Kasus enam desa di Halmahera mengakibatkan warga sengsara. Misalnya, warga enam desa kehilangan hak memperoleh dana CSR dari perusahaan tambang emas Nusa Halmahera Mineral.
Oleh
Linda Christanty
·4 menit baca
Saya terkejut menyaksikan perkara yang dibuat Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara di Provinsi Maluku Utara. Perkara ini dikenal sebagai kasus enam desa Kecamatan Jailolo Timur di Kabupaten Halmahera Barat yang masih juga diklaim seolah-olah bagian wilayah administratif Kabupaten Halmahera Utara. Enam desa itu adalah Bobaneigo, Pasir Putih, Akelamo Kao, Gamsungi, Tetewang, dan Dum Dum.
Dari kesaksian warga, saya mengetahui awal mula kasus tersebut.
Di Desa Tetewang, saya mewawancarai Ferdinand Punene atau biasa dikenal sebagai Fredy Punene. Ayahnya, Benjamin Punene, mendirikan Tetewang pada 1936. Fredy mengetuai Forum Perjuangan Enam Desa, wadah komunikasi antarwarga.
Menurut Fredy, kasus ini dimulai pada 1986. Pemerintah daerah Maluku menyosialisasikan rencana pemindahan masyarakat dan kecamatan di Pulau Makean ke Kecamatan Kao di Pulau Halmahera. Kecamatan itu dinamai Makean Daratan. Lima desa Kao (Tabobo, Balisosang, Sosol, Wangeotak, Gayok) dan enam desa Jailolo Timur (Tetewang, Pasir Putih, Akelamo Kao, Bobaneigo, Gamsungi, Dum Dum)akan dijadikan desa-desa Kecamatan Makean Daratan. Warga enam desa menolak.
Pascapemerintahan Presiden Soeharto, pemerintahan Presiden BJ Habibie menetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Pembentukan dan Penataan Beberapa Kecamatan di Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Maluku Utara dalam Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Maluku. Kecamatan Makean Daratan berubah nama menjadi Kecamatan Malifut. Lima desa Kao dan enam desa Jailolo timur dimasukkan dalam Kecamatan Malifut. Orang Kao menolak lima desanya menjadi desa-desa Kecamatan Malifut karena lima desa itu berada dalam Kecamatan Kao. Konflik tanah adat antara suku Kao dan suku Makean/Makian di Maluku Utara memuncak hingga pecah konflik bernuansa agama antara tahun 1999 dan 2000. Ribuan orang dibunuh. Puluhan ribu terusir paksa.
Kabupaten Maluku Utara kemudian mekar menjadi Provinsi Maluku Utara. Namun, masalah di enam desa Jailolo Timur belum berakhir.
Undang-Undang No 1/2003 menetapkan enam desa di Kecamatan Jailolo Timur, Kabupaten Halmahera Barat (Halbar), menjadi wilayah Kabupaten Halmahera Utara (Halut) dan Kecamatan Jailolo Timur diganti menjadi Kecamatan Kao Teluk. Warga enam desa menolak undang-undang itu.
Pada 2016, Camat Jailolo Timur Ali Jusuf menyatakan, bangunan sekolah, kantor pemerintahan, dan puskesmas di enam desa Jailolo Timur milik Kabupaten Halbar. Dana pos aparat dari Halbar. Seluruh aparatur sipil negara di enam desa digaji Halbar. Fakta-fakta hukum dan administrasi ini menunjukkan enam desa ini merupakan wilayah Halbar.
Dari prioritas pelayanan masyarakat dan efektivitas kualitas pemerintahan, jarak enam desa lebih dekat ke Halbar ketimbang ke Dalut. Jarak Dum Dum, desa terujung Jailolo Timur, ke Jailolo, ibu kota Halbar, 82 kilometer, sedangkan jarak desa ini ke Tobelo, ibu kota Halut, 121 kilometer.
Intimidasi terhadap guru-guru sekolah dasar di Dusun Dum Dum Pante, Desa Dum Dum dilakukan oknum perangkat desa pro-Halut. Robinson Paka, misalnya, diintimidasi dan dipukul. Dia terpaksa pindah mengajar ke dusun lain.
Nova Linayang kehilangan status dan hak sebagai guru honorer PAUD Harapan Bunda di Desa Tetewang. ”Kalau kami mengetik ’Desa Tetewang Kecamatan Jailolo Timur’, tidak akan muncul di komputer,” tuturnya kepada saya. Data PAUD meliputi nama anak, berat badan, nama orangtua, dan alamat. Jika data tidak ada, guru tidak akan mendapat insentif ataupun bantuan pemerintah.
Warga enam desa kehilangan hak memperoleh dana tanggung jawab sosial (CSR) dari perusahaan tambang emas Nusa Halmahera Mineral karena Halut menentukan penerimanya, antara lain harus ber-KTP Halut.
Pada 2 November 2017, Tumpak Haposan Simanjuntak, Direktur Toponimi dan Batas Antar Daerah dari Kementerian Dalam Negeri, di Jakarta, datang ke enam desa Jailolo Timur di Kabupaten Halbar. Untuk pertama kali pasca-Orde Baru, Pemerintah Indonesia mengutus pejabat tinggi ke lokasi sengketa di luar pusat kekuasaan di Pulau Jawa. Tumpak bertemu warga. Dia memverifikasi data penduduk. Kartu keluarga Halbar, tetapi KTP terbagi dua; Halbar dan Halut. Satu rumah memiliki dua KTP. Sertifikat-sertifikat tanah Halbar. Air bersih Halbar. Bangunan sekolah, kantor pemerintah, dan puskesmas Halbar.
Dua tahun kemudian, Peraturan Menteri Dalam Negeri No 60/2019 menetapkan batas daerah antara Kabupaten Halbar dan Kabupaten Halut. Peraturan ini menjadi landasan hukum Danny Missy, Bupati Halbar yang menjabat waktu itu, untuk mengeluarkan Peraturan Bupati Halmahera Barat No 6/2020 tentang Pembentukan Kecamatan Jailolo Timur. Enam desa utuh dalam wilayah Halbar.
Pemerintah Kabupaten Halut mengajukan banding ke Mahkamah Agung. Pada tahun yang sama, Mahkamah Agung menetapkan putusan menolak permohonan keberatan uji material terhadap Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 60/2019 tentang Batas Daerah antara Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara yang diajukan Bupati Halmahera Utara Frans Manery.
Namun, papan keterangan yang mencantumkan nama kecamatan dan Kabupaten Halut di enam desa Kecamatan Jailolo Timur, Kabupaten Halbar, masih terpancang. Jika mengetik Desa Dum Dum atau Desa Akelamo Kao di internet pun, desa-desa di Halbar ini masih dicantumkan sebagai desa Halut. Akibatnya, jumlah Kecamatan Halbar menjadi delapan karena satu kecamatan dihilangkan melalui disinformasi data, yaitu Jailolo Timur.