Mas Pudjo
Mas Pudjo (65), demikian sapaan akrab wartawan senior harian ”Kompas”, baru saja berpulang, Senin (3/7/2023). Para sahabat mengenangnya sebagai jurnalis yang rendah hati dan perhatian pada seni budaya pinggiran.
Mas Pudjo, demikian kami biasa menyapanya. Dia wartawan senior harian Kompas. Di koran, inisialnya TOP, diambil dari Thomas Pujo Widiyanto.
Penampilan Mas Pujdo khas. Lebih seniman ketimbang wartawan. Rambut panjang kriwil. Suka baju warna hitam, berkacamata, dan pakai topi baretta-rada mirip topi berjambul yang biasa dikenakan Pak Tino Sidin, guru gambar yang masyhur di TVRI zaman tahun 1980-an.
Sebagai wartawan, dia dikenal dengan liputan dan artikelnya tentang seni dan budaya. Tulisannya halus, cenderung romantik. Tidak meledak-ledak. Dia lebih menyukai hal-hal kecil manusiawi yang menyentuh hati, ketimbang memburu hal-hal besar yang tampak gagah.
Seni pinggiran dari rakyat bawah, kayak dangdut atau campursari, lebih memikat hatinya daripada seni urban di tempat-tempat gemerlap. Dia lumayan akrab dengan sejumlah pesinden Jawa dan beberapa penyanyi dangdut.
Suatu ketika Mas Pudjo kasih catatan menarik tentang musik dangdut. ”Dangdut merupakan musik paling populer di kalangan masyarakat Indonesia. Sejak kemunculannya tahun 1950-an lewat orkes melayu, hingga saat ini jenis musik yang identik dengan gendang dan suling ini mengalami pasang surut. Dulu dangdut pernah dianggap sebagai simbol bagi kaum marginal. Namun, dangdut mengalami masa puncaknya saat dikooptasi negara lewat media di tahun 1980 hingga 1990-an sehingga bisa diterima luas kelompok masyarakat” (”Musik Dangdut Bisa Menjadi Alat Mobilisasi Politik,” Kompas, 24 April 2012).
Baca Juga: Selamat Jalan Thomas Pudjo, Jurnalis Budaya yang Dirindukan Banyak Orang
Gaya liputan dan tulisan itu sesuai dengan karakter Mas Pudjo yang halus. Ngomongnya pelan. Bahkan, saat berkata-kata, dia sering sambil menutupi mulut dengan tangannya. Kayak bisik-bisik. Tapi, orangnya suka guyon dan renyah tertawa. Hangat. Bersahabat kepada semua orang.
Sejak bertugas sebagai wartawan di Kompas Biro Yogyakarta pertengahan tahun 2004, saya berjumpa dan langsung akrab dengan Mas Pudjo. Saat itu, dia menjadi salah satu editor Kompas di Biro Jogja, yang juga dapat amanat bikin edisi khusus untuk wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Editor lain, Mas Hariadi Saptono dan Mas Sigap. Tiga editor ini punya karakter unik dan beda-beda.
Dibanding dua editor koleganya, Mas Pudjo lebih santai. Nyaris tanpa beban. Meski menjadi editor (yang dalam struktur redaksi adalah atasan), dia tidak menjaga jarak dengan para reporter baru, yang bekerja ke lapangan dan kemudian menyetor berita kepadanya. Entah bagaimana, dia kerap menyapa saya dengan ”mas” saat ngobrol seusai kelar tenggat (deadline). Satu ekspresi kerendahan hati yang tak dibuat-buat.
Ketika kasih masukan agar tulisan menjadi lebih baik, Mas Pudjo memilih kasih pendapat. Bukan instruksi atau bagi teori yang rumit. Misal, bagaimana kalau ditambahi ini, jangan-jangan luwih tajam? Atau ada narsum menarik di bidang ini, coba sampean hubungi, siapa tahu dapat info bagus. Pada bagian-bagian tertentu dalam laporan yang dirasa cocok, dia bakal menyatakan kecocokannya.
Dia juga tak segan memuji saat liputan wartawan dianggap apik. Beberapa tulisan menarik selalu diingatnya. Kalau bertemu, dia akan mengatakan ingatan itu sehingga wartawan merasa ”mongkok” hatinya. Ketika saya sudah pindah tugas ke Palembang atau Jakarta, dan Mas Pudjo tetap di Yogyakarta, kadang dia masih kirim pesan saat merasa senang dengan liputan yang terbit di koran.
Saat tugas di Yogyakarta, Mas Pudjo bersama Mas Hariadi (almarhum) support saya dan Ahmad Arif, juga wartawan Kompas di Yogyakarta, yang mengungkap pemaprasan Gandhok Tengen di kawasan Ambarukmo Yogyakarta. Ironis, bangunan bersejarah yang dibangun 1857 itu dulu menjadi tempat rehat Sultan Hamengkubuwono VII itu ternyata dipotong begitu saja saat pembangunan pusat perbelanjaan di dekatnya. Setelah ditolak publik luas, bahkan para seniman turun bergerak bikin art performance bertajuk ”Awas, Di Sini akan Dibangun Mal”, warisan bersejarah itu pun tak jadi dirobohkan, meski kini bangunan tinggal separuhnya saja.
Kembali ke Mas Pudjo. Demikian halus sehingga kalau menyetir mobil, dia memilih jalan pelan-pelan, hati-hati banget. Ini tentu tidak cocok bagi orang-orang yang senang ngebut. Pernah, saya disetiri Mas Pudjo saat jalan bareng ke Kulonprogo. Kecepatan mobil hanya kisaran 30 kilometer per jam. Padahal, jalanan ke daerah itu lancar dan bisa dipacu sampai 70 km per jam. ”Saya takut nabrak orang kalau jalan terlalu kencang,” katanya memberi alasan.
Mas Pudjo suka bikin puisi, tampil baca puisi, dan bermain musik. Di rumahnya, dia sedia seperangkat alat musik band kecil-kecilan. Kesukaanya pada seni membuatnya bersahabat erat dengan para seniman, khususnya di Yogyakarta. Dia kerap nongkrong bareng seniman dan tergabung dalam komunitas Pangunci. Kalau ada acara seni di Bentara Budaya Yogyakarta, dia bisa ikut reriungan bareng seniman sampai larut malam atau dini hari. Obrolannya bisa penting, katakanlah terkait politik, atau hal-hal kecil yang asyik dan mengundang tawa.
Tahun 2017, Mas Pudjo pensiun dari pekerjaannya sebagai wartawan Kompas, yang dia tekuni sejak tahun 1985. Meski telah purnakarya, kedekatannya dengan para seniman jalan terus. Para seniman bahkan menggelar acara ”Thomas Pudjo Pamit Pensiun” di Omah Petroek, Karang Klethak, Pakem, Sleman. Diluncurkan juga buku kumpulan tulisannya dengan sampul hijau bergambar dirinya, Kenangan Sebuah Perjalanan Seorang Wartawan: Tentang Tari-Teater-Rupa.
Baca Juga: Mas Pudjo, Wartawan ”Kompas” di Yogyakarta, Pamit Pensiun
Setelah itu, lama saya tak jumpa dengan Mas Pudjo. Beberapa kali ke Bentara Yogyakarta, juga tidak ketemu dengannya. Maklum, kesehatannya menurun sejak beberapa tahun belakangan sehingga mobilitasnya tidak selancar zaman dulu. Saya mengikuti beberapa catatan puisi yang kerap dia posting sebagai status di dinding Facebook-nya.
Salah satu puisi itu, tentang Kunang-kunang. “Kunang kunang binatang yg lama tak kulihat dan kudengar ceritanya/ Ia binatang malam yang selalu memberi pancaran sinar terang, tubuhnya menyala/ Selayaknya lampu yg menuntun gelap malam, beterbangan di antara hamparan sawah yang menghijau/”
Ndilalah, pada 20 Mei 2023, saya berjumpa dengan Mas Pudjo. Saat itu dia hadir dalam pembukaan pameran ”Kita Berteman Sudah Lama: Ekspresi 100 Seniman dan Perupa Yogyakarta Mengenang 25 Tahun Reformasi,” di Bentara Budaya Yogyakarta. Gayanya masih seperti dulu. Pakaian gelap, kacamata, topi baret. Bicara lembut, sering senyum, tak pelit pujian.
Hanya, penampilan lelaki itu memang tak sebugar dulu. Rambutnya yang panjang dan kriwil itu telah memutih. Jalannya pelan. Ketika turun tangga, kadang perlu dibantu. Malam itu, Mas Pudjo tampak bahagia berkumpul bareng para seniman sahabatnya. Bersama kurator senior Bentara, Romo Sindhunata, dia sempat turun ke halaman Bentara dan bergoyang pelan saat pentas Hiphop Jahanam dan Shoimah.
Agak menyesal juga, kenapa malam itu saya tidak ngobrol lebih lama dengan Mas Pudjo atau ambil selfie berdua. Waktu itu masih terpikir, ah kapan-kapan kan bisa berjumpa dan ngobrol lagi dengan Mas Pudjo.
Namun, ternyata tak ada lagi kesempatan kapan-kapan itu. Senin (3/7/2023) sore, tiba-tiba masuk kabar mengagetkan dalam grup WhatsApp: Mas Pudjo meninggal di RS Panti Nugroho, sekitar pukul 14.30 WIB, dalam usia 65 tahun. Rasanya langsung "mak dek". Oh, Mas Pudjo, inna lillah…
Langsung terbayang, bagaimana dulu kami kerja bersama di Biro Kompas Yogyakarta, menulis sampai ndas ngelu, lalu nongkrong di angkringan malam-malam sambil terkekeh berbagi cerita ringan. Rasanya baru kemarin melihat wajah semringah Mas Pudjo bersama seniman-seniman di Bentara Yogyakarta. Tiba-tiba kini, dia sudah berpulang.
Almarhum disemayamkan di rumah duka di Desa Pakembinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, jenazah Pudjo. Menurut laporan wartawan Kompas di Yogyakarta, jenazah dimakamkan di Minomartani, Sleman, Selasa (4/7/2023) siang.
Hidup memang fana, ada batasnya. Kini, giliran Mas Pudjo. Mas, matur nuwun atas bimbingan dan persahabatannya. Moga panjenengan berbahagia di surga indah Allah.
Moga di alam sana, Mas Pudjo juga bisa berjumpa dengan kunang-kunang seperti dibayangkan dalam lanjutan puisinya:
“Harapanku kunang kunang itu tidak harus selalu di pinggiran desa yang selalu terpinggirkan/ Kunang kunangku harus terbang ikut bersinar ikut menerangi di antara lampu kota/ Sinarmu seperti guru yg mengajarkan sinar terangmu adalah puisi yg merasuk dalam jiwa ini.”