Orangtua adalah ”role model” bagi anak. Nilai moral dan apa yang dilakukan orangtua akan ditiru oleh anak. Sebagai ”role model”, kesiapan menjadi orangtua secara fisik, psikis, dan ekonomi adalah hal krusial.
Oleh
WENY SAVITRI S PANDIA
·4 menit baca
Berita mengenai prestasi dan keberhasilan seorang anak membuat kita kagum dan turut berbangga hati. Namun, tak jarang pula terdengar kabar tentang anak yang melakukan tindak kejahatan dan kekerasan.
Apa sebenarnya yang mendorong anak menampilkan perilaku tertentu? Apakah keberhasilan ataupun tindak negatif anak murni karena faktor inheren yang ia miliki ataukah ada faktor di luar diri anak yang dapat mendukung keberhasilan maupun kegagalannya?
Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa setiap anak memiliki keunikan. Ada berbagai potensi positif yang dapat dikembangkan, tetapi ada pula tantangan dan hambatan yang dimiliki. Stimulasi dan lingkungan yang tepat akan membawa anak pada tumbuh kembang optimal.
Urie Bronfenbrenner dalam bukunya, Making Human Beings Human–Bioecological Perspectives on Human Development (2005), menyatakan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh sistem lingkungannya. Kondisi biologis, psikologis, dan juga konteks waktu menjadi hal krusial dalam perkembangan seorang anak.
Ada berbagai sistem lingkungan yang memengaruhi perkembangan anak. Pertama, mikrosistem, yakni lingkungan terkecil yang langsung dihadapi anak, antara lain rumah, sekolah, dan teman sebaya.
Kedua, mesosistem, yakni interaksi antar-mikrosistem yang melingkupi anak. Ketiga, eksosistem, yakni hubungan antara dua atau lebih lingkungan dan salah satu lingkungan mungkin tidak berhubungan secara langsung dengan anak. Dan, keempat, makrosistem, yakni lingkungan yang besar, tetapi tetap berpengaruh, misalnya budaya dan berbagai kebijakan.
Lingkungan rumah, dalam hal ini keluarga, merupakan mikrosistem yang akan memengaruhi anak secara langsung. Dengan demikian, peran keluarga teramat penting dalam tumbuh kembang seorang anak.
Salah satu hal yang paling berkontribusi dalam perkembangan seorang anak adalah pengalaman kehidupannya di keluarga. Orang tua seyogianya memberikan pengalaman hidup dan pembelajaran di masa awal dan masa-masa selanjutnya pada anak.
Namun, kurangnya pengetahuan mengenai pengasuhan serta dunia yang semakin sibuk membuat orangtua tidak memiliki cukup kapasitas dan waktu untuk mendampingi anak.
Dengan alasan ”yang penting ada waktu berkualitas meski kuantitas terbatas”, akhirnya orangtua jarang berada bersama anak dan gawai menjadi teman serta pengasuh pengganti bagi anak.
Orangtua dengan dinamika kehidupan penuh tuntutan dapat memiliki banyak tekanan yang berakibat pada kelelahan mental sehingga tidak memiliki energi lagi untuk berinteraksi secara hangat dengan anak.
Membangun kedekatan
Orangtua lupa untuk membangun kedekatan dan kurang berusaha mengenal anak dengan baik. Meski berada bersama-sama di satu ruang, sering kali interaksi yang hangat tidak dibangun. Akibatnya, anak tumbuh tanpa ada kedekatan emosional dengan orangtuanya.
Orangtua adalah role model bagi anak. Hal yang menjadi nilai moral dan apa yang dilakukan orangtua akan ditiru oleh anak. Untuk menjadi role model yang baik, kesiapan menjadi orangtua secara fisik, psikis, dan ekonomi adalah hal krusial.
Menurut Berns (2010) dalam Child, Family, School, Community–Socialization and Support, orangtua perlu memiliki pengetahuan tentang pola perkembangan anak secara tipikal dan memahami perbedaan individual setiap anak.
Pengetahuan terkait hal ini akan mendukung orangtua dalam menjalankan praktik pengasuhan yang tepat. Orangtua akan menyadari kapasitas anak sesuai usianya dan menyesuaikan harapan serta aspirasi yang pas dengan kondisi anak.
Relasi yang positif dengan pasangan dan anggota keluarga lain akan membentuk keberfungsian keluarga, yaitu kondisi ketika semua anggota keluarga dapat berfungsi dengan baik karena adanya kesejahteraan, kompetensi, dan kekuatan yang dimiliki keluarga tersebut.
Orangtua adalah role model bagi anak. Hal yang menjadi nilai moral dan apa yang dilakukan orangtua akan ditiru oleh anak.
Keberfungsian keluarga penting untuk diupayakan. Keberfungsian keluarga dapat dinilai dari ketangguhan dan kekukuhan (kekuatan) keluarga dalam menghadapi berbagai tantangan. Ketangguhan dan kekukuhan keluarga akan berdampak positif bagi semua anggota keluarga, terutama anak, karena akan membentuk anggota keluarga yang sehat mental (Dai & Wang, 2015, Review of Family Functioning).
Keluarga yang tangguh dapat terwujud jika ada keyakinan dan pegangan hidup dalam menghadapi masalah serta ada optimisme, harapan, dan penerimaan dalam setiap permasalahan keluarga.
Selanjutnya, perlu ada keteraturan dalam setiap aktivitas keluarga, ada kemauan untuk berubah ke arah yang lebih baik, ada kepemimpinan, terdapat rutinitas bersama dalam keluarga, ada ikatan emosional yang kuat, dan tumbuh sikap saling terbuka antar-anggota keluarga.
Adanya pola komunikasi yang jelas, jujur, dan membuka kesempatan untuk mengekspresikan emosi juga akan mendukung ketangguhan. Dengan demikian, akan terbentuk keluarga kukuh dengan bercirikan pengembangan spiritualitas yang baik, komitmen dari setiap anggota keluarga, penyelesaian konflik yang efektif, interaksi yang positif dan hangat, serta adanya rutinitas dan tradisi yang khas dalam keluarga.
Weny Savitry S Pandia, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya