar dan Richard E Porter dalam bukunya Communication Between Cultures (2012), bahwa komunikasi bersifat irreversible.
Artinya, komunikasi tak dapat ditarik kembali, jika seseorang sudah mengatakannya. Pernyataan yang melukai perasaan banyak orang, mungkin saja dimaafkan tetapi tidak mungkin dilupakan. Para politisi perlu berhati-hati dan mawas diri dalam berkomunikasi.
Handining
Tahap menentukan
Khusus untuk rivalitas sosok yang berpotensi menjadi capres ataupun cawapres 2024, panggung politik di 2022 mulai menentukan. Merujuk ke Judith Trend dan Robert Friendenberg dalam bukunya Political Campaign Communication Principles and Practices (2015), tahun ini bisa disebut sebagai tahap pemunculan (surfacing) sebelum ketiga tahapan lain dilakukan, yakni tahap primary, nominasi, dan pemilihan.
Pada tahap pemunculan siapapun boleh memiliki keinginan tampil sebagai capres ataupun cawapres mendatang, tetapi akan sangat dipengaruhi oleh kualitas interaksi mereka dengan dua kekuatan utama, yakni publik yang akan menjadi pemilih dan partai politik yang akan mengusungnya. Di tahap pemunculan inilah komunikasi politik akan sangat menentukan, apakah sosok yang berkeinginan maju di Pilpres 2024 ini mendapatkan legitimasi dengan meningkatnya dukungan publik secara meluas pada mereka atau tidak.
Meningkatnya keterkenalan, penerimaan dan keterpilihan secara signifikan bisa memberi prospek pada pertimbangan partai atau koalisi partai.
Tahap primary terhubung dengan proses kandidasi di internal partai yang akan mengusung. Prosesnya sangat kompleks dan kerap melahirkan kejutan. Michael Gallagher dalam tulisannya Candidate Selection in Comparative Perspective: The Secret Garden of Politics (1998), menyebutkan bahwa kandidasi ibarat kebun rahasia politik (the secret garden of politics).
Tahap nominasi, saat partai atau gabungan partai secara resmi menominasikan pasangan nama yang diusung dalam Pilpres 2024 setelah melalui serangkaian proses politik yang panjang dan melibatkan banyak kepentingan.
Tahap pemilihan menjadi penentu, karena pada akhirnya mandat kekuasaan adalah milik rakyat Indonesia yang akan diberikan pada 14 Februari 2024.
Baca juga : Tabloidisasi Pemberitaan Media
Ada dua faktor utama yang menentukan di tahap pemunculan hingga ke nominasi. Pertama, tidak ada faktor perusak yang mematikan peluangnya. Seperti kasus hukum yang membelit dirinya terutama di jabatan-jabatan publik yang saat ini diemban mereka.
Kedua, strategi komunikasi dalam memengaruhi lingkungan politik untuk memperkuat posisinya sebagai kandidat paling potensial di tengah kompetitifnya persaingan perebutan tiket dalam pencapresan. Komunikasi politik menjadi kunci, apakah para kontestan tumbuh menguat atau layu dan mati.
Gun Gun HeryantoDirektur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta