Memotret Ekspresi Keagamaan Generasi Muda di Era Disrupsi 4.0
Generasi muda hobi mengeksplorasi bentuk-bentuk baru religiusitas yang sesuai preferensi mereka. Mereka selalu berusaha menemukan bentuk keagamaan yang cocok dan adaptif terhadap perkembangan di era disrupsi 4.0.
Oleh
INDAH YULIA A
·5 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Tak dapat dimungkiri bahwa agama merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia. Agama selalu berkelindan di hampir semua aspek kehidupan manusia. Senada dengan apa yang dikatakan oleh Max Weber bahwa agama merupakan sebab terdekat dari tindakan manusia. Bagaimana tidak, agama selalu eksis mengisi ruang-ruang yang ada dalam setiap lini dinamika kehidupan manusia.
Oleh karena itu, hampir tak mungkin jika agama dipisahkan dalam aspek kehidupan manusia. Meskipun manusia telah sampai pada tahap peradaban modern yang lebih mengedepankan rasionalitas akal, dogma agama masih terus ”diminati” banyak orang.
Bagaimana tidak, modernitas yang digadang-gadang dapat mempermudah kehidupan guna menyejahteraan peradaban manusia ternyata tidak cukup memberikan ketenangan batin yang merupakan kebutuhan esensial bagi manusia. Di era penuh ketidakpastian seperti sekarang ini manusia modern semakin haus akan ketenangan batin.
Contoh di era pandemi Covid-19 ini, sejak dua tahun lalu pandemi telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia. Ketidakpastian hidup menjadikan manusia membutuhkan sandaran untuk membuatnya tetap waras di tengah kehampaan yang melanda mereka. Di mana ketenangan itu diperoleh? Tentu ketenangan batin didapat melalui religiusitas spiritual yang diperoleh dari agama. Sebab, segala kecanggihan dan kemewahan yang ditawarkan modernitas tak dapat meng-cover hal itu.
Dalam praktik mengejawantahkan agama, manusia modern memiliki preferensi masing-masing. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan dalam ekspresi keagamaan antara generasi tua dan generasi muda. Generasi tua adalah generasi yang lebih dulu menganut ajaran agama, biasanya golongan ini didominasi oleh generasi Baby Boomer yang lahir sekitar tahun 1946 hingga 1964. Sedangkan generasi muda yang dimaksud adalah generasi Milenial dan generasi Z yang lahir sekitar tahun 1980 hingga 2000-an. Wade Clark Roof, sosiolog agama asal Amerika, dalam penelitiannya secara rinci menjelaskan perbedaan dari karakteristik dan ekspresi keagamaan generasi tua dan generasi muda.
Menurut Wade Clark Roof, generasi tua cenderung memiliki karakteristik dan ekspresi keagamaan yang bersifat formal dan konservatif. Mereka lebih loyal dan tunduk kepada lembaga keagamaan yang mereka anggap telah mencapai kemapanan dalam praktik keagamaannya. Generasi tua tak banyak mempertanyakan dan mempermasalahkan praktik-praktik agama yang dianggap ketinggalan zaman dan terkesan monoton. Berbeda dengan generasi muda yang yang hobi mencari-cari dan mengeksplorasi bentuk-bentuk baru religiusitas yang dianggap paling tepat dan sesuai dengan preferensi mereka.
Menghindari konservatisme agama
Menurut survei CSIS (Centre for Strategic and International Studies) pada 2018, generasi muda di Indonesia tidak merasa agama menjadi instrumen kebahagiaan dalam hidup mereka. Generasi muda cenderung menghindari konservatisme agama dalam praktik keagamaan mereka. Mereka menghendaki spiritualitas yang terlepas dari bayang-bayang otoriter agama. Generasi muda cenderung menghindari konservatisme agama dalam praktik keagamaan mereka. Generasi ini memiliki keragu-raguan dan tidak puas terhadap kemapanan-kemapanan yang ditawarkan oleh agama yang cenderung konservatif.
Oleh karena itu, generasi ini disebut oleh Wade Clark Roof sebagai generation of seekers atau generasi pencari. Mereka selalu berusaha menemukan apa yang mereka pandang sebagai bentuk keagamaan yang cocok untuk mereka dan adaptif terhadap perkembangan zaman di era disrupsi 4.0. Di era ini ditandai dengan orang-orang yang selalu berorientasi pada kecanggihan teknologi sebagai produk dari modernitas sehingga selalu mengaitkan segala aspek kehidupannya dengan teknologi. Manusia yang hidup di era perkembangan teknologi membutuhkan pembaruan dalam berbagai aspek kehidupannya, termasuk dalam hal memaknai dan mengekspresikan agama itu sendiri.
Mereka selalu berusaha menemukan apa yang mereka pandang sebagai bentuk keagamaan yang cocok untuk mereka dan adaptif terhadap perkembangan zaman di era disrupsi 4.0.
Pada fase ini, akan terjadi komodifikasi produk keagamaan. Agama tak ubahnya menjadi komoditas yang berlomba-lomba mencari pelanggannya. Agama akan dikemas dengan sedemikian rupa guna menarik perhatian para calon pelanggannya. Inilah yang kemudian disebut oleh Wade Clark Roof sebagai Spiritual Marketplace.
Dalam konteks spiritual marketplace, agama-agama kemudian menjadi seperti pasar spiritual yang saling bersaing merebut sebanyak-banyaknya pelanggan. Di mana agama dan para pemeluknya akan mengalami proses metamorfosa untuk mencari formatnya yang tepat dan unik yang dapat mengikuti perkembangan zaman. Tentu agama-agama konvensional mau tidak mau dituntut untuk berkontestasi dalam persaingan itu. Agar dapat tetap eksis di tengah-tengah masyarakat modern yang penuh tuntutan tersebut.
KOMPAS/SUPRIYANTO
Supriyanto
Generasi muda merefleksikan sikap religiusitas dengan teknologi, contohnya saja dalam jejaring media sosial yang sedang digandrungi saat ini, yaitu Tiktok. Platform video berdurasi pendek itu rupanya banyak menampilkan konten-konten bernuansa dakwah. Tentu hal ini menarik minat generasi muda dalam mengkaji agama. Mereka tidak perlu mendatangi kajian-kajian di masjid ketika ilmu agama bisa didapat dari genggaman jemari melalui gadget. Selain itu, dengan Tiktok mereka dapat dengan bebas mengekspresikan sisi keagamaan mereka dengan menonjolkan simbol-simbol keagamaan tanpa mengindahkan substansi agama.
Ritus-ritus keagamaan hanya sebatas selebrasi-selebrasi yang dianggap sebagai warisan nenek moyang. Dengan demikian, kebanyakan dari mereka hanya sekadar ikut meramaikan event-event penting di hari keagamaan tanpa mengetahui esensi dari ritus itu. Atau mungkin tanpa didasari kesadaran keagamaan yang sejati, alih-alih untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Kualitas spiritual agaknya tak terlalu penting di sini. Adapun yang diinginkan generasi muda adalah kebahagiaan yang membuat mereka merasa tenang di tengah gempuran tantangan zaman yang tak terjawab oleh modernitas.
Perlu kita pahami bersama bahwa segala macam ekspresi keagamaan yang ada di era disrupsi 4.0 ini adalah bentuk dari adaptasi manusia modern, terutama generasi muda, dalam memaknai agama dalam hidup mereka. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, agama memberikan makna kepada pemeluknya. Meski dalam praktiknya, proyeksi ekspresi agama dimaknai sendiri oleh masing-masing pemeluknya. Dengan demikian, tak heran jika banyak perbedaan dalam manifestasi ekspresi keagamaan tiap-tiap penganut satu agama.
Indah Yulia A, Mahasiswa Prodi Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta