Memutus Rantai Kekerasan Remaja yang Kian Merajalela di ”Brang Wetan”
Kekerasan jalanan memantik keresahan masyarakat karena menimbulkan korban luka, cacat fisik, ataupun meninggal. Di sisi lain, banyak remaja bermasa depan suram karena berhadapan dengan hukum.
Aksi kekerasan jalanan oleh kelompok remaja semakin merajalela dan meluas di sejumlah daerah di Jawa Timur baru-baru ini. Hal itu memantik keresahan masyarakat karena menimbulkan korban luka, cacat fisik, ataupun meninggal. Di sisi lain, banyak remaja bermasa depan suram karena berhadapan dengan hukum.
Baru-baru ini, sebuah video yang menampilkan aksi sejumlah anak muda tengah berkonvoi di jalanan di Sidoarjo menyita perhatian publik. Dalam konvoi yang diduga dilakukan pada tengah malam itu, beberapa peserta tampak membawa senjata tajam mirip celurit, tetapi bentuknya sangat panjang.
Senjata tajam itu diacung-acungkan sehingga menciptakan ketakutan terhadap masyarakat yang berada di sekitar lokasi kejadian. Sejumlah pengendara sepeda motor yang tengah berpapasan dengan peserta konvoi langsung berhenti dan menepi di pinggir jalan untuk menghindari kesalahpahaman.
Saat bersamaan, beredar video sejumlah anak muda tengah mendapat ”pelajaran” dari dua orang yang diduga aparat keamanan. Para anak muda tersebut diduga ditangkap oleh aparat karena terlibat perkelahian atau tawuran sehingga mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.
Baca Juga: Kenapa Remaja Laki-laki Berkelahi
Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Kepolisian Resor Kota Sidoarjo Inspektur Satu Novi Tri Handoko mengonfirmasi kedua video yang beredar tersebut tidak memiliki keterkaitan, apalagi hubungan sebab akibat. Konvoi anak muda dengan membawa senjata tajam dipastikan terjadi di Sidoarjo.
Sementara itu, peristiwa aparat keamanan tengah memberi ”pelajaran” terhadap sejumlah anak muda yang terlibat tawuran diduga terjadi di daerah lain. Ada yang menyebut peristiwanya terjadi di Surabaya, ada pula yang menginformasikan terjadi di Gresik.
”Ada di wilayah lain itu. Video yang beredar di media sosial ada banyak versi,” ujar Tri Novi, Sabtu (18/3/2023).
Adapun terkait konvoi sepeda motor yang dilakukan oleh sejumlah remaja sambil mengacungkan senjata tajam, Kepala Polresta Sidoarjo Komisaris Besar Kusumo Wahyu Bintoro mengatakan telah menangkap dua pelaku. Mereka juga sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.
”Para pelaku mengaku membawa senjata tajam karena hendak tawuran dengan kelompok lain,” kata Kusumo.
Baca Juga: Kekerasan oleh Remaja dan Gagalnya Pendidikan Keluarga
Mereka adalah FS (18), warga Desa Kemangsen, Kecamatan Balongbendo, dan D (20), warga Desa Jeruk Gamping, Kecamatan Krian. Berdasarkan hasil penyidikan, keduanya terlibat konvoi pada Senin (13/3/2023) sekitar pukul 03.00 di simpang empat atau perempatan Kecamatan Wonoayu, Sidoarjo.
Saat berkonvoi, FS membawa sebuah celurit besar bergagang hitam dengan mengendarai sepeda motor W 6547 NCA. Adapun tersangka D juga membawa sebuah celurit berukuran besar bergagang putih. Kedua pelaku ditangkap di rumah masing-masing pada Senin malam.
Kusumo mengatakan, para pelaku merupakan anggota kelompok Warkang Sidoarjo. Kelompok ini menerima tantangan dari kelompok lain melalui media sosial. Tantangan itu memantik reaksi para anggota kelompok sehingga berkumpul sebanyak 25 orang, beberapa di antaranya membawa senjata tajam.
Puluhan remaja itu kemudian berkonvoi di jalanan dan diduga kuat akan melakukan tawuran dengan kelompok penantang. Namun, kelompok penantang akhirnya tidak datang.
”Akibat membawa senjata tajam, pelaku dikenai Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Ancaman hukumannya 10 tahun penjara,” ujar Kusumo.
Ulah kelompok remaja yang membawa senjata tajam dan suka berkelahi itu memicu keresahan warga. Sebut saja Catur (45) yang trauma melihat konvoi membawa senjata tajam. Karyawan swasta yang kerap bekerja hingga larut malam tersebut ketakutan karena rentan menjadi sasaran kekerasan jalanan.
”Saya takut jadi sasaran mereka. Tetapi, Sidoarjo ini kota industri, banyak pabrik yang operasionalnya 24 jam penuh sehingga karyawannya harus kerja sampai larut malam,” kata Catur.
Oleh karena itu, dia minta aparat penegak hukum menindak tegas para pelaku dan menghukum mereka seberat-beratnya agar mampu memberikan efek jera. Catur yakin apabila dilakukan pembiaran, pelaku akan semakin merajalela.
Gandeng komunitas
Kejadian di Sidoarjo sejatinya hanya menambah panjang fenomena kekerasan jalanan yang dilakukan oleh remaja di Jatim. Sebelumnya, di Surabaya, marak terjadi tawuran antarkelompok remaja dengan membawa senjata tajam. Bahkan, seorang remaja telah terenggut nyawanya akibat kejadian tersebut.
Saat bersamaan, aksi kekerasan oleh kelompok remaja juga muncul di Trenggalek dengan motif konflik antarperguruan silat. Puluhan anggota sebuah perguruan silat berencana mencelakai rombongan perguruan silat lainnya dengan cara melempar batu ke arah kendaraan yang mereka tumpangi.
Namun, lemparan batu itu salah sasaran sehingga mengenai kendaraan yang membawa rombongan peziarah. Akibat kejadian itu, kendaraan peziarah mengalami kecelakaan dan banyak penumpangnya menderita luka-luka. Bahkan, pengemudi kendaraan tersebut luka parah dan masih dirawat di rumah sakit hingga kini.
Rentetan kejadian di sejumlah daerah di Jatim tersebut menunjukkan aksi kekerasan jalanan oleh kelompok remaja semakin masif. Faktor pemicunya juga kian beragam, mulai dari gesekan kecil di tempat nongkrong hingga perbedaan komunitas seperti perguruan silat.
Di sisi lain, korban kekerasan terus berjatuhan. Korban tidak hanya berasal dari kelompok yang bertikai, tetapi menyasar semua warga terutama yang berada di lokasi kejadian. Oleh karena itu, bisa dikatakan kekerasan yang dilakukan para remaja tersebut telah mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat serta mengancam keselamatan warga bangsa.
Tindak pidana kekerasan oleh para remaja juga berdampak pada kehidupan mereka sendiri di masa depan. Remaja yang merupakan calon pemimpin bangsa akan kehilangan masa depannya yang cerah karena harus berhadapan dengan hukum dan hidup dipenjara.
Menyikapi fenomena tersebut, Kepala Kepolisian Daerah Jatim Inspektur Jenderal Toni Harmanto mengatakan melakukan pendekatan persuasif terhadap kelompok masyarakat. Salah satunya membangun dialog bersama para pemimpin dan pengurus setiap perguruan silat di wilayahnya, seperti yang digelar pada Kamis (16/3).
Polda Jatim bersama dengan Kodam V Brawijaya sengaja merangkul dan melibatkan komunitas, terutama perguruan silat, untuk mengatasi konflik dan membangun situasi yang kondusif di masyarakat.
”Saya melihat banyak oknum pesilat yang sekarang ini berurusan dengan hukum. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang masih di bawah umur. Tentu hal itu tidak bisa dibiarkan terus-menerus,” ucap Toni.
Jati diri
Sosiolog dari Universitas Muhammadiyah Malang, Luluk Dwi Kumalasari, mengatakan, kekerasan jalanan yang dilakukan oleh remaja sudah ada sejak lama. Namun, manifestasi kekerasannya saat ini semakin beragam, ada klitih di Yogyakarta, perkelahian antarkelompok atau gangster di Surabaya, dan konvoi membawa senjata tajam di Sidoarjo.
Realitas kenakalan remaja tersebut dipengaruhi banyak faktor, salah satunya permainan secara daring atau game online yang mengandung materi kekerasan. Selain itu, materi-materi di media sosial yang banyak mengumbar konten kekerasan.
Konten-konten kekerasan tersebut rentan memengaruhi kondisi psikis remaja. Padahal, emosional mereka masih sangat labil. Hal itu karena usia remaja ini merupakan peralihan dari anak-anak menuju dewasa.
Pada fase tersebut, remaja akan berupaya mencari jati dirinya. Ada yang mengisinya dengan kegiatan positif, tetapi juga tidak sedikit yang terjerumus dalam aktivitas negatif, seperti melakukan kekerasan, apalagi jika tidak ada pihak yang mengarahkan atau memberikan pendampingan secara intens.
Menurut Luluk, remaja yang terlibat dalam tindak kekerasan kebanyakan memang bermasalah secara emosional, contohnya mudah merasa putus asa. Bisa juga berupaya melarikan diri dari masalah yang tengah dihadapi, entah persoalan keluarga, ekonomi, atau sosial.
”Remaja yang terlibat kekerasan ini bisa jadi yang tidak bisa berpikir secara rasional. Orang-orang yang insecure atau kurang percaya diri sehingga perlu mencari eksistensi diri agar diakui di lingkungannya,” ujar Luluk.
Ketua Program Studi Sosiologi FISIP UMM ini menambahkan, persoalan kekerasan yang dilakukan oleh remaja memerlukan penanganan serius dari semua pihak yang terlibat mulai dari orangtua, sekolah, atau lingkungan pendidikan, lingkungan sosial, pemerintah daerah, termasuk aparat keamanan.
Orangtua, misalnya, kata Luluk, harus memberikan perhatian terhadap anak-anaknya. Setidaknya mengontrol penggunaan gawai, terutama konten-konten yang sering ditonton oleh anaknya. Selain itu, memperkuat kembali pembentukan karakter anak melalui lembaga pendidikan atau sekolah.
Saat bersamaan, kata Luluk, lingkungan sosial, seperti komunitas yang menjadi wadah berkegiatan sehari-hari, juga sangat memengaruhi pola pikir dan perilaku remaja. Berikutnya adalah peran pemerintah daerah untuk memperbanyak fasilitas kegiatan agar remaja bisa mengaktualisasikan dirinya secara positif.
Dia menilai, peran aparat keamanan juga tidak kalah penting untuk mengatasi masalah kekerasan remaja. Aparat bisa memperkuat upaya preventif dan kuratifnya selain penindakan secara hukum. Mereka bisa menggandeng lembaga pendidikan atau komunitas untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang kekerasan dan dampaknya bagi pelaku ataupun masyarakat pada umumnya.
Maka, sudah saatnya semua pihak turun tangan berikhtiar memutus mata rantai kasus kekerasan remaja agar tidak semakin memanjang dan terus berulang. Caranya tidak bisa lain adalah memperkuat kembali peran setiap pihak demi tumbuhnya generasi emas bangsa. Generasi yang tidak hanya pintar, tetapi beretika, bermartabat, dan berbudi pekerti luhur.
Baca Juga: ”Klitih” dan Jejak ”Koboi” Remaja Jalanan Yogyakarta