Polarisasi politik di Indonesia dalam beberapa kontestasi politik belakangan ini lebih terlihat sebagai sebuah ilusi daripada realitas. Hal ini dapat menjadi ancaman stabilitas sosial dan politik.
Oleh
WHINDA YUSTISIA
·4 menit baca
Dalam pidato peluncuran visi Indonesia Emas beberapa waktu yang lalu, Presiden Jokowi menyampaikan pentingnya membangun rencana strategis dan taktis untuk meraih bonus demografi di tahun 2045. Menurut Presiden, salah satu hal krusial yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah menjaga stabilitas sosial dan politik. Seluruh elemen masyarakat punya andil mewujudkan poin ini, termasuk para elite politik.
Apa yang elite politik dapat lakukan? Salah satunya dengan berhati-hati menggunakan narasi polarisasi politik. Polarisasi politik dalam kondisi tertentu berdampak buruk bagi demokrasi; menciptakan kebuntuan politik, yang pada gilirannya dapat merugikan kepentingan masyarakat banyak. Mengangkat isu ini untuk mencegah dampak yang lebih buruk adalah hal penting untuk dilakukan.
Namun kenyataannya, polarisasi politik di Indonesia dalam beberapa kontestasi politik belakangan ini lebih terlihat sebagai sebuah ilusi daripada realitas. Saya akan jelaskan beberapa bukti yang mendukung kesimpulan ini. Pada bagian akhir akan saya paparkan bagaimana narasi polarisasi politik tak berdasar ini hanya akan merusak rasa percaya sosial, alih-alih menjadi mekanisme preventif.
Secara umum, polarisasi politik dapat diartikan sebagai pembelahan sikap politik yang ekstrem. Ada dua jenis polarisasi politik, yaitu polarisasi ideologi politik dan polarisasi identitas politik. Polarisasi ideologi politik terjadi ketika pandangan politik individu berkelompok pada kutub berlawanan.
Sementara itu, polarisasi identitas politik terjadi ketika identitas partisan yang kuat menyebabkan masyarakat terbelah, di mana pendukung kelompok politik saling menilai negatif orang-orang dengan identitas politik berbeda dan menilai positif orang-orang dengan identitas politik yang sama. Polarisasi semacam ini juga dikenal sebagai polarisasi afektif.
Di Amerika Serikat, ancaman polarisasi politik bagi demokrasi menjadi pembahasan serius di tingkatan praktis maupun akademis. Negara ini diketahui memiliki percepatan polarisasi politik paling tinggi dalam satu dekade terakhir.
Polarisasi identitas politik terjadi ketika identitas partisan yang kuat menyebabkan masyarakat terbelah.
Hasil survei lembaga PEW Research Center menunjukkan bahwa selama dua dekade terakhir, jumlah orang Amerika yang berada di ”ekor” distribusi ideologi politik (ekstrem liberal-ekstrem konservatif), telah berlipat ganda. Sementara itu, jumlah orang di bagian tengah semakin mengecil.
Polarisasi ideologi politik ini terjadi karena perbedaan sistem keyakinan politik (political belief system) pada orang-orang liberal dan konservatif yang mengakar pada sejumlah isu, seperti pajak, aborsi, kontrol senjata, imigrasi, dan militer. Perbedaan ini diperparah dengan meningkatnya narasi kampanye negatif yang digunakan para elite politiknya belakangan ini untuk menyerang pandangan politik di kelompok lain sehingga membuat masyarakat semakin kuat (ekstrem) dengan keyakinan politiknya. Dampak narasi ini semakin diperkuat dengan tumbuhnya media-media partisan.
Polarisasi di Indonesia
Bagaimana dengan di Indonesia? Data dari survei nasional yang dilakukan oleh dua lembaga survei pada dua periode berbeda menunjukkan bahwa polarisasi ideologi adalah isu yang tidak memiliki landasan empirikal yang kuat. Kami mengukur ideologi politik dengan menanyakan dukungan/penolakan masyarakat terhadap sejumlah isu dalam tiga dimensi: politik, sosial, dan ekonomi.
Untuk melihat apakah polarisasi ideologi terjadi atau tidak, pada survei pertama tahun 2018 yang dilakukan lembaga survei SANDS Analytics, kami melihat perbedaan penyebaran skor rata-rata pada isu-isu tersebut berdasarkan pilihan presiden (Prabowo Subianto atau Joko Widodo). Jika skor rata-rata partisipan terkluster pada kutub yang berlawanan, itu artinya polarisasi politik terjadi. Misalnya, skor rata-rata satu kubu berada di sebelah kiri distribusi (cenderung tidak setuju pada isu) dan skor rata-rata satu kubu berada di sebelah kanan distribusi (cenderung setuju pada isu). Sebaliknya, jika skor tumpang tindih (sama-sama setuju atau tidak setuju atau netral pada isu), itu artinya polarisasi politik tidak terjadi.
Temuan kami menunjukkan bahwa penyebaran skor pendukung kedua kandidat pada seluruh isu tumpang tindih. Artinya, pandangan politik pendukung kedua kubu politik berada di spektrum yang sama (skor rata-rata berada di tengah, sebelah kiri, atau kanan grafik distribusi). Misalnya, baik pendukung Prabowo Subianto maupun Joko Widodo cenderung setuju dengan pernyataan bahwa ”dalam memilih pemimpin negara harus seiman dan seagama”.
Dari skala 1 (sangat tidak setuju) hingga 7 (sangat setuju), pendukung Prabowo cenderung lebih setuju dengan pernyataan tersebut (rata-rata= 5,68) dari pada pendukung Joko Widodo (rata-rata= 4,88). Namun, perbedaan skor kedua kubu tersebut tergolong kecil. Bahkan, pada pertanyaan tentang posisi subyektif ideologi, atau dikenal sebagai ideological self-placement, pendukung dari kedua kubu cenderung berada di tengah-tengah dalam spektrum ideologi religius-nasionalis.
Perbedaan skor rata-rata partisipan pada pertanyaan ini sangat kecil dan secara statistik tidak signifikan. Pada isu-isu di dimensi sosial dan ekonomi, temuannya serupa: sebagian besar masyarakat dari pendukung kedua kubu cenderung ingin mempertahankan nilai-nilai tradisional Indonesia dan mendukung intervensi pemerintah dalam ekonomi.
Hasil rilis survei nasional lembaga survei Algoritma yang dilakukan baru-baru ini menunjukkan hal serupa. Ditemukan bahwa ideologi politik pendukung Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto serupa pada berbagai isu seperti yang disebutkan di atas. Analisis berdasarkan pilihan partai politik juga menunjukkan hal yang sama.
Sebagian besar masyarakat dari pendukung kedua kubu cenderung ingin mempertahankan nilai-nilai tradisional Indonesia dan mendukung intervensi pemerintah dalam ekonomi.
Walaupun terdapat derajat kesetujuan dalam hal hubungan agama dan politik, pemilih seluruh partai berada pada spektrum yang sama: cenderung setuju kehidupan politik yang moderat dengan dasar-dasar keagamaan. Misalnya, dari skala 1-7, skor rata-rata tingkat kesetujuan pemilih partai yang dianggap nasionalis dan religius pada pernyataan ”agama harus menjadi pertimbangan utama dalam kebijakan politik” tidak jauh berbeda, berkisar antara 4,6 dan 5,6.
Artinya, seluruh partai cenderung setuju pada peran agama dalam politik. Bahkan, kami menemukan pemilih berbagai partai politik menempatkan diri pada posisi yang kurang lebih sama ketika ditanyakan posisi ideologi mereka pada kontinum dari religius (1) hingga sekuler (7). Baik pemilih partai nasionalis maupun religius menempatkan diri mereka di tengah-tengah kontinum, terlihat dari skor rata-rata yang berkisar pada angka 3,4- 3,9. Pemilih partai yang dianggap paling nasionalis sekalipun seperti PDI-P (skor rata-rata 3,9) dan paling religius seperti PKS (3,5) tidak terlalu berbeda.
Dampak persepsi polarisasi politik
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan polarisasi politik belakangan ini lebih dekat kepada ilusi daripada realitas. Saat para elite politik terus mengembuskan narasi polarisasi politik dan kemudian masyarakat percaya, persepsi adanya polarisasi politik terbentuk. Hal ini dapat menjadi ancaman stabilitas sosial dan politik.
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa persepsi adanya polarisasi politik berdampak buruk terhadap rasa percaya antarkelompok (Lee, 2022). Rendahnya rasa percaya ini akan menghasilkan polarisasi afektif—rasa tidak suka yang ekstrem pada orang-orang yang berbeda pilihan politik dan pada gilirannya polarisasi ideologi—perbedaan sikap atau pandangan politik yang ekstrem (Wilson dkk, 2020).
Mengingat bahaya dampak persepsi polarisasi politik terhadap polarisasi afektif dan ideologi, sudah seharusnya para politisi dapat lebih bijaksana dalam menggunakan narasi ini di kampanye politiknya. Seperti yang disampaikan oleh Presiden Jokowi, sebaiknya berfokus sajalah kepada hal-hal strategis, taktis, dan konkret. Jika hal ini dilakukan, mimpi Indonesia Emas 2045 akan terwujud, seperti harapan kita semua, rakyat Indonesia.
Whinda Yustisia, Kandidat Doktor Psikologi Sosial Loyola University Chicago, Fulbright-Dikti Awardee; Dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia