Mudik, Menjaga Sakralitas dan Membangun Rasionalitas
Mudik menjadi proses pemaknaan ulang terhadap perubahan kehidupan, dengan menyatukan kembali capaian terjauh yang diraih seseorang dengan tempat awal dari mana dia bermula.
Oleh
AHMAD-NORMA PERMATA
·5 menit baca
Acara tahunan saat hari raya Idul Fitri yang dikenal sebagai mudik menjadi fenomena yang gegap gempita sekaligus sarat makna. Jutaan warga berbondong-bondong memadati sarana transportasi untuk kembali ke kampung halaman, yang jumlahnya kian meningkat dari tahun ke tahun, menjadi pemandangan yang mengagumkan sekaligus mengharukan.
Mudik adalah fenomena komunal yang tidak pandang golongan dan kelas. Para jetset dan crazy rich mudik dengan transportasi mewah. Para pejabat negara mudik dengan pengawalan dan protokol meski tidak mencolok seperti biasanya. Warga kelas tengah mudik dengan persiapan panjang dan menyisihkan tabungan, sementara masyarakat biasa mudik hanya dengan apa yang ada dan niat yang membara.
Semua tersedot oleh energi dahsyat tak kasatmata untuk menjenguk kembali ke tempat-tempat mereka dibesarkan: rumah, sekolah, tempat bermain; dan berjumpa kembali dengan orang-orang yang memiliki ikatan emosi di masa lalu: orangtua, sanak saudara, tetangga, teman sekolah, dan sahabat. Semuanya itu menjadi pemandangan rutin tahunan yang polanya mudah digambarkan dan diprediksi, tetapi maknanya barangkali hanya dapat dijangkau oleh mereka yang pernah menjalani.
Secara fisik, mudik adalah proses yang sangat rumit, melibatkan persiapan infrastruktur, mobilisasi sarana transportasi publik, serta rekayasa lalu lintas yang intens dan melelahkan. Dalam perjalanan waktu, pergelaran tahunan ini sekaligus bisa menjadi neraca bagi pertumbuhan ekonomi dan capaian pembangunan. Dari data jumlah pemudik, Indonesia tidak terbantahkan telah mengalami peningkatan kesejahteraan ekonomi yang nyata.
Mengapa begitu penting
Sekilas, fenomena mudik ini tampak berlawanan dengan dengan narasi tentang kemajuan. Sebab, sebenarnya jumlah pemudik yang pulang ke kampung sekaligus menggambarkan jumlah orang kampung yang melakukan urbanisasi ke kota. Selama ini para sosiolog menjelaskan bahwa proses urbanisasi bukan hanya perpindahan fisik manusia dari desa ke kota, melainkan juga transformasi budaya dari perdesaan (rural) yang dicirikan dengan kolektivisme dan solidaritas menuju budaya perkotaan (urban) dengan ciri individualisme dan kompetisi.
Fenomena mudik menjadi menarik ketika orang-orang yang notabene sudah meninggalkan desa dan menjadi orang kota masih tetap terikat untuk meluangkan waktu kembali ke desa tempat asal mereka dengan segala keruwetan dan biaya yang secara rasional tidak menguntungkan. Dengan demikian, nalar mudik sebenarnya bertentangan dengan nalar masyarakat urban yang individualis dan materialis. Artinya, orang-orang yang selama ini dianggap telah menjalani proses urbanisasi dan bertahun-tahun menjadi orang kota, beranak pinak bahkan bercucu, terbukti tidak sepenuhnya terurbanisasi. Mereka tidak pernah kehilangan kedesaannya.
Bagi orang-orang semacam ini, mudik menjadi proses pemaknaan ulang terhadap perubahan kehidupan, dengan menyatukan kembali capaian terjauh yang diraih seseorang dengan tempat awal dari mana dia bermula. Mudik menjadi ekspresi keutuhan antara nalar komunal perdesaan dan nalar capaian individual masyarakat urban.
Ia menjadi penyingkapan bahwa kesuksesan hidup tidak pernah merupakan capaian individu, tetapi selalu capaian kolektif. Laki-laki dan perempuan muda yang meninggalkan desa mengadu nasib ke kota tidak pernah berangkat sendiri, tetapi selalu ditemani oleh harapan dan doa orangtua, sanak keluarga, teman, dan sahabat. Dengan demikian, dalam setiap tahapan capaian kehidupan, mereka merasa perlu harus berbagi dengan orang-orang yang selama ini menemani mereka dari jauh. Tidak ada kesuksesan yang dapat dinikmati sendiri. Semua harus dibagi.
Namun, barangkali ada akar yang lebih dalam dari tradisi mudik, yang bahkan sudah berusia ribuan tahun. Menurut mendiang Clifford Geertz dalam monograf ”The Development of Javanese Economy: A Socio-Cultural Approach” (1956) sebuah karya yang nantinya menjadi landasan teori dari buku The Religion of Java (1960) yang kontroversial, masyarakat Jawa—dan Asia Tenggara pada umumnya—memiliki tiga koordinat utama dalam kehidupan kolektif yang lahir dari tiga akar yang berbeda.
Pertama, kehidupan desa yang sudah ada sejak ribuan tahun, tempat masyarakat membangun nilai-nilai kekeluargaan yang dicirikan oleh keramahan, kerukunan, dan kesetaraan laki-laki dengan perempuan. Kedua, kehidupan negara sebagi pengaruh dari peradaban India yang ditegakkan melalui militer dan birokrasi. Ketiga, kehidupan pasar yang menjembatani relasi antagonis desa dan negara, yang menurut Geertz marak berkembang bersamaan dengan perkembangan Islam. Yang menarik adalah, sebagaimana dijelaskan oleh Amitav Acharya dalam Civilization in Embrace (2012), pengaruh peradaban dunia yang datang ke Asia Tenggara tidak menghilangkan tradisi budaya lokal, tetapi justru saling menguatkan.
Mudik menjadi contoh bagaimana kehidupan perdesaan, kehidupan kebangsaan, dan kehidupan perekonomian berkelindan memberi makna bagi masyarakat menghadapi zaman yang selalu berubah. Desa menyediakan nilai-nilai kebersamaan, kekeluargaan, dan kasih sayang. Pasar menjadi kerangka membangun keberhasilan dan kemajuan, sedangkan negara memberi nilai keamanan dan kesatuan. Ketiganya menyatu dalam momen mudik
Sakralitas dan rasionalitas
Namun, sebagaimana setiap tradisi, Mudik juga memiliki sisi gelap yang perlu ditangani dan diantisipasi dengan serius. Transportasi dan lalu lintas menjadi salah satu faktor paling urgen untuk senantiasa diperbaiki pengelolaannya. Jangan sampai lagi terjadi kemacetan berkepanjangan hingga merenggut korban jiwa, seperti kasus Brebes 2016. Perlu dibuat perencanaan yang lebih matang sehingga perjalanan mudik menjadi aman dan nyaman.
Sementara dari sisi pemudik juga perlu ada penyadaran untuk tidak berlebihan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa mudik adalah ajang pamer keberhasilan yang sudah dicapai kepada warga kampung halaman. Bahkan, tidak jarang show off keberhasilan tersebut dilakukan dengan memaksakan diri: membeli pakaian over budget ataupun rental kendaraan yang ditampilkan sebagai milik pribadi. Bahkan, rental perhiasan untuk meningkatkan penampilan. Mungkin karena ingin memberikan kebanggaan kepada kampung halaman.
Perlu upaya untuk saling mengingatkan bahwa mudik adalah momen sakral, kultural sekaligus spiritual, umat Islam yang telah berhasil memenangkan perjuangan puasa selama bulan Ramadhan dan menyempurnakannya dengan saling bersilaturahmi. Jangan sampai momen sakral ini didangkalkan dengan pamer dan jorjoranyang akan mereduksi kedalaman makna mudik dan Lebaran. Momen Lebaran yang harusnya sakral akan menjadi tandus dengan kebanggaan yang dipaksakan, apalagi yang palsu.
Mudik dan Lebaran masih akan menjadi tradisi yang tetap berlangsung bagi umat Muslim Indonesia. Momen ini bahkan akan semakin besar volumenya. Perlu upaya menjaga keseimbangan mudik dan Lebaran sebagai momen yang sakral sekaligus rasional sehingga manfaatnya dapat dicapai, sementara mudaratnya dapat dikurangi. Menjadikan mudik sebagai ajang silaturrahmi antarkeluarga dan handai tolan. Mudik menjadi sarana redistribusi ekonomi dari kota ke desa. Mudik juga menjadi sarana menguatkan identitas budaya bangsa dengan menyatukan endapan-endapan warisan sejarah yang beragam dan kaya.
Editor:
DENTY PIAWAI NASTITIE
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.