Selain memperkuat regulasi pemilu untuk memitigasi politik identitas, penting bagi parpol dan elite sentrumnya untuk mempromosikan politik berbasis akal sehat dan narasi yang konstruktif berbasis gagasan.
Oleh
UMBU TW PARIANGU
·3 menit baca
Dalam rapat koordinasi Forum Komunikasi Pimpinan Daerah di Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (17/1/2023), Presiden Joko Widodo mengingatkan masalah stabilitas politik dan keamanan menjelang Pemilu 2024. Presiden meminta para kepala daerah agar menjaga situasi tetap kondusif dan masyarakat kita tidak menjadi korban politik, utamanya politik identitas (Kompas.id, 17/1/2023).
Hal tersebut seakan menegaskan bahwa tahun ini hingga 2024 kontestasi politik pilpres akan berhadapan dengan ancaman tsunami politik identitas. Meski banyak pihak, seperti Azyumardi (2019) atau pendiri Lingkaran Survei Indonesia, Saiful Mujani (2022), mengatakan politik identitas sudah tak laku di Indonesia, politik identitas telah berekses kepada segregasi dan perusakan sosial-kebangsaan. Mulai dari ujaran kebencian yang distimulus narasi-narasi hoaks, provokatif agamis disertai penghinaan, makian, dan lain-lain.
Di Pemilu 2019 residunya menderivat dan membekap masyarakat dalam polarisasi berbasis agama dan etnis. Mulai dari ”gerakan 2019 ganti presiden”, ”partai setan-partai Allah”, delegitimasi keputusan lembaga negara (KPU, MK), sentimen terhadap minoritas, diskriminasi, dan penganiayaan terhadap kelompok minoritas.
Bergabungnya partai (yang semula) opisisi di pemerintahan tetap tak efektif menurunkan sentimen polarisasi dan populisme. Malah polarisasi politik bertransformasi dari ”cebong-kampret” menjadi ”cebong-kadrun”, plus terjadi tendensi stigmatisasi dukungan politik. Mereka yang mendukung Presiden Jokowi dianggap proponen yang tidak agamais, sedangkan yang mendukung kubu sebelah merepresentasikan barisan oposisi yang agamais.
Politik identitas
Politik identitas adalah kategori identitas sebagai alat membingkai klaim politik, mempromosikan ideologi politik, atau mendorong aksi sosial dan politik yang antara lain didasari kebutuhan pengakuan (Heffer, 2021). Karena itu, politik identitas berbasis agama, etnis, bisa dengan mudah dibonceng oleh politik populisme yang mengekalkan oposisi biner: elite versus rakyat. Di mana elite merepresentasikan kekuasaan yang otoriter, irasional, berorientasi kepada pemenuhan kepentingan diri/kelompok. Sementara rakyat merepresentasikan kelompok minoritas, korban ketidakadilan, yang dibayang-bayangi sub-ordinat rezim kekuasaan (Schedler, 1996).
Kanker politik identitas ini seperti korupsi yang harus dihambat agar tidak merambat dan bersarang di jantung demokrasi. Presiden Jokowi sudah menegaskan berulang agar para capres-cawapres tidak memakai politik identitas dalam kontestasi pilpres, terlebih setelah Lemhannas menyerahkan hasil kajian isu rawan Pemilu 2024 ke Presiden.
Hasil kajian tersebut, antara lain, terkait ujaran kebencian dan politik identitas. Bawaslu juga sudah meluncurkan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) dan Pemilihan Serentak 2024, salah satunya dipetakan ancaman bahaya polarisasi politik. Kapolri juga sudah membentuk Satgas Nusantara untuk menghalau pelbagai ancaman polarisasi politik yang ”mengorupsi” Pemilu 2024.
Kita butuh sikap konkret parpol menghadapi potensi politik identitas. Sebagai agen dan lokomotif demokrasi, ada partai tertentu yang kerap indiferen dan menjadi resipien keuntungan destruktif dari politik identitas.
Penegakan hukum penting untuk mengatur lalu lintas kampanye politik yang anti-politik identitas. Kita berkaca pada Pemilu Malaysia yang dinodai rasisme seperti yang dialami politikus Partai Aksi Demokrat, Sheikh Umar Ali, yang didukung kelompok etnis Tionghoa dalam memperebutkan kursi legislatif di Johor. Ia dicap antek China dan menggadaikan nilai keislaman.
Politik rasis ini pula yang membuat eks Perdana Menteri Muhattir Muhammad kalah dalam pemilu karena di masa kepemimpinannya, komunitas Tionghoa mengalami banyak diskriminasi. Model populisme kultural seperti ini juga berkecambah di Indonesia. Politik rasis terjadi di sana, antara lain, karena tidak adanya regulasi pemilu yang mengatur terkait penggunaan poolitik identitas sebagai senjata politik untuk mendiskriminasi lawan tanding politik.
Sebagai negara demokrasi yang terpandang selama ini, mestinya bangsa ini perlu selangkah lebih maju dari negara lain untuk memitigasi diobralnya politik identitas oleh para politisi atau parpol. Kita butuh sikap konkret parpol menghadapi potensi politik identitas. Sebagai agen dan lokomotif demokrasi, ada partai tertentu yang kerap indiferen dan menjadi resipien keuntungan destruktif dari politik identitas karena bisa membonsai popularitas dan elektabilitas rival politik baik partai maupun kandidat lawan.
Paradoks
Politik bunglon yang mengambil jarak dengan politik identitas dalam ruang proforma demi menuai simpatik, tetapi di sisi lain ”bersetubuh” dalam libido politik hoaks, identitas, ujaran kebencian sejauh memberi keuntungan secara elektoral, wajib dihindari. Harus diakui ini semua tentu tak lepas juga dari watak kartel parpol yang kolutif dan pragmatis demi ”rente” elektoral dan kekuasaan (Katz & Mair 2019).
Selain itu, parpol di Indonesia juga masih bergantung kepada ketokohan individu sebagai magnet elektoral. Ironisnya, ketokohan tersebut dibangun di atas jejaring kepemimpinan patronistik dan pragmatisme yang di antaranya menggunakan propaganda populisme tanpa etika dan moral untuk merawat elektoral politik partai maupun individu, bukan dirawat di atas narasi gagasan, etika, dan moralitas.
Tak heran, praktik politik identitas yang memiliki garis persinggungan dengan entitas parpol tak pernah diungkap dan diadili. Padahal, merosotnya kualitas demokrasi saat ini dipicu lemahnya fungsi edukasi parpol dalam menanamkan fatsun, spirit, dan tanggung jawab berpolitik.
Ini jelas paradoks dengan ontologi partai, yang mana istilah partai berasal dari bahasa latin, partire, yang berarti membagi (to divide) atau dalam bahasa Inggris, partaking (partisipasi). Artinya, partai secara fondasional ditopang fungsi normatifnya untuk membagi nilai-nilai kebaikan, kebaruan dalam pengelolaan kepentingan publik berbasis pada nilai-partisipasi, termasuk terbuka terhadap berbagai perbedaan (Pamungkas, 2011).
Itu sebabnya Gus Dur mengatakan partai sebagai wadah bersatunya kepentingan setiap warga negara Indonesia tanpa melihat perbedaan agama, suku, ras, golongan. Semua dalam konteks untuk mengaderkan dan menghasilkan pemimpin politik dan bangsa yang berkualitas dan demokratis (Musa, 2018).
Karena itu, selain regulasi pemilu diperkuat untuk memitigasi politik identitas, penting bagi parpol dan elite sentrumnya untuk mempromosikan politik berbasis akal sehat dan narasi yang konstruktif berbasis gagasan. Spirit itu bisa diaktualisasikan di kalangan elite parpol peserta pemilu dalam wujud ”pakta politik gagasan partai politik”. Intinya semua elite parpol harus bersepakat agar menjauhkan diri dari narasi dan konsumsi politik sentimen berbasis identitas yang destruktif, termasuk hoaks, provokasi, untuk mengapitalisasi elektoralnya.
Parpol harus menjadi agen yang melebur berbagai perbedaan identitas bangsa dalam semangat demokrasi: inklusif, kesetaraan, keadilan dan toleransi, dan kemanusiaan. Semua itu demi menjaga dan memproteksi Indonesia dari monster politik identitas.