Peran Ayah dan Negara Kesejahteraan Kita
”Fatherless” bukan sekadar masalah domestik atau privat, melainkan konsekuensi turunan dari kurangnya dukungan pranata negara kesejahteraan. Negara belum mampu memberikan pelindungan pendapatan yang memadai bagi ayah.
Hari Ayah baru yang baru saja dirayakan mengingatkan kita tentang begitu banyak anak di dunia yang hidup tanpa kehadiran seorang ayah. Catatan Mikhael Silalahi pada opini Kompas.id (23/6/2023) berjudul Peran APBN di Tengah ”Fatherless Country” telah menyoroti urgensi untuk bringing father back in, terutama untuk Indonesia yang menempati urutan ketiga dunia untuk anak-anak fatherless.
Fatherless dapat dipahami dalam dua arti. Pertama, kealpaan ayah dalam artian sebenarnya akibat perceraian atau meninggal. Kedua, ”tanpa atau kurangnya sosok ayah”, yang trennya meningkat di banyak tempat, termasuk Indonesia.
Tentu ada banyak determinan yang dapat dijadikan alasan untuk isu yang kedua. Namun, umumnya akan terkait dengan melebarnya rasio pendapatan dan harga barang, yang memaksa lebih banyak ayah menghabiskan waktunya berada ”di luar rumah” demi mencukupi kebutuhan minimal keluarganya. Dampaknya anak merasa asing dengan ayahnya ketika di rumah.
Baca Juga: Peran Ayah Semakin Pudar
Dalam kesempatan kali ini, penulis berargumen bahwa fatherless bukanlah sekadar masalah domestik atau privat, melainkan konsekuensi turunan dari kurangnya dukungan pranata negara kesejahteraan. Untuk mengelaborasi argumen tersebut, penulis akan membahas isu fatherless ini mulai dari penyebabnya, risiko, masalah-masalah turunannya, berikut solusi yang realistis.
”Father state”
Isu fatherless di Indonesia masih dikesampingkan dalam wacana publik dan belum secara serius disertakan dalam rancangan kebijakan sosial nasional. Buktinya, sistem kesejahteraan kita belum menunjukkan kemajuannya sebagai pelindung bagi single mother yang tidak bekerja dan anak-anak manakala ayah tidak dapat melakukan fungsi pencarian nafkah.
Masalah memuncak saat ayah meninggal. Tunjangan yang diberikan dari negara kepada ibu dan anak-anaknya paling banter hanyalah santunan. Penulis tidak menyebut jaring pengaman karena nominalnya yang diberikan faktanya tidak memungkinkan bagi ibu dan anak-anaknya hidup ”aman”. Pengecualian berlaku bagi keluarga dengan ayah yang bekerja di sektor formal dan relatif mapan, seperti pegawai negeri atau perusahaan besar yang pengelolaan dana jaminan sosialnya bagus dan terintegrasi dengan BP Jamsostek.
Fenomena ini mirip dengan apa yang dalam banyak literatur kebijakan sosial disebut sebagai familistic welfare regimes: sebuah ungkapan untuk menggambarkan sistem kesejahteraan yang menempatkan unit keluarga sebagai sumber kesejahteraan utama (Lewis, 1997; Papadopaulos & Roumpakis, 2013; Roumpakis, 2020). Dalam familistic welfare regimes, negara menawarkan lebih banyak social protection benefits bagi pencari nafkah utama (Kühner, 2015).
Di Indonesia, umumnya laki-laki memiliki proporsi keterserapan di pasar kerja formal yang jauh lebih tinggi (81 persen) dibandingkan dengan perempuan (53 persen), membuat banyak manfaat kesejahteraan tersegmentasi di antara laki-laki. Karena alasan ini, barangkali istilah familistic welfare tadi perlu disamakan dengan father state.
Namun, perlu dicatat, adanya gap ini sebetulnya ”tidak akan menjadi masalah” apabila sistem negara kesejahteraan dapat menjamin kesejahteraan janda tanpa pendapatan dan anak-anaknya secara layak. Dengan demikian, sepeninggalan ayah, mereka dapat tetap melanjutkan kehidupannya secara wajar, bukan hanya pas-pasan.
Penting bagi negara untuk meregulasi work-life balance atau fleksibilitas dalam mengatur jam kerja yang dapat dinikmati lebih banyak pencari nafkah.
Masalah fatherless dalam artian yang kedua juga masih terkait dengan konsepsi negara kesejahteraan kita yang ternyata belum mampu memberikan pelindungan pendapatan yang memadai; yang memungkinkan ayah dapat mencurahkan lebih banyak waktu untuk anak-anak mereka ketika jam kerja berakhir, tanpa harus khawatir berkurangnya pemasukan. Masalah ini lebih banyak menimpa keluarga dengan status ekonomi menengah ke bawah, yang memerlukan berbagai pekerjaan-pekerjaan tambahan di luar jam kerja regular, yang kecenderungannya hanya dapat dilakukan di luar rumah.
Sementara bagi keluarga menengah dan menengah atas, kesibukan ayah di luar rumah yang berlebihan bukan lagi dikaitkan dengan pendapatan yang tidak mencukupi, melainkan terkait dengan tuntutan pekerjaan. Inilah sekali lagi penting bagi negara untuk meregulasi work-life balance atau fleksibilitas dalam mengatur jam kerja yang dapat dinikmati lebih banyak pencari nafkah.
Risiko ”fatherless”
Pengabaian terhadap isu fatherless layaknya bom waktu yang dapat menjadi bencana masa depan. Sama dengan kasus motherless, sudah banyak penelitian yang menunjukkan peran seorang ayah dalam perkembangan anak-anaknya sangatlah penting (Seidel, 2022). Anak-anak dengan father-ness lebih mungkin untuk mencapai keberhasilan akademis dan memiliki perkembangan sosial-emosional yang lebih baik. Sebaliknya, berlaku bagi mereka yang father-less, mereka memiliki perkembangan diri yang kurang baik.
Dari perspektif jender, argumen tersebut menimbulkan kesan tidak fair karena menganggap seolah-olah hanya ayah yang menentukan masa depan anak. Namun, data di Amerika menunjukkan bahwa mayoritas mereka yang terlibat dalam kasus penembakan massal, tunawisma, penyalahguna narkoba, dan kenalakan remaja lainnya adalah mereka tumbuh dalam keluarga tanpa ayah (Tyus, 2020).
Baca Juga: Optimalkan Peran Ayah dalam Pola Asuh Anak
Secara logis, ini dapat dijelaskan dengan tren yang umumnya terjadi ketika seorang ayah meninggal: ibu yang tidak bekerja kemudian harus mencari nafkah untuk dapat tetap menghidupi anak-anaknya. Karena fokus bekerja, ibu tadi pada akhirnya hanya memiliki waktu yang jauh lebih sedikit dengan anak-anak mereka.
Dalam situasi ini, anak-anak tidak hanya akan mengalami risiko fatherless, tetapi juga motherless secara bersamaan (parentless), yang tak jarang berakhir dengan pribadi tanpa arah. Namun, mungkin saja risiko parentless ini kecil bagi ibu yang memiliki sumber pemasukan yang lebih stabil dan fleksibel dengan waktunya. Sayangnya kelompok ibu seperti ini belum banyak dijumpai di negara kita.
Lalu apa yang harus dilakukan? Untuk mengatasi kompleksitas risiko fatherless, baik itu dalam artian fisik ataupun ’kurang atau tanpa sosok’, diperlukan kebijakan dua sisi. Pada sisi pertama, yang paling realistis untuk mengelola risiko sosial tanpa ayah adalah perluasan formalisasi pasar kerja inklusif bagi perempuan, selain masifikasi bantuan sosial, unemployment benefit, dan jaminan pensiun yang masih dalam progres. Tujuannya untuk memfasilitasi mobilitas ekonomi perempuan, terutama dalam risiko orangtua tunggal (single parent).
Sementara sisi kedua titik sorotnya adalah merekonsiliasi hubungan ayah-anak karena kealpaan sosok ayah di rumah. Cara-cara yang sudah banyak dilakukan di negara kesejahteraan Eropa (seperti paid leave bagi ayah yang istrinya baru melahirkan, pengurangan pajak, dan fleksibilitas kerja) mungkin saja efektif, tetapi tentu tidak mudah diterapkan dalam konteks Indonesia saat ini.
Baca Juga: Pengasuhan Anak yang Efektif
Dengan demikian, perlu juga dipikirkan kebijakan realistis lainnya. Misalnya, dengan penyediaan transportasi publik yang masif, efektif dan terjangkau; public Wi-Fi; free charging, keran air minum gratis, dan sejenisnya yang secara akumulatif dapat mengurangi biaya operasional harian. Harapannya ini semua mampu membantu meningkatkan potensi saving dan efektivitas kerja para ayah (dan pencari nafkah pada umumnya) sehingga mereka dapat pulang ke rumah lebih awal tanpa harus trade off dengan pendapatan tambahan untuk menutupi biaya rumah tangga.
Tauchid Komara Yuda, Dosen di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM; Ketua Bidang Riset Indonesian Council of Youth Development (ICYD)