Digitalisasi telah menjadi bagian inklusif di dalam cara beragama kontemporer. Diperlukan kerangka kerja teologis untuk memberikan batasan dan sejauh mana digitalisasi itu dipergunakan di ruang beragama.
Oleh
SONNY ELI ZALUCHU
·3 menit baca
Salah satu ketakutan agama arus utama (mainstream) ketika digitalisasi telah menjadi arus besar di ruang ibadah adalah bagaimana memberi penjelasan terhadap ritus dan ritual agama konvensional secara digital. Pertanyaan lain yang sejenis adalah apakah kita dapat menjadikan ruang digital sebagai sebuah sacred-place? Apakah kita dapat menggantikan ruang fisik konvensional yang selama ini menjadi ruang tumbuh bersama di dalam iman dan komunitas sehingga wajah kemanusiaan kita menjadi semakin baik di dalam peradaban?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu menjadi perdebatan baik di kalangan ahli komunikasi, pakar internet, sosiolog, dan terlebih kalangan teolog. Pada akhirnya semua pertanyaan itu akan menuntun kepada problem dikotomis, mana dari agama yang dapat didigitalkan dan mana ya tidak.
Untuk membicarakan ini, pandangan terhadap konsep agama digital harus dibawa ke dalam platform yang sama. Jika pengertian ini menjadi sebuah perspektif, pendekatan dan penjelasan, entah dari sosiolog, teolog, atau disiplin ilmu lainnya akan berada di dalam koridor yang sama. Ibarat sebuah barang, dapat dilihat dari berbagai sisi, tanpa mengubah esensinya.
Dari sekian banyak rumusan yang ada, konstruksi konseptual dari Heidi Campbell dapat dijadikan rujukan. Campbell dikenal sebagai seorang yang konsisten membicarakan topik ini dalam kurun waktu 20 tahun terakhir.
Dalam salah satu tulisannya berjudul ”The Rise of the Study of Digital Religion”, Campbell (2013) merumuskan bahwa istilah “agama digital” merupakan sebuah ruang teknologi dan budaya yang ditimbulkan ketika terjadi integrasi antara lingkup agama online dan offline telah berkelindan satu sama lain. Dalam pengertian ini, digitalisasi agama menjadi sebuah extention atau dapat dilihat sebagai jembatan yang menghubungkan dan memperluas praktik dan ruang keagamaan, yang sekalipun dilaksanakan secara online, tetapi tetap di dalam konteks keagamaan offline, dan sebaliknya.
Rumusan ini mencerahkan karena dua alasan. Pertama, Campbell tidak mengatakan bahwa digital religion adalah agama. Baginya agama tetaplah agama, sebagai sebuah definisi yang menyatakan bagaimana seseorang menjelaskan keyakinan dan sistem kepercayaannya (termasuk di dalamnya doktrin, iman, ritus, dan ritual) secara personal dan kemudian bergabung bersama orang-orang yang memiliki sistem kepercayaan yang sama.
Pergeseran pola ibadah
Di sini saya merujuk pemikiran klasik Eliade (2002) yang mengatakan bahwa agama muncul karena masyarakat sejak zaman primitif telah mampu melihat perbedaan nyata antara yang sakral dan profan dalam sebuah kesadaran ilahi (divine). Sakral didefinisikan sebagai sesuatu yang suci, kudus, atau yang dianggap suci/kudus, punya entitas supernatural, sedangkan profan menyatakan hal yang sebaliknya.
Kesadaran ilahi ini berkembang seiring peradaban manusia. Hasilnya, agama menjadi sebuah institusi yang kaku secara normatif, tetapi di sisi lain, pada kesempatan yang sama memiliki sifat dinamis dalam ritus dan ritualnya.
Mengacu pada pemikiran tersebut, akan menjadi hal aneh jika masyarakat kontemporer mencari atau menyembah Tuhan di gua, batu, dan pohon besar. Pergeseran dan ekspresi ritus dan ritual agama bergeser seiring waktu yang kemudian kita kenal terpusat di dalam rumah ibadah, dengan sistematika tertentu.
Akses dan pola ibadah memperlihatkan pergeseran yang signifikan. Ibadah yang semula terpusat pada gedung fisik, kini telah menempati ruang maya.
Kemudian internet muncul dan memudahkan manusia dalam segala hal, termasuk dalam menjalani agamanya. Meskipun praktik offline tetap berjalan, siar agama kini telah berlangsung di dalam ruang maya. Materi-materi dakwah, konten teologi, yang semula oral dan berbentuk kertas, telah bertransformasi dalam berbagai wujud digital dan paperless.
Akses dan pola ibadah memperlihatkan pergeseran yang signifikan. Ibadah yang semula terpusat pada gedung fisik, kini telah menempati ruang maya. Sacred-space meluas, dan telah mencakup ruang digital (cyberspace). Semua ini berarti, manusia dapat bertemu muka dan menjalani praktik agamanya secara online. Perubahan ini bertumpu kepada sifat dinamis agama yang menurut Dhavamony (2016) telah melalui sebuah proses evolusi yang sangat panjang sebagai sebuah konsekuensi logis di dalam menyikapi perubahan. Agama menjadi adaptif dan bukan produk usang.
Bagian kedua adalah, sekalipun dibutuhkan kehati-hatian teologis karena tidak semua hal dari praktik religius tradisional dapat sepenuhnya ditransformasikan ke dalam bentuk digital, patut disadari bahwa digital religion adalah sebuah realitas kontemporer. Lambat laun dunia bergerak ke dalam dunia tanpa memasuki cyberspace. Emoticon mewakili emosi dan perasaan. Avatar menggantikan jati diri. Dunia nyata memiliki tiruan yang mungkin lebih baik di dalam dunia maya. Yang nyata dan yang maya saling berkelindan.
Seluruh perubahan tersebut harus membuat agama, para pelakunya dan institusinya bersiap menuju tahap evolusi selanjutnya. Mengapa? Alasannya cukup jelas. Memisahkan ruang aktivitas agama yang dilakukan secara offline dan online sudah sangat sulit dilakukan.
Di sini pentingnya sebuah konsensus teologis, yang akan mengatur bagaimana agama, baik secara institusional maupun perilakunya secara komunal, bahkan personal, melakukan penyesuaian signifikan terhadap perubahan. Kerangka kerja teologis ini akan sangat bergantung dari cara agama itu mengadaptasikan dirinya. Dan itulah tantangannya bagi kita semua.
Langkah pertama yang diperlukan di dalam kerangka kerja itu adalah edukasi bagi para pemeluk agama. Hal ini sangat penting karena sebuah batas etis diperlukan sehingga cara beragama menjadi tidak kebablasan. Harus disadari bahwa tidak semua hal dari entitas keagamaan dapat diwujudkan secara digital.
Bahaya reduksi adalah ancaman yang menanti di depan mata. Tuhan tidak ada di internet dan tidak memiliki media sosial. Kita tidak dapat menemukan-Nya di sana. Mari kita mulai memikirkan kerangka kerja konseptual itu agar cara kita beragama sekalipun secara digital, tidak mengubah esensi agama itu sendiri!