Meraba-raba Kota Global Jakarta
Dua dekade lalu, Seoul memilih fokus mengusung budaya pop jadi motor pembangunan dan berhasil masuk jajaran kota global bergengsi. Jakarta kini masih meraba-raba mencari potensi khas modal akselerasi menuju kota global.
Sepanjang pekan ini, Seoul bertabur cahaya ungu menyambut 10 tahun kiprah boyband BTS. Di Jakarta, masih hangat keriuhan pertandingan sepak bola tim nasional Argentina versus timnas Indonesia, berlanjut berbagai perhelatan perayaan hari jadi ke-496 Kota Jakarta.
Pada medio 2023 ini, kedua kota tersebut gencar menata diri untuk bangkit setelah didera pandemi Covid-19 sekitar dua tahun terakhir. Kota utama di Korea Selatan dan Indonesia itu juga sama-sama mengincar posisi terbaik dalam jajaran kota global.
Apa sebenarnya kota global itu?
Global Cities Report 2022 dari Kearney berjudul ”Readiness for The Storm” menyatakan, kota global secara luas didefinisikan sebagai wilayah metropolitan utama yang secara unik bersifat internasional dalam konektivitas dan karakternya.
Kota global memainkan peran penting di tingkat global dan regional, dari Asia hingga Afrika, dari Amerika Selatan dan Utara hingga Eropa. Kota global menikmati keunggulan kompetitif yang signifikan dan menjadi simpul utama dalam sistem ekonomi dunia. Mereka berinteraksi dengan negara dan aktor internasional lain, mengejar tujuan yang terjalin dalam agenda bersama ekonomi global.
Baca juga: Uang Besar di Balik Pekat Kabut Polusi Udara
Kota global berperan penting dalam menjawab pertanyaan terkait perubahan iklim, mobilitas dan migrasi, inovasi teknologi, pembangunan ekonomi, serta infrastruktur.
”Kota-kota global adalah mesin dinamis dan produsen inovasi yang kuat. Kesehatan kota global menjadi barometer penting bagi prospek masa kini dan masa depan—tidak hanya bagi penduduk kota, tetapi bagi semua warga dunia,” demikian tertulis dalam laporan Kearney.
Menjadi kota global dalam perspektif dunia yang tak lagi terbatas sekat batas fisik wilayah administrasi berarti menempati kasta tertinggi dalam hierarki perkotaan. Tak heran jika cita-cita menjadi kota global menghinggapi banyak kota yang selama ini telah menjadi kota terbesar, paling maju, dan makmur di tingkat nasional atau regional.
Namun, mencapai kota global jelas jauh dari mudahnya membalikkan telapak tangan. Hal tersebut dikarenakan menjadi kota global harus tangguh dan mampu mengatasi kerentanan akibat krisis dunia yang mengganggu aliran modal, manusia, dan gagasan lintas negara. Kota-kota global dituntut mengatasi tantangan ketidaksetaraan, ketidakinklusifan sosial, dan pelestarian lingkungan.
Kota-kota global adalah mesin dinamis dan produsen inovasi yang kuat.
Dalam Indeks Kota Global (Global Cities Index/CGI) Kearney 2022, Seoul ada di peringkat ke-13, sedangkan Jakarta bahkan tidak masuk dalam 30 besar kota global. CGI Kearney 2022 disusun berdasarkan metrik yang mengukur sejauh mana sebuah kota dapat menarik, mempertahankan, serta menghasilkan aliran modal, orang, dan gagasan global. Sebanyak 156 kota di seluruh dunia dinilai dalam lima dimensi standar, yaitu aktivitas bisnis, sumber daya manusia, pertukaran informasi, pengalaman budaya, dan keterlibatan politik.
Baca juga: Panen Madu dari Sarang Lebah di Pabrik Sepeda Motor
Pemeringkatan serupa, yaitu Global Power City Index (GPCI) 2022 dari Institute for Urban Strategies, The Mori Memorial Foundation, menempatkan Seoul pada posisi ke-7 dan Jakarta pada peringkat ke-45. GPCI secara khusus dilakukan melalui pengukuran enam fungsi, yaitu ekonomi, penelitian dan pengembangan, interaksi budaya, kelayakhunian, lingkungan, serta aksesibilitas.
Masih gelap
Dalam tulisan opininya di harian Kompas, 9 Juni 2023, Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menyatakan, kendati nantinya tidak lagi menyandang status ibu kota negara, Jakarta merupakan kota modern yang memenuhi syarat sebagai kota global.
Heru menyadari, Jakarta dalam GCI masih tergolong di posisi bawah, yaitu peringkat ke-67. ”Prinsipnya, saya sebagai pemimpin Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menempatkan isu urbanisasi dan aksesibilitas (dari sekian banyak isu kota global) sebagai problem bersama yang harus dicarikan terobosan jalan keluar dan solusinya,” tulis Heru.
Pasca-pemindahan ibu kota, menurut Heru, Jakarta perlu lebih giat bertransformasi untuk meningkatkan aksesibilitas, liveability, perbaikan lingkungan dan budaya; meningkatkan pengembangan teknologi dan inovasi; serta meningkatkan toleransi dan internasionalisme. Selain itu, perlu dipersiapkan kebijakan dan khazanah best practices untuk mitigasi dampak Jakarta sebagai kota internasional terhadap penduduknya.
Baca juga: Keberagaman 190 Bangsa di Kota ”Multikulti” Berlin
Menutup penjabaran pemikirannya, Heru mengajak publik urun gagasan kreatif untuk mewujudkan agenda besar menuju kota global. Khalayak dapat memberikan masukan terkait tata kelola pemerintahan dan sumber daya, pengembangan kawasan dan aktivitas bisnis bertaraf internasional, penguatan posisi dalam relasi bisnis dan inovasi teknologi, ketahanan menjawab tantangan ekonomi, serta daya saing dan pembelajaran dari kota global dunia lainnya.
Lontaran pemikiran serupa dan ajakan kepada publik untuk turut berpartisipasi adu ide menjadi kota global sebelumnya juga diungkapkan Anies Baswedan semasa menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Budaya pop
Jika kini Jakarta yang terkesan masih meraba-raba mencari kekuatan utamanya demi menjadi kota global, Seoul secara bertahap sejak sekitar 20 tahun lalu mulai merintis menjadi kota yang mampu bersaing di kancah internasional. Seiring pemindahan ibu kota Korea Selatan ke Sejong, Seoul fokus mengolah dan mengomodifikasi budaya pop setempat meraup penggemar setia di dalam dan di luar negeri.
Gelombang tren budaya pop Korsel yang menginternasional itu kemudian disebut Korean Wave alias Hallyu. Hallyu menjadi strategi dan alat utama Seoul menjadi kota global.
JungYun ”Christine” Hur dan Tony Kim dalam risetnya yang dipublikasikan tahun 2020 menyatakan, era pertama Hallyu, yang disebut ”Hallyu 1.0”, dimulai awal 2000-an. Ketika era media sosial dan telepon pintar berkembang, terjadilah fase kedua atau ”Hallyu 2.0” yang merebak sejak sekitar 2008 hingga sekarang.
Kim menyatakan, pada 2016 saja, 80 persen dari 24 miliar penayangan video musik 200 artis K-pop teratas di Youtube justru berasal dari luar Korea Selatan.
Baca juga: Coldplay Membawa Jakarta Lebih Dekat Menjadi Kota Musik
Dampak langsung dari Hallyu ini adalah minat tinggi para penggemarnya untuk mendatangi Korea Selatan, termasuk kota Seoul yang banyak menjadi latar cerita drama, film, reality show, dan video musik. Tren ini diterima dan menjadi acuan dalam mengembangkan wisata budaya pop.
Tidak seperti wisatawan massal, wisatawan dengan minat khusus lebih aktif dan terlibat saat mereka mengunjungi destinasi untuk mengejar minat mereka.
Wisata budaya pop dikategorikan sebagai bagian dari wisata minat khusus. Wisata minat khusus budaya pop ini memiliki ceruk pasar yang dalam dan menguntungkan dalam strategi pengembangan pariwisata urban oleh pemerintah.
”Tidak seperti wisatawan massal, wisatawan dengan minat khusus lebih aktif dan terlibat saat mereka mengunjungi destinasi untuk mengejar minat mereka,” tulis Kim dan Hur.
Pemerintah setempat memiliki program dan kebijakan terpadu terkait pengelolaan wisata budaya pop mulai dari penataan kota, layanan transportasi publik, hingga ruang-ruang terbuka ikonik yang menyuguhkan sisi-sisi indah kota seindah adegan drama seri di televisi.
Turis juga memburu pernak-pernik pakaian, perhiasan, hingga makanan seperti yang ada dalam film sehingga membuka peluang bisnis baru di banyak lini produk. Keinginan menjadi penyanyi, bintang sinetron, dan berjenis pekerjaan di bidang hiburan pun menjadi bisnis besar yang menarik orang-orang berbakat dari banyak negara lain mengadu untung di Korsel.
Baca juga: Perilaku Buruk Pengemudi Musuh Segala Bangsa
Kota dan industri budaya pop seolah melebur menjadi satu. Peringatan satu dekade BTS pada 13 Juni, misalnya, diracik spesial oleh kota Seoul. Selain konser grup vokal pria itu pada Minggu (25/6/2023) ini, tempat-tempat publik yang ikonik di Seoul kompak mengharu-biru dengan permainan cahaya ungu untuk BTS. Mereka ikut menikmati atraksi jalanan itu saat menapaki trotoar Seoul, saat nongkrong di tepian Sungai Han, atau kala ngopi di kafe-kafe cakep.
Fenomena di Seoul itu dan gencarnya agen-agen setempat memublikasikannya otomatis memantik keingintahuan masyarakat di luar Korea Selatan, termasuk di Indonesia. Seoul termasuk cepat merespons kebutuhan wisata halal demi mewadahi penganut Hallyu dari negara-negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Tak lupa Pemerintah Seoul dan Korsel menjaga mati-matian keamanan daerahnya, terlebih dari ancaman berkonflik dengan seteru sekaligus ”saudaranya”, Korea Utara.
Citra aman tenteram, modern, inklusif, dan dinamis di dalam negeri membuat gelombang Hallyu makin besar dan meluas, menarik minat lebih banyak orang. Pada 2011, Korsel mendapat pemasukan 825 juta dollar Amerika Serikat berkat dampak Hallyu.
Baca juga: Perisai Hijau Kota Penangkal Suhu Panas
Meski meredup selama pandemi, 2023 ini disebut tahun kebangkitan industri wisata budaya pop di Korsel. Kegiatan ekonomi, budaya, dan lain-lainnya yang melibatkan kota-kota global lain diharapkan kembali ikut bergulir bersama meledaknya lagi wisata minat khusus di Seoul.
Berkaca dari Seoul, Jakarta perlu menunjukkan bahwa ia juga mesin dinamis dan produsen inovasi yang kuat dan pantas menjadi kota global seperti disebut Kearney. Berstatus ibu kota negara ataupun tidak, Jakarta perlu mengenali dirinya dan tak ragu berinovasi menciptakan potensi khas sebagai motor penggerak menggapai kota global.
Baca juga: Catatan Urban