Mengapa China Sulit Damaikan Palestina-Israel
Ada beberapa faktor yang membuat China mengalami kesulitan dalam menengahi konflik Palestina-Israel.
Sejak kunjungan Presiden Palestina Mahmoud Abbas ke Beijing, China, pada 13-16 Juni 2023, tidak ada lagi berita lanjutan tentang upaya China mendamaikan Palestina-Israel. Padahal, sudah sangat jelas harapan Abbas berkunjung ke Beijing untuk mendorong China agar terlibat langsung dalam mediasi mendamaikan Palestina-Israel.
Palestina dan bahkan dunia Arab ingin sekali China bisa mengulangi keberhasilan mendamaikan Arab Saudi-Iran pada bulan Maret 2023 pada isu konflik Palestina-Israel. China pun sesungguhnya juga memiliki keinginan yang cukup kuat untuk bisa mengulangi kesuksesannya mendamaikan Arab Saudi-Iran pada isu konflik Palestina-Israel.
Keinginan China tersebut ditunjukkan dengan kunjungan anggota Dewan Negara dan Menteri Luar Negeri China Qin Gang ke Ramallah, Tepi Barat, pada April 2023 atau sekitar sebulan setelah China berhasil mendamaikan Arab Saudi-Iran. Kunjungan Menlu China tersebut, selain untuk penjajakan tentang kemungkinan China bisa menjadi mediator konflik Palestina-Israel, juga sekaligus menyampaikan undangan Presiden Xi Jinping kepada Presiden Abbas untuk berkunjung ke China.
Baca juga: China Tawarkan Tiga Poin Proposal Perdamaian Palestina-Israel
Abbas kemudian memenuhi undangan Presiden Jinping, dengan mengunjungi Beijing pada 13-16 Juni lalu. Namun, pascakunjungan Abbas ke Beijing itu, tidak ada kelanjutan manuver China terkait isu konflik Palestina-Israel. Seharusnya setelah mengundang Abbas, Xi juga mengundang Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu ke Beijing, atau malah Xi berkunjung ke Israel dan Palestina.
Manuver diplomasi puncak itu dilakukan China ketika berusaha mendamaikan Arab Saudi-Iran. Xi mengunjungi Arab Saudi pada Desember 2022 dan kemudian dilanjutkan dengan kunjungan Xi ke Iran pada Februari 2023. Tentu lebih sebuah keniscayaan jika Xi mengunjungi Israel dan Palestina dalam upaya mendamaikan Palestina-Israel yang konfliknya sudah berusia beberapa dekade dan jauh lebih kompleks dari isu Arab Saudi-Iran.
Ternyata China tidak melakukan manuver diplomasi lanjutan yang lebih kuat atau lebih tinggi pascakunjungan menlu China ke Palestina pada April lalu dan kunjungan Abbas ke Beijing pada 13-16 Juni lalu. Padahal, sudah maklum, kunci solusi isu konflik Palestina-Israel saat ini berada di tangan Israel, bukan di tangan Palestina.
Baca juga: China Ingin Wujudkan Negara Palestina Merdeka
Sejauh ini memang tidak ada isyarat positif dari Israel untuk menerima dengan tangan terbuka keinginan China terlibat dalam mediasi konflik Palestina-Israel. Isyarat ini mungkin segera ditangkap China. Ini membuat China tidak bergerak lebih jauh lagi terkait dengan misi mediasi konflik Palestina-Israel. Atau dengan kata lain, China mengalami kesulitan dalam misi mediasi konflik Palestina-Israel.
Sejauh ini memang tidak ada isyarat positif dari Israel untuk menerima dengan tangan terbuka keinginan China terlibat dalam mediasi konflik Palestina-Israel.
Ada beberapa faktor yang membuat China mengalami kesulitan dalam menengahi konflik Palestina-Israel. Pertama, peta politik dalam negeri Israel yang didominasi kubu ultranasionalis kanan dan ortodoks agama di Knesset (Parlemen Israel). Mereka adalah kelompok yang antiperdamaian dengan Palestina.
Pemerintah PM Netanyahu yang dibentuk pada 29 Desember 2022 terdiri atas enam partai dengan latar belakang ideologi kanan radikal dan agama, yaitu Likud, Shas, United Torah Judaism, Religious Zionist Party, Otzma Yehudit, dan Noam. Keenam partai tersebut menguasai 64 kursi di Knesset. Posisi mereka cukup kuat dalam pentas politik Israel saat ini.
Kedua, figur Netanyahu dalam pentas politik Israel saat ini tidak kuat. Kekuasaan dan kekuatan politik di Israel berada di tangan partai-partai politik yang tergabung dalam koalisi pemerintahan. Jika satu partai politik dalam koalisi itu mundur dari koalisi, pemerintahan langsung ambruk. Karena itu, Netanyahu harus mengakomodasi semua kepentingan dan aspirasi partai-partai politik dalam koalisi jika tidak ingin pemerintahannya ambruk.
Hal ini berbeda dengan era Israel pada tahun 1970-an hingga tahun 1990-an yang lahir dari tokoh-tokoh politik kuat di Israel. Pada tahun 1970-an, perjanjian damai Mesir-Israel dengan mediasi AS di Camp David berhasil ditandatangani dan dilaksanakan karena ada figur kuat PM Israel saat itu, Menachem Begin. Partai Likud yang dipimpin Begin saat itu menguasai mayoritas kursi di Knesset sehingga memudahkan Begin mengambil keputusan besar.
Pada tahun 1990-an, Kesepakatan Oslo antara Palestina dan Israel berhasil ditandatangani karena ada figur kuat PM Israel saat itu, Yitzhak Rabin. Partai Buruh yang dipimpin Rabin saat itu juga menguasai mayoritas kursi di Knesset sehingga memudahkan Rabin mengambil keputusan besar.
Baca juga: Perjuangan Palestina dari Perang 1948 hingga 2021
Saat ini, Partai Likud yang dipimpin Netanyahu hanya menguasai 32 kursi Knesset. Situasi ini tentu memaksa mereka membutuhkan koalisi besar dengan partai-partai politik lain untuk mencapai 61 kursi Knesset dan bisa membentuk pemerintahan. Koalisi dengan partai-partai agama memaksa Netanyahu mengakomodasi aspirasi partai-partai agama tersebut meski sering berbeda secara ideologi dan kepentingan politik dengan Partai Likud.
Hal itu membuat figur Netanyahu tidak sekuat Begin pada tahun 1970-an dan Rabin pada 1990-an. Hal itu pula yang membuat PM Israel saat ini sulit mengambil keputusan besar terkait dengan isu proses perdamaian dengan Palestina.
Ketiga, meskipun hubungan ekonomi Israel-China terakhir ini semakin berkembang, hubungan ekonomi tersebut berimbang, yakni saling membutuhkan antara Israel dan China. China butuh Israel untuk kebutuhan dan pengembangan teknologi. Israel masih unggul atas China dalam teknologi. Sebaliknya, Israel butuh China dalam pendanaan dan sumber daya manusia untuk pengadaan proyek-proyek besar di Israel saat ini.
Jadi, China tidak bisa mendikte Israel dalam isu ekonomi karena saling ketergantungan yang cukup kuat di antara kedua belah pihak. Hal ini berbeda dengan Iran dan Arab Saudi yang semakin bergantung kepada China dalam isu ekonomi.
China kini menjadi importir minyak terbesar dari Arab Saudi. China saat ini mengimpor minyak lebih dari 3 juta barel minyak per hari dari Arab Saudi dan negara Arab Teluk lain. Impor minyak China dari Arab Saudi terus mengalami kenaikan rata-rata sekitar 9 persen per tahun.
Adapun Iran sangat bergantung kepada China untuk meringankan beban blokade AS dan Barat atas Teheran yang berlangsung sejak meletusnya revolusi Iran tahun 1979. Iran dan China pun telah menandatangani kesepakatan kemitraan strategis selama 25 tahun yang ditandatangani di Teheran pada 27 Maret 2021.
Baca juga: Kisah Peran China di Balik Rekonsiliasi Arab Saudi-Iran
Maka, wajar jika China sukses menjadi mediator dalam isu konflik Arab Saudi-Iran. Sebaliknya, China belum mencapai tingkat bisa mendikte Israel karena hubungan ekonomi China-Israel lebih berupa hubungan saling ketergantungan di antara kedua belah pihak.