Teknologi, Harapan, dan Kecemasan
Era digital dan AI merevolusi budaya jurnalisme. Apakah kemajuan teknologi ini bisa mengubah insan ruang redaksi menjadi seperti mesin pabrik perakit viral, memperburuk kondisi kerja redaksi dan kualitas jurnalisme?

Idi Subandy Ibrahim
Sejak awal, capaian kemajuan teknologi telah memesona manusia (teknofilia) sekaligus menyimpan kekhawatiran awan kelam kemanusiaan yang mungkin ditimbulkannya (teknofobia). Mulai dari teknologi nuklir, aneka mesin penghancur, bioteknologi, pesawat dan stasiun ruang angkasa, satelit dan piranti teknologi informasi dan komunikasi canggih, robotika hingga dielu-elukannya teknologi Kecerdasan Buatan (AI) oleh sebagian penulis sejarah teknologi kontemporer.
Sejak dini teknologi telah menyita emosi manusia mengenai harapan dan kecemasan, tentang capaian kemajuan dan dampak kegagalannya. Pada awal 1980-an, rohaniwan dan humanis Romo YB Mangunwijaya menyunting dua volume buku bertajuk Teknologi dan Dampak Kebudayaannya (Yayasan Obor Indonesia, 1983 dan 1985). Dengan penerbit dan pengantar dari jurnalis kawakan Mochtar Lubis –pengkritik keras teknologi nuklir pada masanya—bisa dibilang di Indonesia, buku yang ditulis oleh para ahli dari berbagai bidang dan bangsa ini, merupakan karya awal dan paling kritis mengenai anggapan naif bahwa teknologi itu netral. Ketika teknologi diletakkan di atas nilai-nilai manusia, teknologi bukan lagi untuk manusia, melainkan manusia untuk teknologi.
Sebaliknya, pandangan awam dan umum memandang teknik bersifat netral dan berfungsi instrumental. Sebagai alat yang dipakai untuk membantu mempermudah aktivitas manusia dalam kerja dan komunikasi. Tetapi menurut filosof Martin Heidegger (1889-1976), kita berada dalam situasi mengherankan, karena apa yang dirancang manusia sebagai alat untuk menguasai dunia, justru menjadi sulit untuk dikuasainya, malahan tidak bisa dikuasai. Anehnya, bagi Heidegger, apa yang diciptakan manusia untuk menguasai dunia, sekarang menguasai manusia.
Baca juga: Reformasi Budaya Komunikasi
George Orwell, pengarang Inggris menulis novel kontroversial sekaligus inspiratif, 1984 (1948), mengenai dampak teknologi terhadap ketidakbebasan manusia dan pengawasan ketat oleh rezim totaliter. Orwell menggambarkan bagaimana gerak-gerik warganegara diawasi setiap waktu melalui televisi.
Tujuh dekade setelah Orwell menulis novelnya, manusia kontemporer merayakan era revolusi digital dan AI. Pada era ini, di satu sisi, begitu banyak potensi dan peluang yang ditawarkan teknologi untuk membantu mempermudah aktivitas manusia dalam belajar, bekerja, berbisnis, dan berkomunikasi. Bahkan di beberapa negara maju, robot telah lama menjadi teman dan pelayan manusia di rumah tangga dan rumah sakit, terutama di masa pandemi. Di negeri seperti Jepang, dimana banyak orang hidup sendiri dan tidak ada orang untuk dipanggil ketika situasi darurat, robot dan AI menjadi partner dalam kehidupan sehari-hari, bahkan termasuk dalam perkara seks. Hal-hal yang semula tak terpikirkan pun terjadi berkat teknologi, seperti lelaki menikahi sosok AI atau perempuan menikahi figur animasi, yang dikenal sebagai fiktoseksual.
Di sisi lain, berkat kemajuan teknologi digital dan AI pula semakin banyak rincian kehidupan pribadi kita yang dicatat tanpa sepengetahuan kita oleh negara dan korporasi, dan disimpan dalam sistem penyimpanan data digital. Big data ini merupakan modal digital strategis apabila jatuh ke tangan indivividu atau lembaga yang dapat memanfaatkannya untuk tujuan baik atau tidak, seperti untuk mengetahui kemampuan membayar pajak, berbelanja atau membayar pinjaman ke bank. Dengan kata lain, tanpa kita sadari, kita sebenarnya terus diawasi!
Baca juga: Kekerasan Budaya
Era digital dan AI juga merevolusi budaya jurnalisme nyaris total. Bukankah jurnalis kini dibanjiri data tentang cerita mana yang paling banyak memikat klik, suka, komentar, dan bagikan. Logika metrik digital telah mengubah kerja jurnalis, memengaruhi cerita yang ditulis, bagaimana berita dilaporkan, dan bahkan mungkin jurnalis mana yang pantas dipekerjakan atau dipecat. Apakah metrik akan membuat jurnalis lebih bertanggung jawab kepada publik? Itu seperti perkara lain. Atau, apakah kemajuan teknologi ini bisa mengubah insan ruang redaksi menjadi seperti mesin pabrik perakit viral, memperburuk kondisi kerja redaksi dan kualitas jurnalisme?
Pertanyaan seperti itulah, misalnya, yang merisaukan Caitlin Petre seperti dalam All the News That's Fit to Click (2021). Dia menjelaskan bagaimana metrik digital menjadi bentuk pengawasan dan disiplin manajerial baru yang kuat namun berbahaya dalam kerja jurnalisme. Alat analitik real-time dirancang untuk memenangkan kepercayaan dan loyalitas jurnalis yang waspada dengan meniru fitur-fitur utama dari game adiktif, termasuk tampilan imersif, umpan balik instan, dan “skor” serta peringkat yang terus diperbarui. Transformasi budaya digital ini mendorong banyak jurnalis terpikat pada digital metrik ― dan memaksa mereka bekerja lebih keras untuk meningkatkan skor berita dari aspek kuantitatif.
Rupanya dampak kemajuan AI bagi industri pengetahuan juga kian dirasakan harian Kompas. Menyambut hari jadinya yang ke-58, harian ini menurunkan edisi khusus mengenai potensi masa depan yang terbuka oleh AI (Kompas, 28 Juni 2023). Semua tulisan bernada optimisme atau lebih tepat harapan yang baik terhadap AI seperti antaran reflektif dari pemimpin redaksi, Sutta Dharmasaputra, yang berkomitmen mengusung jurnalisme mencerahkan.
Baca juga: Pancasila sebagai Ekologi Budaya
Di tengah harapan cerah, kita diingatkan oleh Meredith Broussard, seorang pengembang perangkat lunak dan jurnalis, dalam Artificial Unintelligence (MIT Press, 2018). bahwa ada batasan mendasar tentang apa yang dapat (dan harus) kita lakukan dengan teknologi. Menurut dia, kita tidak boleh berasumsi bahwa teknologi selalu melakukan hal yang benar.
Menantang teknochauvinisme—keyakinan bahwa teknologi selalu menjadi solusi—Broussard memandang bahwa masalah kemanusiaan tidak dengan sendirinya surut dengan kemajuan digital. Barangkali yang dimaksudkannya, jika kita memahami batasan dari apa yang dapat kita lakukan dengan teknologi, mungkin kita dapat membuat pilihan lebih baik tentang apa yang harus kita lakukan dengannya untuk menjadikan dunia lebih baik bagi semua orang.
Idi Subandy Ibrahim adalah Peneliti Budaya, Media, dan Komunikasi; Pengajar MIK
Pascasarjana Universitas Pasundan Bandung; Pengajar LB MIK Pascasarjana FISIP Universitas Brawijaya Malang: dan Pengajar LB Program S3 Agama dan Media/Studi Agama-Agama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.