Perang demi perang meletus antara Palestina/Arab dan Israel dalam kurun 70 tahun. Perundingan juga ditempuh. Selama belum ada solusi komprehensif dan adil, perdamaian akan sulit terwujud.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·5 menit baca
Meletusnya perang 11 hari (10-20 Mei 2021) antara faksi-faksi Palestina, khususnya Hamas, di Jalur Gaza, dan Israel sesungguhnya merupakan rangkaian panjang konflik berdarah Palestina-Israel atau Arab-Israel sejak tahun 1948. Konflik berdarah itu setiap saat masih berpeluang besar meletus lagi selama belum ada solusi politik yang komprehensif dan adil atas isu Palestina.
Isunya adalah bahwa rakyat Palestina tengah berjuang meraih hak-hak mereka dalam bentuk berdirinya negara Palestina di atas tanah tahun 1967 dengan ibu kota Jerusalem Timur. Bagi rakyat Palestina, hak itu adalah hak yang sangat minimal karena tanah tahun 1967 hanyalah sekitar 23 persen dari keseluruhan tanah Palestina.
Tanah tahun 1967 hanya mencakup Tepi Barat, Jerusalem Timur, dan Jalur Gaza. Adapun keseluruhan tanah historis Palestina membentang dari wilayah Galilea di utara hingga Gurun Negev di selatan, serta Tepi Barat dan Sungai Jordan di timur dan pantai Laut Tengah di barat.
Di mata rakyat Palestina, hanya menerima wilayah Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jerusalem Timur merupakan konsesi besar yang diberikan Palestina kepada Israel. Padahal, seandainya rakyat Palestina dan bangsa Arab menerima Resolusi Majelis Umum (MU) PBB Nomor 181 yang dikeluarkan pada 29 November 1947, niscaya rakyat Palestina mendapat wilayah yang jauh lebih besar dan strategis.
Resolusi MU PBB Nomor 181 menegaskan pembagian wilayah historis Palestina antara Arab dan Yahudi dengan status kota Jerusalem di bawah mandat internasional. Sesuai resolusi tersebut, Arab Palestina mendapat sekitar 42 persen dan Yahudi 56 persen dari keseluruhan tanah historis Palestina. Adapun 2 persen Jerusalem ditetapkan sebagai corpus separatum dan dikelola perwalian internasional. Sekitar 42 persen itu mencakup Tepi Barat, Jalur Gaza, sebagian wilayah Gurun Negev yang berbatasan dengan Mesir, dan Galilea (Israel utara sekarang).
Palestina dan bangsa Arab saat itu menolak resolusi tersebut dengan dalih pembagian itu tidak adil. Warga Arab Palestina saat itu mayoritas, tetapi mendapat bagian lebih kecil.
Saat David Ben Gurion mendeklarasi negara Israel pada 14 Mei 1948, bersamaan dengan berakhirnya mandat Inggris atas wilayah Palestina, negara-negara Arab memilih opsi perang melawan negara Israel yang baru diproklamasikan.
Pasukan negara-negara Arab memasuki wilayah Palestina pada 15 Mei 1948, dan meletuslah perang Arab-Israel 1948 yang kemudian disebut perang Arab-Israel pertama.
Bangsa Arab mengalami kekalahan dalam perang Arab-Israel pertama. Akibatnya, semakin banyak wilayah Arab Palestina jatuh ke tangan Israel. Pascaperang Arab-Israel pertama, Israel semakin luas menguasai wilayah historis Palestina, mencapai 77 persen, jauh lebih luas dari jatah wilayah sesuai resolusi MU PBB.
Sekitar 700.000 warga Arab Palestina saat itu terpaksa mengungsi ke negara-negara tetangga, seperti Suriah, Lebanon, Jordania, serta Tepi Barat dan Jerusalem Timur yang saat itu masih di bawah kontrol Jordania, dan Jalur Gaza yang saat itu di bawah kontrol Mesir.
Dalam posisi kalah dalam perang 1948, bangsa Arab tetap menolak mengakui negara Israel. Bangsa Arab mengobarkan perang lagi melawan Israel pada Juni 1967. Mereka mengalami kekalahan lagi, menyebabkan wilayah Arab yang jatuh ke tangan Israel semakin luas. Dalam perang 1967 yang berlangsung enam hari, Israel menguasai wilayah Arab sangat luas, mencakup Semenanjung Sinai (Mesir), Dataran Tinggi Golan (Suriah), Tepi Barat, Jerusalem Timur, dan Jalur Gaza.
Pascakekalahan dalam perang 1967, bangsa Arab mulai realistis. Mesir dan Suriah mengobarkan perang Arab-Israel pada Oktober 1973 hanya untuk membebaskan Semenanjung Sinai dan Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel pada perang 1967. Upaya itu pun gagal.
Jalan damai
Inilah awal bangsa Arab mulai bersedia menempuh jalan damai melalui perundingan dengan Israel untuk mengembalikan wilayah Arab yang diduduki Israel pada perang 1967. Mesir berhasil mengembalikan Semenanjung Sinai melalui kesepakatan damai Mesir-Israel di Camp David tahun 1979.
Bangsa Arab melalui KTT Liga Arab di Fez, Maroko, tahun 1982, mulai menegaskan bersedia mengakui negara Israel dengan imbalan berdirinya negara Palestina di tanah tahun 1967 dengan ibu kota Jerusalem Timur. Suriah, Jordania, dan Palestina membuka perundingan damai langsung dengan Israel di bawah sponsor AS yang dimulai dari Konferensi Madrid tahun 1991.
Pascakonferensi tersebut, Suriah dan Israel dengan mediasi AS terus menggelar perundingan damai, tetapi gagal mencapai kesepakatan untuk mengembalikan Dataran Tinggi Golan ke Suriah.
Palestina—diwakili Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pimpinan Yasser Arafat melalui perundingan rahasia di Oslo, Norwegia, tahun 1993—berhasil mencapai kesepakatan dengan Israel yang mengantarkan pembentukan pemerintahan otonomi di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Namun, Kesepakatan Oslo gagal melahirkan negara Palestina di atas tanah tahun 1967 dengan ibu kota Jerusalem Timur.
Perundingan Palestina-Israel di Camp David tahun 2000 yang melibatkan Arafat dan Perdana Menteri Israel Ehud Barak dengan sponsor AS pun gagal mencapai kesepakatan ke arah lahirnya Palestina di atas tanah tahun 1967. Gagalnya Kesepakatan Camp David mengantarkan meletusnya intifada kedua tahun 2000. Sebagai catatan, intifada pertama meletus tahun 1988, berakhir dengan tercapainya Kesepakatan Oslo 1993.
Ekspansi Israel
Sejumlah perundingan damai Palestina-Israel di bawah payung Kesepakatan Oslo gagal terus mencapai kesepakatan bagi lahirnya negara Palestina. Palestina akhirnya membekukan perundingan damai dengan Israel sejak tahun 2014 sebagai protes atas aksi Israel terus melakukan ekspansi pembangunan permukiman Yahudi.
Menurut Peace Now, organisasi nonpemerintah di Israel, penghuni permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jerusalem Timur mencapai 661.000 orang. Mereka menghuni 132 permukiman Yahudi resmi dan 124 permukiman Yahudi liar. Akibat ekspansi terus-menerus permukiman Yahudi itu, sisa wilayah Palestina yang masih dikontrol pemerintah Otoritas Palestina saat ini hanya berkisar 15-18 persen. Jika ekspansi pembangunan permukiman Yahudi terus berlanjut, hampir mustahil terwujud solusi dua negara, Palestina dan Israel.
Saat rakyat Palestina sudah kehilangan harapan atas perundingan damai dengan Israel, Hamas dan faksi-faksi Palestina di Jalur Gaza mengambil alih perlawanan bersenjata terhadap Israel. Meletuslah perang Gaza yang sudah terjadi empat kali, yakni tahun 2008, 2012, 2014, dan 2021.
Perang Gaza semakin populer di mata rakyat Palestina karena Hamas dan faksi-faksi lain semakin menunjukkan kemampuan membangun kekuatan militer melalui kepemilikan ribuan rudal. Rudal-rudal Hamas itu kini mampu menghantam Tel Aviv, kota terbesar di Israel.
Sejatinya, perang Gaza 2021, yang berakhir dengan gencatan senjata pada Jumat, 21 Mei, pukul 02.00, bisa mendorong digelarnya kembali perundingan damai Palestina-Israel untuk mencapai kesepakatan tentang berdirinya negara Palestina di atas tanah tahun 1967 dengan ibu kota Jerusalem Timur.