Pudjo, Obituari untuk Orang Baik
Jika boleh diandaikan, Mas Top adalah jenis jurnalis yang langka, karena dia unik, otentik, dan jujur akan segala kemampuannya.
Beberapa bulan sebelum Mas Top, demikian nama panggilannya, menjalani masa pensiun tahun 2017 dari Kompas, saya sengaja datang ke Yogyakarta. Tujuannya memang tak hanya untuk re(kreasi) ke bagian selatan wilayah istimewa itu, tetapi lebih-lebih menyambung tali simakrama (kekerabatan) yang sudah lama kami jalin. Saya mendengar, melakukan perjalanan ke gunung api purba, populer dikenal Bukit Nglanggeran, Gunung Kidul, tak hanya menjadi refreshing, tetapi lebih-lebih re(kreasi), di mana saya dan Mas Top, bisa menyegarkan diri, memperbarui persahabatan, sekaligus menangguk inspirasi.
Kata ”re(kreasi)” sendiri bentukan dari saya, yang kemudian saya tawarkan kepada Mas Thomas Pudjo Widijanto, begitu nama lengkapnya, sebelum saya akhirnya benar-benar ke ”Jogja”. Ia setuju, bahkan dengan menggebu-gebu Mas Top berujar, ”Saya perlu re(kreasi) itu, Anda cerdas menggatuk-gatukkan kata, apalagi sudah mau pensiun November nanti,” katanya. Ia hampir selalu mengucapkan kata ”cerdas” itu, (mungkin) kepada setiap orang yang dianggapnya punya gagasan menarik, sebab belum tentu artinya saya cerdas beneran. Itulah diksi khas Mas Top untuk mengekspresikan ketertarikannya akan sesuatu.
Kami tidak berangkat berdua, tetapi dipandu oleh Mas Sartono, pensiunan karyawan sebuah bank nasional di Yogyakarta. Kini ia lebih banyak menjadi pemandu para wisatawan yang ingin mengubek-ubek ”jeroannya” Yogyakarta. Mas Top, kendati telah meliput berbagai peristiwa dan obyek di kawasan Yogyakarta dan Jawa Tengah, belum pernah mengunjungi Bukit Nglanggeran. Destinasi wisata ini memang baru beberapa tahun terakhir (terhitung sampai tahun 2017) menjadi hype di media sosial. Terutama, tentu saja karena terasa sedikit ”aneh” ada tujuan wisata pendakian, yang tidak terlalu berat, di bagian selatan kota. Umumnya, wisata pendakian atau pegunungan di daerah ini identik dengan kawasan Merapi dan Kaliurang di bagian utara.
Mungkin Mas Top termakan provokasi saya soal kata ”re(kreasi)” tadi. Dalam benaknya, sebagai jurnalis yang sudah malang melintang sampai ke tengah-tengah konflik di Maluku dan kini menjelang pensiun, saatnya mengisi kembali baterai pengetahuan yang nyaris ”soak”. Jelasnya, Mas Top butuh mengunjungi lokasi-lokasi yang ”baru”, berkesan, tak berat, dan yang terpenting menghibur. Kata terakhir ini yang paling utama sebenarnya.
Dalam tahun-tahun terakhir sampai kemudian Mas Top pensiun, saya masih meminta bantuan kepadanya untuk menjadi ”agen” bagi para pelukis di wilayah Yogyakarta. Secara bergiliran dalam tiga pekan sekali, Mas Top meminta kesediaan para perupa untuk menggambar ilustrasi cerpen yang akan diterbitkan di Kompas Minggu. Pada galibnya memang tiga pekan sekali karena bergiliran dengan para perupa dari Bandung dan Bali. Namun, sering kali yang terjadi, para perupa Yogyakarta bisa berurutan mengisi ilustrasi saban pekan.
”Ini ada pelukis kesulitan. Kasihan, kalau ada cerpen kasi dia dulu,” kata Mas Top.
”Ini Mas Butet mau juga, katanya ingin melemaskan tangannya untuk melukis lagi,” kata Mas Top di lain hari. Biasanya semua permintaannya saya penuhi. Bukankah ini misi yang mulia membantu orang yang lagi kesulitan hidup, tanpa harus merendahkan kemampuan dan martabatnya sebagai manusia?
Barangkali, jika Mas Top masih hidup hari ini, sutradara sekaliber Agus Noor, akan menghubunginya dan minta ”jatah” membuat ilustrasi cerpen di Kompas. Publik banyak yang tahu bahwa Agus Noor kini sangat aktif melukis dan berpameran (laku pula karyanya ini). Meski ia kenal dengan jajaran redaktur Kompas Minggu, tentu termasuk saya, yang masih menjadi kurator cerpen sampai saat ini, niscaya Agus Noor akan menghubungi Mas Top.
Kenyataan itu menandakan betapa luasnya pergaulan Mas Top di Yogyakarta; betapa pentingnya pula posisi Mas Top dalam pergaulan kesenimanan dan kebudayaan di kota itu. Ia tak sekadar kepanjangan tangan dari lembaga kredibel seperti Kompas, tetapi benar-benar hadir sebagai agen kebudayaan. Mas Top bahkan menjadi ikon dari kehadiran Kompas di tengah-tengah para budayawan di Yogyakarta. Penampilannya ikonik, cara bergaulnya partisipatif, kadang juga terlibat terlalu jauh sih, terutama dalam hal ngombe ciu… (he-he-he…).
Baca juga: Mas Pudjo, Wartawan ”Kompas” di Yogyakarta, Pamit Pensiun
Jika memang dianggap sebagai hiburan, mungkin kepercayaan yang kami berikan dari Jakarta, agar Mas Top terus menjadi agen buat para perupa itu, adalah hiburan di saat usianya terus bertambah. Ia tak pernah menolak jika diberi ”tugas” menghubungi para perupa. Bahkan tak jarang, ia duduk manis di ruang tamu seorang pelukis agar karyanya segera selesai.
”Ini Samuel belum bisa dihubungi. Duh piye arek iki…,” kata Mas Top tentang perupa Samuel Indratma, yang sering kali bersikap ”misterius”. Padahal, tambah Mas Top, ia minta-minta dengan sangat agar diberi ”jatah” menggambar ilustrasi, sehubungan dengan kondisi sakunya yang kempis.
Toh begitu, saya percaya saja, Mas Top pasti bisa menyelesaikan tugas-tugas itu, meskipun dalam tenggat yang mepet dengan deadline. Ia sudah terbiasa bekerja di bawah tekanan deadline dan terbiasa pula bergaul dengan para seniman dengan berbagai polah lakunya. Saya menilai itulah salah satu keistimewaan yang dimiliki jurnalis kelahiran Wonogiri ini. Ia tak pernah berhitung soal ongkos jerih payahnya, padahal sudah menjalani masa pensiun.
Oh ya, saya akan ceritakan perjalanan kami ke Bukit Nglanggeran di Gunung Kidul itu. Ketika kami tiba pagi hari, sinar matahari memang belum menyengat. Mas Top masih santai saja ketika kami tiba di bawah perbukitan kars itu. Ketika melempar pandangan ke atas, tiba-tiba Mas Top berujar, ”Lho ini tinggi tho ternyata? Lha, apa saya ini masih mampu?” Saya tahu itu pertanyaan retoris. Ia sedang mempertanyakan kemampuannya untuk mendaki mengingat usianya yang makin sepuh.
Oh sekadar tahu, sewaktu kami sama-sama menjadi redaktur di Kompas Biro Yogyakarta antara 2006-2009, Mas Top pernah menderita sakit parah. Ia mengidap diabetes yang akut, sampai-sampai nyaris mengalami kebutaan. Waktu itu, Mas Top dirawat di rumah sakit hampir sebulan. Tubuhnya tiba-tiba mengurus, kemampuan penglihatannya menurun drastis, berjalan pun kesusahan. Setelah pulang dari rumah sakit, saban kali saya singgah di rumahnya di kawasan Minomartani, Sleman. Ia punya studio musik di rumahnya di sebuah gang yang tidak terlalu lebar. Studio itu ia buat khusus untuk anak keduanya, Elang Sakra Abimantara.
Tak jarang kami ngejam di sana, saya bermain gitar dan Mas Top bermain kibor. Tak bisa dimungkiri dari studio itulah anak kedua saya, Rakya Ramadewa, mulai berkenalan dengan alat musik. Walau umurnya masih 4 tahun, Rakya sudah mulai mencoba-coba drum dan gitar.
Jadi ketika kami memutuskan mendaki Bukit Nglanggeran, kondisi Mas Top sebenarnya masih mengidap diabetes. Ia tak pernah benar-benar sembuh, seperti yang kini juga diderita seniman Butet Kartaredjasa. Bedanya, jika Mas Butet saban hari harus menyuntikkan insulin ke tubuhnya sebelum makan, Mas Top hanya melakukannya sesekali. Ia termasuk ”bandel” dalam soal mengonsumsi obat. Selalu mencoba melawan sampai batas di mana ia kemudian tidak mampu melawan sakitnya.
Pelan-pelan saya katakan, mendaki Bukit Nglanggeran tentu tidak sama dengan mendaki Merapi. Di sini, kata saya lagi setelah berkonsultasi dengan Mas Sartono, jalan-jalan pendakian sudah diberi tangga. Walau celahnya sempit di antara jepitan bukit kapur, tetap kita akan mendaki dengan tangga. Pendek kata tidak berat.
”Jadi tak perlu khawatir Mas. Saya akan jalan belakangan, apabila Mas Top butuh dukungan seperti daya dorong, saya akan dorong dari belakang,” kata saya. Sementara pemandu kami, Mas Sartono, akan berjalan paling depan. Karena dialah yang mengerti medan Bukit Nglanggeran.
Baca: Mas Pudjo
Mas Top akhirnya setuju untuk segera mendaki. Pada medan-medan datar walau bercelah-celah batu dan berlembah, Mas Top mulai gemetaran. Rupanya, ia juga mengidap akrofobia, ketakutan berlebihan terhadap ketinggian. Selain itu, ia juga belum sepenuhnya percaya diri tentang kemampuan fisiknya. Setiap saat selalu mengeluh gemetaran, ngos-ngosan, kurang tenaga atau lemas.
Sesekali saya menyalipnya, lalu saya tarik tangannya untuk melewati beberapa rintangan. Sampai akhirnya tibalah kami di sebuah celah yang sempit, hanya cukup untuk sebadan orang dewasa. Di bawah celah, Mas Top bilang menyerah. Ia akan menunggu di pinggang bukit saja. Memang, selain celahnya sempit, sudut kemiringan tebing ini terbilang ekstrem: hampir 90 derajat! Kira-kira panjangnya sekitar 30 meter, tetapi ya itu tadi, langsung menanjak.
Rupanya pengelola obyek wisata Bukit Nglanggeran telah menyiapkan segala sesuatunya. Mereka telah lama membuat tangga dari kayu dan memasangnya di celah bukit yang sempit itu. Saya katakan, ”Sudah tak ada kesempatan lain untuk membuktikan bahwa Mas Top masih sehat dan kuat. Sekarang atau tidak sama sekali….” Saya katakan itu seperti seorang coach olahraga untuk memberi semangat kepada anak didiknya.
Kami bertiga duduk sekitar 30 menit di kaki tebing. Saya sabar menunggu Mas Top mengambil keputusan. Tak berapa lama, tiba-tiba ia bangun dan menuju anak tangga pertama. Sambil berujar, ”Bantu saya sampai di atas,” ia mulai menjejakkan kakinya di anak tangga.
”Iyessss…, iyess…, iyess…”.
Tak henti-hentinya saya meneriakkan kata itu. Walau dengan sangat susah payah, perlahan-lahan Mas Top akhirnya berhasil melewati celah sempit dengan tangga yang sangat licin itu. Sekali-sekali ia harus berhenti, mengatur napas, untuk kemudian melangkahkan kaki lagi. Satu per satu puluhan anak tangga akhirnya mampu ia lewati. Saya ingat pepatah kuno, langkah-langkah kecil akan mengantarmu pada langkah besar, dan langkah besar akan membawamu pada keberhasilan. Saya terus kumandangkan itu di telinga Mas Top.
Kami akhirnya tiba di puncak bukit pertama. Mas Top tergeletak. Ia seperti kehabisan napas. Saya memberinya minum. Ketika kondisinya mulai agak pulih, saya memintanya untuk melihat lanskap yang terpampang dari atas bukit itu.
”Wow…, wow…, mengapa selama ini luput dari amatan saya,” katanya. ”Ini benar-benar re(kreasi), Anda cerdas telah membawa saya pada pemandangan yang menakjubkan. Saya jadi fresh dan ingin menulis ini,” katanya nyerocos seolah lupa ia baru saja tergeletak, nyaris tak berdaya.
Jauh di depan kami terhampar pemandangan persawahan di selang-seling kebun dan rumah penduduk yang asri. Intinya, pemandangan itu telah menerbitkan rasa indah dan damai tiada tara. Seolah-olah kami sepakat bahwa bukit diciptakan untuk memberi kesempatan kepada manusia untuk mendapatkan sudut pandang baru dalam kehidupannya. Mengubah perspektif sungguh hal yang penting dalam menjalani hidup untuk menghindari kemonotonan dan kebosanan.
”Saya seperti lahir kembali,” tiba-tiba katanya.
Kalimat itulah yang sampai hari ini terngiang selalu di kepala saya. Ketika mendengar kabar kepergiannya, Senin (3/7/2023) pukul 14.30 WIB, di Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta, saya merasa ia tak pernah pergi. Mas Top seolah masih bersama-sama kami merancang gagasan-gagasan ”nakal” dan ”nekat” bersama di kantor Kompas Biro Yogyakarta Jalan Suroto Yogyakarta. Saya juga masih bisa merasakan kalimat-kalimat ”ajaibnya” ketika ia mengulas sebuah pameran seni atau pertunjukan tari. Di masa-masa akhir menjelang ia pensiun, Mas Top justru sangat produktif. Hampir saban minggu ia mengirim tulisan tentang berbagai peristiwa kebudayaan di kotanya.
Jika boleh diandaikan Mas Top adalah jenis jurnalis yang langka, karena dia unik, otentik, dan jujur akan segala kemampuannya. Barangkali karakter itulah yang kini telah menjadi sulit untuk ditemukan di dalam praktik dunia jurnalistik kita. Pendek kata, Mas Top orang yang membumi, kendati baru mengenalnya, orang lain akan mengatakan, ”kita berteman sudah lama….dia orang baik”. Itu karena ia mudah akrab dan tekun mendengarkan, sebelum pada akhirnya ia tuliskan dalam karya-karyanya yang khas. Ya, khas Thomas Pudjo Widijanto….
Selamat jalan Mas Top. Jangan lupa jika bertemu celah sempit di antara bukit, jangan khawatir sampeyan sudah membawa tangganya sejak kita sama-sama mendaki di Bukit Nglanggeran.
Baca juga: Selamat Jalan Thomas Pudjo, Jurnalis Budaya yang Dirindukan Banyak Orang