Sebagai pesan, Idul Fitri membuka jalan kebersamaan (persatuan), pesan kemanusiaan setara yang merekatkan kita sebagai keluarga bangsa dan umat manusia.
Oleh
Idi Subandy Ibrahim
·4 menit baca
Idul Fitri 1444 H yang baru saja dirayakan dengan antusiasme oleh umat Islam melambangkan dimensi komunikatif dari agama. Ia adalah media religiositas sekaligus pesan humanitas. Sebagai media, ia merupakan sarana untuk melakukan transformasi diri menjadi pribadi-pribadi yang merepresentasikan sifat-sifat Tuhan di dunia: welas asih dan penyayang. Sebagai pesan, ia membuka jalan kebersamaan (persatuan), pesan kemanusiaan setara yang merekatkan kita sebagai keluarga bangsa dan umat manusia.
Pesan Idul Fitri atau ”kembali kepada fitrah” (jati diri manusia) diwujudkan dalam dimensi komunikasi vertikal sekaligus horizontal sehingga nilai-nilai dan perilaku komunikasi insani (human communication) berarti sekaligus sebagai cerminan nilai-nilai komunikasi ilahiah (divine communication). Oleh karena itu, penghayatan atas perayaan Idul Fitri selalu kontekstual dengan dinamika zamannya.
Jika politik sebagai sarana mengejar kekuasaan sering menggunakan komunikasi yang ”keras” guna memengaruhi masyarakat untuk mencapai tujuan, media sosial dijadikan mesin komunikasi manipulatif untuk membelokkan isu atau propaganda virtual. Kata-kata persuasif dan agitatif lumrah digunakan sebagai ungkapan untuk memikat atau menyerang lawan demi memenangi persaingan politik yang keras.
Di tengah gempuran komunikasi politik yang hendak memecah dan merenggangkan kerukunan, Idul Fitri mendorong penghayatan agama yang empatik guna menghaluskan hati manusia untuk memaknai perbedaan pandangan sebagai rahmat Tuhan di bumi. Ia jalan mereformasi perilaku komunikatif manusia dalam berbagai dimensi: komunikasi antarpribadi, budaya, politik, dan antar-keyakinan.
Emansipasi komunikasi
Tentu saja, budaya silaturahmi dan saling memaafkan yang dijiwai oleh semangat Idul Fitri tidak hanya diwujudkan dalam perbaikan komunikasi yang sudah dilakukan, tetapi juga dalam komunikasi yang akan dilakukan. Jadi, kesalahan komunikatif atau miskomunikasi bisa diantisipasi, alih-alih melakukan komunikasi manipulatif. Karena itu, hakikat Lebaran adalah ajang humanisasi komunikasi, yakni jalan emansipasi komunikasi yang selama ini mungkin sudah terdistorsi berbagai kepentingan sesaat.
Bukankah di tengah kerentanan watak manusia selalu ada jalan untuk menjadi baik. Suasana Lebaran membuka ruang komunikatif yang luas jika kita mau membuka hati bagi orang lain. Di tengah empasan globalisasi dan modernisasi, orang merindukan suasana yang mulai hilang dalam komunitas. Seperti ajakan halus, panggilan batin untuk kembali ke kemurnian hati manusia.
Pesan Idul Fitri atau ’kembali kepada fitrah’ (jati diri manusia), diwujudkan dalam dimensi komunikasi vertikal sekaligus horizontal sehingga nilai-nilai dan perilaku komunikasi insani (human communication) berarti sekaligus sebagai cerminan nilai-nilai komunikasi ilahiah (divine communication). Oleh karena itu, penghayatan atas perayaan Idul Fitri selalu kontekstual dengan dinamika zamannya.
Kita merindukan komunikasi yang tulus dalam reuni silaturahmi atau halalbihalal, antarkeluarga, antarteman, antarkolega, antarwarga. Kerinduan itulah yang membuat mudik membudaya. Momen berbagi dan memaafkan seperti obat penawar dalam mengatasi konflik kejiwaan bagi masyarakat Indonesia yang sedang dilanda pergeseran nilai dan perjuangan hidup yang semakin berat.
Lebaran yang diawali sebulan berpuasa bisa diibaratkan seperti ”jeda” dalam ruang batin dan ruang kebangsaan untuk menata kembali kehidupan di tengah krisis sosial dan lingkungan. Sebagai momentum untuk menyembuhkan krisis, terutama bagi mereka yang merasa martabat dan jati dirinya telah terenggut oleh kerasnya perubahan sosial-budaya tersebut.
Narsisisme kebahagiaan materi
Namun, sebagian kalangan mungkin mengekspresikan kebahagiaan dengan cara berbeda. Sekarang media sosial menjadi panggung narsistik kenikmatan materi bagi sebagian OKB (orang kaya baru) yang tidak merasa sungkan alih-alih malu memamerkan harta benda meski belum tentu diperoleh dengan cara halal.
Ketika sebagian orang (pejabat) merayakan kesuksesan (atau mungkin kesenangan) sebagai pamer materi di dunia nyata maupun dunia maya, Idul Fitri justru kehilangan makna spiritualnya. Sekadar makna lahir, bukan makna batinnya.
Pesan rohaniah Idul Fitri menyasar kalangan yang selama ini suka mencampuradukkan kenikmatan (pleasure) materi dengan kebahagiaan (happiness) hakiki.
Menariknya, saat media sosial sedang meruncingkan wacana pamer kemewahan materi sebagai arti kesuksesan hidup bagi sebagian OKB, hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan hal sebaliknya. Sebagian besar masyarakat justru meyakini hal-hal spiritual/imateriil merupakan sumber kebahagiaan mereka (Kompas, 20/3/2023). Narsisisme OKB memperlihatkan sisi lain wajah kesenjangan sosial dalam kehidupan nyata.
Rasa ketidakadilan ditambah kesenjangan komunikasi sosial antarwarga sewaktu-waktu mungkin memancing kecemburuan sosial dan seperti bara dalam sekam bisa meledakkan konflik sosial. Kemudian, perilaku dan budaya komunikasi elite politik yang tidak berempati pada nasib rakyat kebanyakan juga bisa menjadi lahan yang rentan, terutama dalam suasana politik menjelang Pemilu 2024.
Karena itulah, Idul Fitri bermakna strategis. Penggerak kesadaran pentingnya reformasi dalam berbagai bidang kenegaraan dan kebangsaan. Reformasi birokrasi, misalnya, tidak cukup hanya untuk menyelenggarakan pemerintahan yang profesional, akuntabel, dan transparan. Tujuan utamanya, bagaimana meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sekaligus juga momentum untuk mengembalikan kepemimpinan kepada hati nurani. Panggilan hati nurani mendorong seorang pemimpin untuk meminta maaf, misalnya, atas kekurangan kompetensi atau kegagalannya memenuhi sumpah dan janji sebagai pemimpin. Di sini pemaknaan Idul Fitri menjangkau inti terdalam dari kesadaran kepemimpinan yang sejatinya berorientasi pada kebahagiaan rakyat.
Sayangnya, budaya komunikasi kepemimpinan seperti itu mulai dikalahkan pragmatisme politik yang semakin mengudeta nurani pelaku politik. Reformasi budaya komunikasi seyogianya mengubah kesadaran kepemimpinan yang bersumber dari bawah dan berorientasi rakyat sehingga kedudukan dan jabatan sesungguhnya amanah dan jalan terbuka untuk menyejahterakan rakyat. Saatnya budaya meminta maaf dilakukan kaum elite kepada wong cilik dan membuktikannya dalam perbaikan kebijakan-kebijakan yang berorientasi keadilan!
Idi Subandy Ibrahim, Peneliti Budaya, Media, dan Komunikasi; Pengajar MIK Pascasarjana Universitas Pasundan, Bandung; Pengajar LB MIK Pascasarjana FISIP Universitas Brawijaya, Malang; dan Pengajar LB Program S-3 Agama dan Media/Studi Agama-agama Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung