Kuasa Algoritma dan Polarisasi Politik
Saat ini kita terjebak dalam kepompong informatif (information cocoon), yakni lingkaran informasi yang searah, homogen, dan hanya memperkuat suatu pandangan. Yang terbangun kemudian adalah fanatisme kelompok netizen.
”Kami berusaha memahami konten yang disukai pengguna berdasarkan pada sejauh mana pengguna dan orang-orang di sekitarnya membaca konten sejenis. Lalu, kami membuat pembaruan layanan yang menempatkan konten tersebut di atas konten yang lain. Dengan demikian, pengguna hanya perlu mengakses konten yang diminatinya dan mengabaikan konten yang lain.”
Demikian pemberitahuan newsroom Facebook ketika melakukan perubahan newsfeed pada April 2016.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Melalui perubahan seperti ini, newsfeed dimaksudkan sebagai struktur sajian konten yang membantu pengguna media sosial menemukan konten yang relevan untuk dirinya tanpa harus bersusah-payah mencari dan menyortir sendiri.
Namun, apakah struktur sajian konten yang terseleksi dan terberi di sini benar-benar bermakna positif untuk pengguna medsos? Bukankah dalam konteks demokrasi, pluralisme atau multikulturalisme, kita justru membutuhkan paparan informasi atau opini yang beragam, alih-alih terpaan informasi atau opini yang seragam?
Micol Burighel dalam ”Polarization and the Role of Digital Media” (2019) mengidentifikasi munculnya dilema algoritma (algorithm dilemma) dalam konteks ini.
Baca juga : Dunia Tanpa Rahasia
Di satu sisi, algoritma kurasi yang dioperasikan perusahaan platform medsos dan mesin pencari telah menyelamatkan pengguna internet dari rimba raya konten digital yang tak beraturan dan sangat kompleks dengan menyajikan struktur sajian konten yang terstruktur, terseleksi, dan mudah diakses.
Tanpa proses kurasi algoritmis, kita ibaratnya tersesat dalam sebuah perpustakaan raksasa tanpa dipandu katalog sama sekali. Kita mesti menjelajahi setiap sudut dan setiap rak buku di perpustakaan itu untuk mendapatkan hanya satu informasi.
Algoritma kurasi jelas menjadi berkah bagi pengguna internet. Dengan sekali klik setelah memasukkan kata kunci, kita memperoleh informasi, konten atau figur yang kita cari.
Namun, di sisi lain, proses kurasi algoritmis juga bisa menjerumuskan pengguna internet dalam lingkup informasi yang ”itu-itu saja” dan kelompok percakapan yang cenderung tertutup. Suatu keadaan yang umumnya tak disadari pengguna internet, tapi menentukan bagaimana mereka bersikap soal keberagaman pandangan dan opini.
Namun, di sisi lain, proses kurasi algoritmis juga bisa menjerumuskan pengguna internet dalam lingkup informasi yang ”itu-itu saja” dan kelompok percakapan yang cenderung tertutup.
Dalam konteks inilah, medsos belakangan ini jadi sangat identik dengan polarisasi politik. Pada Pemilu 2019, kita telah mengalami polarisasi itu. Jika melihat fakta semakin besarnya ketergantungan masyarakat pada medsos sebagai sarana komunikasi dan interaksi sosial belakangan, sangat mungkin polarisasi yang sama akan terulang lagi pada Pemilu 2024.
Kepompong informatif
Cass R Sunstein dalam buku #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media menjelaskan dampak algoritma kurasi melalui konsep Daily Me. Daily Me adalah semesta informasi yang hanya merefleksikan minat dan kepedulian pengguna internet sebagai individu.
Daily Me merujuk pada kumpulan konten terpersonalisasi yang dikurasi berdasarkan profil digital pengguna internet.
Semakin aktif kita menggunakan layanan digital, semakin intensif proses pengawasan terhadap diri kita, dan semakin lengkap profil digital yang dapat disusun tentang diri kita.
Berdasarkan profil itu, platform digital akan terus memanjakan penggemar otomotif dengan suguhan informasi otomotif, penggemar traveling dengan suguhan informasi tentang traveling, penggemar sepak bola dengan suguhan informasi sepak bola, demikian seterusnya. Algoritma kurasi di sini membantu kita menggeluti informasi yang kita minati dan mengabaikan informasi yang lain.
ilustrasi
Namun, terkait isu identitas, Daily Me bersifat problematis. Seperti dijelaskan Burighel, algoritma kurasi secara laten membatasi netizen dari paparan informasi dan pandangan yang beragam. Jika kita aktif mengekspresikan dukungan terhadap seorang kandidat presiden, misalnya, kita akan terus disuguhi dengan informasi yang relevan dengan dukungan tersebut.
Jika kita menunjukkan ketertarikan pada pandangan keagamaan tertentu, kita juga niscaya akan terus disuapi dengan informasi tentang pandangan keagamaan tersebut.
Yang lazim terjadi kemudian adalah bias konfirmasi. Kita cenderung hanya mau menerima argumentasi yang memperkuat keyakinan kita dan mengabaikan argumentasi yang lain. Kita terjebak dalam kepompong informatif (information cocoon), yakni lingkaran informasi yang searah, homogen, dan hanya memperkuat suatu pandangan.
Dalam kepompong informatif itu, tak ada dorongan untuk mengoreksi atau menguji pandangan yang telah mapan. Yang terbangun kemudian adalah sejenis fanatisme. Perlu ditegaskan, Daily Me dan information cocoon itu terbentuk secara laten, sistematis, tanpa disadari pengguna internet. Seperti pengguna aktif medsos, umumnya juga tak sadar telah berada dalam kelompok percakapan orang-orang yang berpandangan serupa (like-minded people).
Pada kelompok percakapan ala ”cebong” dan ”kampret” di Pilpres 2019, misalnya, orang- orang dengan pandangan politik yang sama terus bercakap- cakap di antara mereka sendiri. Mereka bersenang-senang dengan perspektif, opini, dan argumentasi yang mendukung pandangan mereka sendiri.
Tak ada dorongan untuk secara dialogis bertukar pandangan dengan kelompok lain. Alih- alih penguatan kultur demokrasi atau semangat pluralisme, justru ekstremisme dan intoleransi yang tanpa banyak disadari tertanam dalam diri pengguna medsos pada konteks ini.
Alih- alih penguatan kultur demokrasi atau semangat pluralisme, justru ekstremisme dan intoleransi yang tanpa banyak disadari tertanam dalam diri pengguna medsos pada konteks ini.
Kultur demokrasi
Dalam alam demokrasi, kita didorong untuk menghadapi pengalaman yang tak menyenangkan, yakni bertemu orang- orang yang berbeda pemikiran atau posisi dengan kita.
Sunstein mengunakan istilah the architecture of serendipity di sini. Yakni perjumpaan yang tak diharapkan dengan argumentasi atau perspektif yang kurang menyenangkan, tetapi sangat penting untuk meneguhkan kultur demokrasi. Perjumpaan itu niscaya membuat kita masygul karena apa yang sudah kita yakini dipertanyakan ulang.
Namun, perjumpaan itu penting karena apa yang kita yakini sesungguhnya belum tentu benar. Kita butuh sarana diskursif untuk menguji keyakinan kita sendiri dan menghindari fanatisme yang memecah-belah.
Tanpa momentum kebersamaan dengan orang lain yang berbeda pandangan atau keyakinan, kita juga akan sulit membangun empati dan solidaritas. Lalu, sebuah masyarakat yang majemuk akan senantiasa kesulitan memecahkan masalah bersama. Antarkelompok akan saling melihat satu sama lain sebagai pesaing atau musuh. Setiap orang akan selalu berangkat dari sudut pandang partikular.
Secara mengejutkan dan tanpa diduga, medsos belakangan justru berkontribusi negatif terhadap kultur demokrasi itu. Tidak hanya pengalaman kebersamaan yang kita alami sebagai pengguna medsos, tetapi juga segregasi antarkelompok yang sering kali sulit dijembatani.
Bukan dialog yang terutama sekali terjadi dalam kelompok percakapan daring, melainkan arus pendapat yang monologis, satu arah. Tidak hanya diskursus yang dipraktikkan di sana, tetapi juga ”kursus”: glorifikasi atas perspektif tunggal yang sudah terberi. Dalam konteks inilah, medsos sebagai sarana interaksi warga menjadi sangat problematis, khususnya terkait dengan isu identitas dan politik elektoral.
”Medsos sangat baik untuk demokrasi dalam beberapa hal, tetapi juga buruk pada hal yang lain,” demikian kesimpulan Sunstein dalam ”Cass R Sunstein: Is Social Media Good or Bad for Democracy?”(2018).
Mereka tak menyadari bahwa dengan siapa mereka berteman dan informasi apa yang mereka dapatkan di newsfeed medsos mereka telah ditata dan diseleksi secara algoritmis oleh platform digital.
Pemilu 2024
Pertanyaannya kemudian, bagaimana agar negativitas medsos itu tak menguat kembali di Pemilu 2024? Pemilu 2019 memberi pengalaman berharga betapa konfliktual dan memecah-belah arus informasi dan percakapan sosial di medsos.
Pokok masalahnya adalah ketidaktahuan pengguna medsos tentang apa yang sesungguhnya terjadi pada sajian informasi dan percakapan sosial yang saban hari mereka akses dan bagaimana mesti menyikapinya.
Seperti dinyatakan Motahhare Eslami dkk dalam ”I always assumed that I wasn’t really that close to [her] Reasoning about Invisible Algorithms in News Feeds” (2015), pengguna medsos umumnya tak menyadari arus informasi di newsfeed medsos mereka sesungguhnya ditata berdasar profil digital mereka.
Mereka yakin struktur newsfeed itu terbentuk secara alamiah tanpa intervensi teknis apa pun. Mereka tak menyadari bahwa dengan siapa mereka berteman dan informasi apa yang mereka dapatkan di newsfeed medsos mereka telah ditata dan diseleksi secara algoritmis oleh platform digital.
Dalam konteks inilah, pengguna medsos sangat rentan jadi sasaran propaganda komputasional yang bersandar pada rekayasa data perilaku pengguna, politisasi isu-isu identitas, dan penggunaan hoaks sebagai sarana delegitimasi lawan politik.
ilustrasi
Sayangnya, di era medsos saat ini, kampanye pemilu semakin identik dengan strategi propaganda komputasional itu dengan dampak yang memecah belah masyarakat. Lokus propaganda komputasional adalah kelompok diskusi atau percakapan yang terbentuk di Facebook, Twitter, Whatsapp, Line, dan platform media sosial lain.
Belajar dari pengalaman pemilu AS, India, Filipina, Malaysia, Brasil, referendum Brexit, dan referendum Catalonia, sulit mengharapkan negara untuk hadir mengantisipasi gempuran propaganda komputasional. Hal yang lebih realistis untuk dilakukan adalah akselerasi dan intensifikasi literasi digital.
Masyarakat mesti disadarkan bahwa newsfeed medsos tak menggambarkan keseluruhan semesta informasi, wacana, dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk menyikapi masalah-masalah bersama secara rasional dan bertanggung jawab.
Like, jempol, dan komentar positif itu datang dari orang yang memang segaris pemikiran dengan kita sehingga tak heran mereka mengamini pendapat kita.
Masyarakat juga perlu disadarkan untuk tak mudah terlena dengan like, jempol, komentar positif atas pendapat yang diunggah pada timeline medsos masing-masing. Like, jempol, dan komentar positif itu datang dari orang yang memang segaris pemikiran dengan kita sehingga tak heran mereka mengamini pendapat kita.
Untuk menguji kelayakan pendapat itu, kita mesti keluar dari lingkaran pertemanan medsos dan berdialog dengan orang-orang dengan pendapat yang lebih beragam. Kita juga mesti membaca pemberitaan media massa untuk menangkap keberagaman pendapat.
Singkat cerita, jagat digital seperti tergambar di newsfeed medsos kita, sesungguhnya cerminan dunia subyektif-personal kita sendiri. Maka, tak semestinya kita menyandarkan keputusan penting, seperti pilihan presiden kita, hanya pada apa yang tersaji di sana. Berhenti menggunakan medsos tentu bukan pilihan realistis. Banyak manfaat yang kita peroleh dari sana. Yang diperlukan, senantiasa kritis dan selidik terhadap apa yang kita saksikan di sana.
Agus Sudibyo Dosen Akademi Televisi Indonesia (ATVI) Jakarta