Aspek ketimpangan yang dialami orang asli Papua, salah satu faktor pemicu konflik di Papua, tak hanya disebabkan oleh kebijakan yang ”tidak tepat”, tetapi juga oleh faktor-faktor ekonomi politik yang bersifat destruktif.
Oleh
VIDHYANDIKA D PERKASA
·5 menit baca
Pada 21 Maret 2022, penulis menulis artikel di Kompas yang berjudul ”Papua dan Pengabaian ’Nexus’ Konflik-Pembangunan”. Penulis ingin memahami kaitan antara konflik dan pembangunan. Observasi di Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan, belum lama ini memvalidasi bahwa salah satu faktor pemicu konflik adalah karena aspek ketimpangan, khususnya yang dialami oleh orang asli Papua (OAP). Konflik sendiri adalah penghambat dari pembangunan.
Menariknya, aspek ketimpangan ini tidak hanya disebabkan oleh kebijakan yang ”tidak tepat”, tetapi juga oleh faktor-faktor ekonomi politik yang bersifat destruktif. Ekonomi politik yang destruktif adalah faktor-faktor yang menghambat pembangunan di mana ada faktor-faktor politik yang juga merusak tujuan ekonomi. Sebagai dampak tidak langsungnya adalah mentalitas atau karakter yang ”khas” OAP berlandaskan budaya yang ”terdistorsi” dan sulit dinalarkan berdasarkan nilai-nilai yang bersifat universal.
Karakter tersebut adalah reaksi dari perlawanan terhadap ketidakadilan dan pengabaian terhadap eksistensi OAP selama ini. Tulisan ini membahas secara singkat ekonomi politik yang destruktif telah menghambat kemajuan di Papua dengan mengambil studi kasus di Kabupaten Jayawijaya.
Penjabaran aspek politik adalah sebagai berikut: pertama, ada masalah klasik terkait sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI. Masalah tersebut sebagai pengganjal terbentuknya nasionalisme ”keindonesiaan” OAP di dalam bingkai NKRI. Bentuk ”pembangkangan” ini diperparah oleh dimensi politik kedua, yaitu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di mana OAP tidak mendapatkan keadilan.
Dimensi politik dari pelanggaran HAM dan kekerasan menjadi cerita turun-temurun antargenerasi. Sebagai implikasinya dan dengan melihat karakter budaya OAP, bentuk penghilangan nyawa dan kekerasan yang tidak pernah terselesaikan secara tuntas akan menghasilkan perasaan ”dendam” yang diturunkan dari generasi ke generasi. Sasaran dari dendam ini diarahkan ke siapa pun, termasuk dalam bentuk sikap ”revolusioner” dan ”pembangkangan” terhadap segala kebijakan dari negara.
Dimensi politik ketiga menyangkut ketidakadilan karena perampasan hak-hak ekonomi dan politik OAP. Investasi cenderung merampas tanah dan sumber daya alam OAP. Kebijakan-kebijakan pembangunan juga cenderung memarjinalkan representasi OAP. Dimensi politik keempat menyangkut jabatan dan perebutan kekuasaan.
Friksi khususnya yang berdasarkan kesukuan dan melibatkan kelompok kepentingan lain dari luar Papua akan terbawa dalam birokrasi modern dalam kontestasi pilkada atau pileg. Friksi ini akan mengganggu jalannya pemerintahan. Kondisi ini sering kali berujung pada konflik yang menghambat pembangunan.
Selain itu, politik bagi-bagi uang sebagai upaya menarik simpati atau membungkam protes serta segala jenis konflik akhirnya diselesaikan dengan ”bayar denda”. Hal ini berkontribusi menghambat terbentuknya daya pikir OAP yang rasional dan kritis. Upaya membentuk mind-set OAP yang rasional melalui pendidikan yang berkualitas juga dihambat oleh pendanaan, kecakapan guru, dan keamanan.
Investasi cenderung merampas tanah dan sumber daya alam OAP. Kebijakan-kebijakan pembangunan juga cenderung memarjinalkan representasi OAP.
Konteks politik juga mengorbankan penegakan hukum. Politik adalah upaya meraup simpati dari masyarakat sehingga menegakkan hukum dilihat sebagai hal yang merugikan elite politik daerah karena takut kehilangan suara dan dukungan. Kondisi ini juga mampu menjelaskan mengapa kasus-kasus korupsi masif dan kriminalitas di Papua cenderung tidak disentuh hukum.
Kasus-kasus hukum juga lebih mudah diselesaikan dengan hukum adat daripada hukum positif. Penerapan hukum positif dianggap memunculkan potensi konflik yang lebih besar karena aspek adat atau denda ”bayar kepala” yang tidak terpenuhi.
Ironisnya, penerapan hukum adat cenderung tidak menghasilkan efek jera. Secara umum, kebiasaan bayar denda akan menjerat siklus kehidupan masyarakat di Papua, termasuk pendatang. Tindakan yang salah ataupun benar selalu terancam pembayaran denda ini.
Secara lebih spesifik, aspek politik yang destruktif juga dibarengi perasaan xenophobic atau sikap anti ”orang dari luar” yang menguat dan suatu pola pikir (mind-set) bahwa ”negara” dan orang dari luar ”mengambil sesuatu” yang menjadi haknya OAP. Menguatnya xenophobic ini dikeluhkan oleh pendatang. Pendatang dibuat dalam situasi yang sulit dan rentan karena mereka dipaksa ”mengalah” meskipun hak-haknya dilanggar, misalnya dalam kasus kriminalitas. Apabila masalahnya dibawa ke ranah hukum, situasinya akan semakin rumit.
Secara garis besar, OAP yang selama ini merasa sebagai ”makhluk asing dan teralienasi” di tanahnya sendiri sekarang telah menemukan momentum ”untuk bangkit”. OAP menuntut hak-haknya secara politik dan ekonomi. Mereka melihat bahwa yang bisa mengatur OAP adalah diri mereka sendiri sebagai pemilik hak hidup di tanah mereka.
Salah satu manifestasi dari faktor politik yang destruktif adalah bentuk ”pemaksaan” yang mengharuskan semua tukang ojek dikuasai oleh OAP, misalnya yang terjadi di Kota Wamena. Pemerintah daerah akhirnya memenuhi permintaan tersebut karena potensi konflik yang tinggi apabila tidak dipenuhi dan ada asumsi terkait aspek kepentingan menarik simpati untuk mendapatkan dukungan politis.
Aspek ekonomi
Suatu premis bahwa permasalahan Papua adalah karena aspek ekonomi dihambat oleh faktor budaya yang cenderung diabaikan pemerintah. Sebagai akibatnya, intervensi secara ekonomi dalam bentuk penggelontoran uang yang masif, seperti bantuan tunai langsung dan dana desa, justru ”merusak” karakter dan mentalitas OAP yang secara naluriah adalah pekerja keras. OAP menjadi manusia yang lemah dalam jiwa berusahanya, ingin menikmati hasil serba instan dan senantiasa bergantung pada bantuan karena selama ini terlalu ”dimanjakan”.
Bantuan ekonomi ini diperparah oleh pendampingan dan pengawasan yang minim atau tidak berkelanjutan. Berbagai upaya mendampingi masyarakat OAP untuk mengelola ekonominya menemui jalan buntu karena ekspresi dari aksi melegitimasi ”hak-hak” OAP yang terbentuk dari politik yang terdistorsi di atas. Masyarakat OAP menolak diatur cara menggunakan uangnya. Apabila uang sudah diberikan, dia punya hak sepenuhnya untuk menggunakannya.
”Rasionalitas” tersebut adalah upaya mempertahankan apa yang masih bisa dipertahankan melihat semakin banyaknya kesempatan, pekerjaan, barang-barang, dan kekayaan alam yang justru dimanfaatkan ”orang-luar”. Upaya memberikan sanksi terhadap segala bentuk penyimpangan bantuan justru berpotensi menghasilkan konflik secara komunal.
Sikap ”lalai” memahami budaya dengan memberikan uang secara masif justru membuka masalah baru. OAP kental dengan jiwa sosialnya dan karakter untuk saling membantu sebagai suatu nilai baik. Karena nilai-nilai tersebut, uang yang diterima akan habis dalam sekejap untuk memenuhi jiwa sosialnya. Ada rasa gengsi tinggi dirasakan apabila dinilai tidak bisa membantu orang yang membutuhkan. Jiwa sosial ini yang dianggap sebagai salah satu faktor yang menghalangi OAP untuk dapat mengembangkan ekonominya secara maksimal.
Kompleksnya masalah di atas memerlukan solusi yang bersifat holistik dan terintegrasi. Solusi ini diharapkan menghasilkan dimensi ekonomi politik yang bersifat positif dan tidak lagi destruktif.
Selain itu, OAP membutuhkan bukan hanya kebutuhan material, hak politik, dan ekonomi, melainkan juga intervensi yang dapat membangun rasionalitas dan mengubah pola pikir OAP untuk melihat konteks sosial yang pelik secara kritis. Akhir kata, baik buruknya pembangunan di Papua merupakan tanggung jawab berbagai pemangku kepentingan, termasuk OAP.