Mahalnya Uang Kuliah Tunggal di Menara Gading
Hakikat pendidikan tinggi adalah jalan bagi masyarakat memperoleh pendidikan sehingga dapat mencapai cita-cita setinggi-tingginya. Bukan sebaliknya pendidikan yang menara gading, elitis, dan sulit diakses rakyat kecil.
Dunia pendidikan tinggi kembali menuai polemik. Kali ini terkait banyaknya calon mahasiswa yang ingin mengundurkan diri karena tak mampu membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Kasus ini terjadi, misalnya, pada sejumlah calon mahasiswa di berbagai perguruan tinggi yang diterima melalui jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) tahun 2023. Banyak dari calon mahasiswa tersebut terpaksa mengubur mimpinya untuk mengenyam pendidikan tinggi.
Pemenuhan hak-hak pendidikan mahasiswa menjadi isu krusial di sini. Di satu sisi, biaya pendidikan tinggi atau UKT setiap tahun selalu naik berkali lipat. Sementara, kondisi ekonomi masyarakat yang menurun pasca-pandemi Covid-19 membuat para orangtua mengalami kesulitan membayar biaya pendidikan anaknya. Akibatnya, mahalnya UKT menjadi beban bagi mahasiswa yang rentan secara ekonomi.
Persoalan UKT dan hak pendidikan mahasiswa adalah isu yang selalu muncul. Jika tak dibenahi akar persoalannya, UKT yang melebihi beban mahasiswa akan menjadi preseden buruk penyelenggaraan pendidikan tinggi. Aksi protes mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi yang menuntut agar kampus mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada pemenuhan hak pendidikan mahasiswa, kerap terjadi karena tak sedikit mahasiswa terancam dikeluarkan dari kampus (drop out) atau dipaksa cuti kuliah karena tak mampu bayar UKT.
Kondisi ini berpotensi melanggar Konstitusi, jika kampus benar-benar mengeluarkan mahasiswa hanya karena tidak mampu membayar UKT. Pasal 28C Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan, setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan, dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Persoalan UKT dan hak pendidikan mahasiswa adalah isu yang selalu muncul. Jika tak dibenahi akar persoalannya, UKT yang melebihi beban mahasiswa akan menjadi preseden buruk penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Problematika kebijakan UKT
Pasal 31 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 juga menegaskan, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
Kampus memiliki kewajiban untuk proaktif dan progresif dalam memberikan akses pendidikan tinggi seluas-luasnya kepada mahasiswa. Kampus harus memiliki empati yang baik terhadap kondisi mahasiswanya. Apalagi berdasarkan data BPS tahun 2022, angka partisipasi kasar perguruan tinggi (APK PT) di Indonesia masih sangat rendah, yakni 31,16. Bahkan APK PT ini turun 0,03 poin dari tahun sebelumnya, 31,19.
Kampus harus menjadi ibu kandung atau almamater bagi kaum marginal dengan kebijakan yang pro-publik. Tidak boleh ada anak bangsa yang keluar dari kampus gara-gara mengalami kesulitan membayar UKT.
Idealnya, seluruh pembiayaan pendidikan di berbagai jenjang, termasuk pendidikan tinggi menjadi tanggung jawab negara. Seluruh elemen pendidikan mesti memahami, pendidikan merupakan ranah publik dan ranah negara.
Meski demikian, bagi negara Indonesia secara finansial belum mampu sepenuhnya untuk mengakomodasi seluruh pembiayaan pendidikan. Amanat konstitusi Pasal 31 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 baru mengatur secara imperatif kewajiban pemerintah untuk membiayai warga negara guna mengikuti pendidikan dasar.
Akan tetapi, tidak serta-merta kebijakan UKT boleh memberatkan masyarakat untuk mengakses pendidikan tinggi. Kebijakan UKT harus diterapkan secara proporsional dan berkeadilan. Pemerintah dan perguruan tinggi negeri harus memiliki good will untuk membebaskan biaya pendidikan tinggi bagi mahasiswa dari kelompok rentan.
Ilustrasi
Apalagi ada amanat Konstitusi, Pasal 31 Ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 bahwa minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Sementara itu, bagi mahasiswa dengan taraf ekonomi mampu dan berkecukupan, kenaikan UKT boleh saja dilakukan asalkan tetap proporsional.
Para pemangku kebijakan semestinya memahami betapa mahalnya biaya pendidikan tinggi saat ini. Ketidakjelasan regulasi dari pemerintah membuat kebijakan UKT semakin mempersulit akses pendidikan tinggi bagi mahasiswa.
Bagaimana mekanisme penentuan dan penetapan kategori UKT oleh kampus? Aspek apa saja yang diperhitungkan dan pertimbangkan dalam menentukan kategori UKT? Apakah asas keterjangkauan menjadi pertimbangan utama dalam menentukan kategori UKT? Bagaimana transparansi dan akuntabilitas pengelolaan UKT oleh kampus?
Kampus, khususnya Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH) seolah ketergantungan untuk meraup pendapatan atau income generating dari biaya kuliah atau UKT ini. Akibatnya, tarif UKT di berbagai PTN BH setiap tahun semakin mahal dan selalu mengalami kenaikan. Padahal dengan kewenangan dan otonomi luas yang dimiliki PTN BH semestinya membuat kampus menjadi lebih kreatif dan inovatif serta tidak mudah menaikkan UKT.
Baca juga : Biaya Kuliah di Jalur Mandiri PTN Bersaing dengan PTS
Para pemangku kebijakan kampus dan seluruh sivitas akademika di dalamnya sejatinya memiliki kapasitas untuk mengelola intelektual kapital dari hasil kajian, riset, inovasi, dan paten yang memiliki daya jual di dunia usaha/dunia industri dan bermanfaat bagi masyarakat. Pimpinan kampus bisa secara kolaboratif menjalin kerja sama dengan pemerintah atau swasta guna meningkatkan dan mengembangkan kualitasnya.
Para pimpinan kampus mesti memiliki paradigma untuk menjadikan kampus sebagai world class university melalui proses internasionalisasi kerja sama dengan PT dari negara luar. Jika pimpinan kampus hanya bergantung pada pendapatan utama dengan menaikkan tarif UKT mahasiswa, ibarat kata ia sedang berburu di kebun binatang.
Kampus Merdeka dan hak pendidikan bagi mahasiswa
Hakikat pendidikan tinggi sejatinya diartikan sebagai jalan bagi masyarakat untuk memperoleh pendidikan sehingga dapat mencapai cita-cita setinggi-tingginya. Bukan sebaliknya pendidikan yang menara gading, elitis, dan sulit dijangkau masyarakat marjinal.
Begitu pun dengan hakikat Kampus Merdeka sejatinya diartikan sebagai kampus yang memerdekakan mahasiswa dalam memperoleh hak-hak pendidikan secara berkeadilan. Bukan sebaliknya justru ketika para mahasiswa mengalami kesulitan dan tersandera biaya pendidikan yang begitu mahal, kampus malah terlalu permisif, akibatnya mahasiswa terancam putus kuliah.
Kampus jangan terjebak kapitalisasi pasar, atau bahkan mengidap virus "McDonaldisasi" pendidikan. Oleh karenanya, penyelenggaraan kampus merdeka sejatinya memerdekakan dari belenggu kapitalisme dan kampus mesti menjamin hak-hak pendidikan yang berkualitas bagi mahasiswa.
Asas keterjangkauan sejatinya harus dikedepankan dalam program Kampus Merdeka, sehingga upaya penyelenggaraan pendidikan tinggi yang berkualitas, bermutu, dan berdaya saing mampu diakses secara terjangkau oleh kalangan masyarakat marginal secara berkeadilan. Ini selaras dengan ketentuan Pasal 3 huruf i UU Nomor 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi bahwa salah satu asas pendidikan tinggi ialah asas keterjangkauan.
Dalam penjelasan pasal ini disebutkan, yang dimaksud dengan “asas keter- jangkauan” adalah bahwa pendidikan tinggi diselenggarakan dengan biaya pendidikan yang ditanggung oleh mahasiswa sesuai dengan kemampuan ekonominya, orangtua atau pihak yang membiayainya untuk menjamin warga negara yang memiliki potensi dan kemampuan akademik memperoleh pendidikan tinggi tanpa hambatan ekonomi.
Kampus Merdeka pun harus memerhatikan bahwa salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana Pasal 6 huruf i UU No 12/2012 ialah adanya keberpihakan pada kelompok masyarakat rentan secara ekonomi.
Berdasarkan ketentuan ini, setiap pemangku kebijakan (stakeholders) dan PT memiliki kewajiban menjamin dan memenuhi hak-hak pendidikan para mahasiswa kurang mampu secara ekonomi.
Hal ini sebagaimana ditegaskan juga dalam Pasal 76 Ayat (1) UU No 12/2012 bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau perguruan tinggi berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik.
Baca juga : Orangtua Indonesia Makin Sulit Biayai Kuliah Anak
Tentu banyak cara yang dapat dilakukan guna menjalankan kewajiban ini. Misalnya, berdasarkan Pasal 76 Ayat (2) UU No 12/2012 disebutkan bahwa pemenuhan hak mahasiswa dilakukan dengan cara memberikan: a) beasiswa kepada mahasiswa berprestasi; b) bantuan atau membebaskan biaya pendidikan; dan/atau c) pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.
Otonomi kampus pun penting untuk dioptimalkan sedemikian rupa agar universitas mampu mengelola efisiensi anggarannya, sehingga mampu mengalokasikannya untuk membantu kebutuhan mahasiswa. Sebagai contoh, bagi PTN BH diharapkan mampu mengelola sebagian dana abadinya untuk memberikan bantuan atau beasiswa bagi para mahasiswa yang kurang mampu.
Selain itu, kampus pun harus berkembang tidak hanya menjadi teaching university ataupun research university, melainkan juga menjadi entrepreneur university yang mampu memberdayakan sivitas akademikanya dan juga masyarakat sekitar. Melalui hal tersebut kampus dapat mengembangkan modal intelektual sekaligus menularkan jiwa kewirausahaannya kepada seluruh elemen pendidikan dan masyarakat.
Dengan demikian, kampus dan masyarakat dapat memiliki daya pembiayaan pendidikan yang mandiri dan berdaulat, sehingga dapat membantu mahasiswa dan masyarakat yang sulit mendapatkan akses pendidikan tinggi dikarenakan biayanya yang sulit terjangkau.
Dengan begitu, melalui upaya-upaya tersebut, kita dapat menyelesaikan persoalan UKT mahasiswa dan ini dapat menjadi bentuk keberpihakan kampus terhadap masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi. Inilah hakikat kampus merdeka yang menjamin akses pendidikan tinggi yang berkualitas bagi seluruh masyarakat secara inklusif, proaktif, dan pro-publik secara berkeadilan.
Kampus mesti memiliki legacy bagi generasi penerus bangsa.
Cecep DarmawanGuru Besar dan Ketua Prodi Magister dan Doktor Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia