Eric pernah melakukan perjalanan ke Asia untuk menulis buku. Dari buku ini, pembaca memahami orang-orang biasa di negara-negara tertentu secara lebih adil. Masa mudanya diisi protes terhadap kolonialisme.
Oleh
Linda Christanty
·4 menit baca
Atlas adalah buku kesayangan Eric di masa kanak-kanak. Ketika belajar sejarah peradaban di sekolah, dia menyukai Persia, kini disebut Iran. Eric juga terpukau melihat gambar sungai-sungai besar di sejumlah negara dan membayangkan melihat sungai-sungai itu dari dekat suatu hari nanti. Lyon, kota tempat tinggalnya lebih dari tiga dekade, berada pada pertemuan dua sungai, Rhône dan Saône. Kehidupan orang Lyon pun dekat dengan sejarah. Amfiteater peninggalan Romawi yang berusia 2.038 tahun berada di bukit Fourvière terawat baik dan masih berfungsi.
Eric dewasa akhirnya sampai di Isfahan, Iran, takjub melihat keindahan arsitektur rumah dan masjid tua. Sebuah keluarga besar yang sedang piknik di taman mengajak musafir ini makan bersama dan menyambutnya dengan pembacaan puisi penyair termasyhur Saadi Shirazi. ”Kehangatan orang Iran bertolak belakang dengan citra buruk Iran dalam berita media Barat,” ujarnya. Dia menyaksikan ramai penziarah di makam penyair besar Hafez. Puisi sangat diagungkan dalam kehidupan orang Iran.
Di India, penyair dipuja bagai dewa. Ketika mampir di Kanyakumari, kota pantai di Negara Bagian Tamil Nadu, Eric melihat patung setinggi 41 meter terpahat di atas batu di laut. Patung Thiruvalluvar, penyair Tamil yang menulis 1.330 bait puisi berisi pedoman hidup atau Thirukkural.
Eric menulis pengalaman itu dalam travelog, Fragments De Voyage D’Istanbul A Jakarta Par La Route, yang merekam perjalanan daratnya dari Turki ke Indonesia dengan melewati sejumlah negara pada 2013. Ini panduan untuk para musafir, mulai dari akomodasi murah hingga situasi politik dan kondisi sosial negara-negara yang disinggahi. Untuk menyambut kedatangannya kembali ke Indonesia dan sebelum dia bergerak ke tempat-tempat lain, kami makan soto ayam di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, dan berbagi cerita.
Pengetahuan pertama Eric tentang Indonesia dibentuk sebuah film yang diputar di bioskop Lyon pada 1983, The Year of Living Dangerously (l'année de tous les dangers). Film itu diadaptasi dari novel Christopher Koch, yang mengisahkan situasi menjelang pemberontakan partai komunis di Indonesia dan kedatangan bantuan senjata dari China. Soekarno dalam film fiksi ini dikisahkan bersaing pengaruh dengan Partai Komunis Indonesia. Setahun setelah reformasi di Indonesia, pada 1999, Eric berkunjung ke Yogyakarta. Sejak itu dia jatuh cinta kepada Indonesia.
Masa mudanya diisi protes terhadap kolonialisme dan imperialisme.
Pada 2004, sejumlah warga di Perancis mendirikan gerakan bernama Karavan untuk Palestina. Eric dan beberapa temannya terlibat dalam gerakan ini. Pada 5 Juli 2005, karavan ini bergerak dari Strasbourg, Prancis melalui Italia, Slovenia, Kroasia, Yunani, Turki, Suriah, dan Yordania untuk masuk ke Jerusalem. “Itu adalah gerakan warga. Tidak ada organisasi atau LSM di belakangnya. Kami benar-benar independen,” kenangnya.
Lebih dari 130 orang dari 18 negara dan sejumlah anak-anak bergabung dalam konvoi 50 mobil itu. Mereka menuntut agar tembok yang dibangun rezim Zionis Israel di wilayah Palestina yang diduduki Israel dirobohkan karena tindakan tersebut melanggar hukum internasional, resolusi Dewan Keamanan PBB, dan keputusan Mahkamah Internasional. Pembangunan tembok dimulai pada Juni 2002, sehingga menuai protes dari seluruh dunia. Tentara Zionis Israel menghadang karavan di Jembatan Allenby, yang berada di antara Yordania dan wilayah Palestina yang diduduki Israel. Para aktivis digebuki dan dipaksa pergi. Eric membantu para aktivis yang kehilangan paspor dan uang mereka.
Dua tahun kemudian, Eric memulai perjalanannya sendiri. Dia menempuh perjalanan darat dari Turki ke India. Pada 2012, ia melakukan perjalanan darat dari Turki ke Indonesia untuk menulis bukunya. Dari buku ini, pembaca dapat memahami kehidupan orang-orang biasa di negara-negara lain dengan lebih adil. “Di negara-negara tersebut, sikap pemerintah juga bisa sangat berbeda dengan sikap masyarakatnya,” tutur Eric.
Kami membahas perang Ukraina dan Rusia. Eropa paling terkena dampak.
”Rakyat menderita karena politik pemerintah. Inflasi sangat tinggi. Semakin banyak keluarga tidak bisa makan tiga kali sehari di Perancis,” kisahnya.
Dia mengalami krisis yang memburuk, ”Terlebih di Perancis dan Italia karena dua negara ini tidak memiliki kedaulatan dalam industri. Di Perancis, semua berasal dari China, India, atau Vietnam. Perangkat keras, kacamata, produk medis, gigi palsu, pipa, keran air, pakaian, kain, perlengkapan komputer, peralatan olahraga, sepatu, bahkan suku cadang mobil dan truk berasal dari luar.”
Perang Ukraina dan Rusia membuat Jerman kekurangan gas. Pipa-pipa bawah laut yang mengalirkan gas alam dari Vyborg di Rusia ke Lubmin di Jerman meledak.
Seymour Hersh, jurnalis investigatif terkemuka Amerika, menulis penyebab ledakan itu di media daring berbayarSubstack.com pada 8 Februari 2023. Menurut laporan Hersh, yang berjudul How America Took Out the Nord-Stream, Amerika Serikatlah yang memimpin operasi laut rahasia untuk meledakkan pipa-pipa gas itu dengan melibatkan Norwegia. Di perairan dekat Pulau Bornholm, pipa-pipa berada kurang dari 80 meter di bawah permukaan laut dan dapat dijangkau penyelam. Bahan peledak C4 ditanam pada sejumlah pipa. Selubungnya adalah latihan militer NATO sehingga operasi tersebut terlihat sebagai bagian dari latihan. Pesawat pengintai Norwegia menjatuhkan pelampung sonar untuk memicu ledakan pada 26 September 2022. Washington menyatakan laporan Hersh itu fiksi.
Soto ayam telah berganti kopi hitam. Pembicaraan kami akan berakhir.
Eric menyatakan dia menulis travelog untuk meninggalkan warisan tentang perjalanan yang intens, indah, dan berwarna. ”Saya juga mendedikasikannya untuk ibu saya, yang mendukung perjalanan-perjalanan saya dan mengoleksi semua foto dari perjalanan-perjalanan itu dalam album,” tuturnya.