Pemikiran kita sering terlalu subyektif, seolah bangsa ini hidup sendirian dalam ruang hampa, seakan tak tersentuh paham lain yang berseliweran dari berbagai penjuru dan aneka media.
Oleh
IDI SUBANDY
·4 menit baca
Tema Hari Lahir Pancasila 2023, ”Gotong royong membangun peradaban dan pertumbuhan global”, menggambarkan harapan bahwa Pancasila tak hanya bisa berperan dalam konteks nasional, tetapi juga global. Jika sasarannya adalah kontribusi Indonesia dalam peradaban dan pertumbuhan global, jelas perlu agenda besar membumikan Pancasila dalam konteks global.
Harapan besar tentu tak salah. Namun, impian global seyogianya berpijak dari capaian nasional. Pertanyaannya, sejauh mana nilai-nilai Pancasila menjadi rujukan dalam konteks peradaban dan pertumbuhan nasional?
Bukan ruang hampa
Dalam dekade-dekade terakhir, ketegangan global tidak hanya dalam struktur ekonomi, geopolitik, dan militer, tetapi juga dalam lalu lintas komunikasi budaya dan perang informasi. Internet semula ruang bebas berbagi informasi untuk semua, kemudian berkembang menjadi kendaraan utama iklan komersial dan politik serta medan propaganda, terorisme, dan kriminalitas. Sementara masa depan bangsa-negara kita secara intrinsik akan terkait dengan sikap kita terhadap perubahan lingkungan alam dan budaya.
Lalu, bagaimana agar Pancasila tetap bermakna dan relevan bagi generasi baru di tengah ketimpangan nasional dan ketegangan global? Pertanyaan ini penting mengingat arus pergeseran nilai dan perubahan budaya akan terus berlangsung dan mengubah bahkan mengikis kesadaran setiap generasi terhadap rujukan nilai-nilai budaya.
Sementara dasar negara yang tidak memengaruhi kesadaran warganya seperti aturan mulia tanpa pijakan di bumi. Seperti gagasan utopis! Tentu, kita tidak ingin Pancasila menjadi sekadar utopia, atau sekadar ritual tahunan merayakan hari jadinya, atau mengingat butir-butir sila-silanya. Kita merindukan Pancasila memengaruhi tindakan nyata berbudaya.
Sayangnya, Pancasila belum sepenuhnya menjadi kekuatan inspirasi, apalagi rujukan, dalam bertindak, baik dalam politik maupun ekonomi. Sementara kesadaran budaya dan cara berpikir kita sebagai bangsa seperti hanya jalan di tempat. Pemikiran kita sering terlalu subyektif, seolah bangsa ini hidup sendirian dalam ruang hampa, seakan tak tersentuh paham lain yang berseliweran dari berbagai penjuru dan aneka media.
Tak jarang Pancasila sebagai ideologi politik digunakan secara agresif untuk mencari kawan-lawan dalam masyarakat, bukan dalam konteks pencarian solusi atas masalah bersama. Pancasila terkadang masih dipakai sebagai mesin penyeragaman untuk menakut-nakuti warga supaya tunduk pada kuasa (ekonomi atau politik).
Kesadaran ekologi budaya
Konsep ”ekologi” berkembang seiring ruang dan waktu. Berakar dari bahasa Yunani oikos, ekologi bermakna rumah tangga dan, implikasinya, pada saling ketergantungan alami dan harmonis dari komunitas. Ekologi juga merujuk pada saling ketergantungan alami di antara organisme, dan antara organisme dan lingkungannya.
Pada akhir abad ke-20, ekologi mulai memiliki makna moral, berkaitan dengan pelestarian atau pemulihan lingkungan agar saling ketergantungan yang terancam di antara manusia dan organisme lain dapat dilindungi atau diperbarui.
Menempatkan Pancasila dalam kesadaran ekologi budaya menjadi alternatif berpikir untuk menjadikannya bukan seonggok ideologi abstrak atau gugusan norma. Karena budaya adalah darah kehidupan kita. Sebagai ekologi budaya, Pancasila adalah ”rumah besar” bagi bernaungnya secara harmonis dan saling tergantung dari aneka ragam budaya Nusantara. Sebagai ekologi budaya, ia juga ”rumah kecil” untuk menyambungkan hati kita dalam mengapresiasi perbedaan pikiran atau paham sebagai kekayaan, bukan ancaman.
Namun, kata kunci saling tergantung dan kerja sama dalam ekologi budaya yang sejalan dengan semangat gotong royong masih sering diingkari dalam laku eksploitatif, koruptif, manipulatif, atau tiranik.
Kesadaran ekologi budaya Pancasila sejatinya tidak memberi ruang bagi warga yang setelah hampir delapan dekade merdeka, tetapi berlomba menjadi pejabat publik atau wakil rakyat hanya untuk tujuan memperkaya diri atau kelompok. Mental eksploitatif menyangkal prinsip ekologi, menjadi destruktif bagi ekologi budaya Pancasila!
Beruntungnya, di tengah pencemaran lingkungan budaya dan eksploitasi lingkungan alam yang masif, bangsa besar ini tetap melahirkan diplomat dan pejuang lingkungan budaya dan alam. Mereka bisa kita sebut sebagai ”diplomat Pancasila” di dunia maya dan nyata.
Untuk menyebut beberapa, seperti gitaris-youtuberAlip_Ba_Ta, pria sederhana, lewat medium seni mengharumkan nama bangsanya dengan cara elegan, tanpa retorika, memikat jutaan penikmat global. Atau, seperti dedikasi perempuan aktivis lingkungan Tano Batak, Delima Silalahi, baru-baru ini meraih penghargaan lingkungan Goldman. Kisah perjuangan Delima mendekatkan kepedulian lingkungan global pada krisis identitas budaya kita yang seharusnya menyadarkan korporasi dan pemerintah.
Perspektif ekologi budaya bisa menjadi jangkar dalam pembuatan kebijakan-kebijakan budaya agar selalu peka terhadap hak-hak budaya, warisan budaya, kesetaraan budaya, perlindungan identitas budaya, untuk meningkatkan kualitas lingkungan budaya di hadapan serbuan globalisasi kapital dan komodifikasi ruang budaya.
Menempatkan Pancasila sebagai landasan ekologi budaya memungkinkan bangsa majemuk ini berperan aktif menjadikan dunia sebagai ruang hidup yang damai dan nyaman untuk dihuni. Untuk itu, diperlukan rekontekstualisasi dan kreativitas budaya agar muncul peluang lebih luas bagi budaya beraneka untuk bertemu, bekerja sama, dan memahami satu sama lain.
Akhirnya, kualitas ekologi budaya akan sangat ditentukan oleh kesadaran dan kepedulian warga dan komunitas budaya. Menggerakkan komunitas budaya dan merangsang refleksi kritis warga pada kualitas lingkungan budaya merupakan tugas monumental.
Mengingat ekologi budaya sama pentingnya dengan masa depan kita bersama seperti halnya ekologi alam, sudah saatnya Pancasila mengilhami kesadaran guna membentuk ekologi budaya kita. Seperti senandung balada Franky Sahilatua (2011), ”Pancasila Rumah Kita/Rumah untuk kita semua/ Nilai dasar Indonesia/Rumah kita selamanya…”.
Idi Subandy Ibrahim, Peneliti Budaya, Media, dan Komunikasi; Pengajar MIKPascasarjana Universitas Pasundan Bandung; Pengajar LB MIK Pascasarjana FISIP Universitas Brawijaya Malang; dan Pengajar LB Program S-3 Agama dan Media/Studi Agama-agama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung