Berkat perjuangan Sjahrir dan kawan-kawan di Dewan Keamanan PBB, maka yang diakui sah sebagai negara Republik Indonesia adalah seluruh wilayah bekas Hindia Belanda tanpa terkecuali.
Oleh
Linda Christanty
·3 menit baca
SALOMO TOBING
Linda Christanty
Pada 14 Agustus 1947 Indonesia berhasil diakui dan sah memiliki legal standing sebagai pihak dalam konflik melawan negara Belanda. Legal standing ini diakui PBB dan tidak berubah sampai hari ini, bahwa Indonesia sudah ada sebelum negara Belanda datang pada 26 Juni 1596. Negara Belanda secara bertahap kemudian merampas Indonesia dan Indonesia pun terus-menerus melawan sampai memproklamasikan kembali kemerdekaannya atas semua wilayah yang pernah dirampas oleh negara Belanda.
Rentetan peristiwa itu dan klaim Duta Keliling Republik Indonesia Sutan Sjahrir tentang negara Indonesia disahkan oleh Dewan Keamanan PBB dan menjadi legal standing Indonesia berdasarkan hukum internasional dalam sengketa melawan negara Belanda. Kejeniusan Sjahrir mengubah makna semua kontrak politik-hukum yang dibuat kolonial Belanda dengan entitas politik mana pun, dan konsekuensinya, memberikan landasan kepada Republik Indonesia untuk bertindak secara politik, hukum dan militer sampai hari ini.
Berkat perjuangan Sjahrir, Soedjatmoko, Haji Agus Salim, Soemitro Djojohadikusumo, Charles Tambu, dan LN Palar di Dewan Keamanan PBB, yang dilandasi perjuangan seluruh rakyat Indonesia antikolonial Belanda , maka yang diakui sah sebagai negara Republik Indonesia adalah seluruh wilayah bekas Hindia Belanda tanpa terkecuali.
Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 dan dimotori para pemuda pejuang antikolonial Belanda dan antifasis Jepang juga bersinergi dengan magnum opus Tan Malaka, Naar de Republiek Indonesia, yang terbit di Canton pada April 1925, bahwa Indonesia sudah ada sebelum negara Belanda menjadikannya Hindia Belanda.
Tanpa perjuangan Fettor atau Raja Takaip Baki Koi (Bakikooi atau Bakikooie; ejaan berdasarkan arsip Belanda) di Pulau Timor, yang dilanjutkan Panglima Besar Jenderal Soedirman, klaim Sjahrir di Dewan Keamanan PBB dan proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak akan diakui.
Baki Koi adalah suri tauladan tentang ketangguhan dan sikap pantang menyerah terhadap kolonial Belanda di Pulau Timor, yang sekarang sebagian wilayahnya merupakan milik negara Indonesia dan sebagian lagi milik negara Timor Leste.
Kehebatan Baki Koi direkam oleh kolonial Belanda, musuh bebuyutannya, yang antara lain dapat dibaca dalam himpunan arsip koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia,Inventaris Arsip Timor. Arsiparis dan sejarawan Mona Lohanda memimpin penyusunan Inventaris Arsip Timor pada 1998.
Kerajaan Belanda memberi penghargaan atau tanda jasa kepada serdadu mereka yang ditugaskan dalam ekspedisi militer melawan Baki Koi. Pada situs resmi Kementerian Pertahanan Kerajaan Belanda (www.defensie.nl) tercantum keterangan tentang penugasan J.W. Binkes, perwira Angkatan Laut Belanda, di Timor dalam “ekspedisi melawan Fettor Takaip pada Desember 1855”, berikut waktu penetapan dan nomor Surat Keputusan Kerajaan yang memberi penghargaan atas keberanian Binkes: 04-04-1856, No. 39.
Laporan tentang ekspedisi militer Belanda melawan “Fettor Takaip Bakikooi” di Timor juga dimuat surat kabar pemerintah Belanda, Nederlandsche Staats-Courant (1859-1860) dalam rubrik “laporan administrasi dan negara koloni tahun 1857”. Laporan pada lembar ke-106 di halaman 421 itu menjelaskan bahwa “daerah perbatasan dan pos-pos terpencil di pulau Timor yang dikuasai langsung pemerintah telah diganggu oleh serangan dan perburuan dari Fettor Takaip, yang disebut Bakikooi.” Laporan itu pun menguraikan alasan ekspedisi militer Belanda dilakukan, bahwa “semua cara damai telah ditempuh untuk menyelesaikan perselisihan menemui jalan buntu, dan keangkuhan Fettor Takaip makin menjadi, diputuskan oleh Gubernur Jenderal untuk menggunakan cara-cara militer,” termasuk meminta bantuan Amir dan adiknya Hamzah, dua mantan pemberontak asal Bangka yang menjadi kolaborator setia kolonial (berdasarkan laporan jurnalistik Bangka Tribunnews-Bangka Pos Group pada pukul 07:10, 13 November 2015).
Pada 26 Juli 1857, sebagaimana tertulis dalam laporan Nederlandsche Staats-Courant, pemerintah kolonial mengerahkan satu batalyon Infanteri, dua kapal perang uap bernama Amsterdam dan Merapi, sebuah kapal rumah sakit, para penembak jitu dan pasukan tambahan untuk menghadapi pejuang Timor antikolonial. Kutipan laporan Nederlandsche Staats-Courant ini menunjukkan cara keagamaan pun ditempuh Belanda untuk mengalahkan Baki Koi: “Para misionaris bahkan dikerahkan untuk menaklukkan Fettor Takaip.” Benteng dan harta benda Baki Koi sengaja dihancurkan untuk “membiarkannya mengembara sendirian sebagai buronan”.
Ekspedisi militer di bulan Agustus dan September 1857 membuat para fettor di Umattan dan Amfoang kagum dan menyerah kepada Belanda. Kaisar Sonnebait Agung kagum dan hormat kepada Belanda. Raja Lidak berupaya mendapatkan pengampunan dan tunduk kepada Belanda. Namun, menurut laporan Nederlandsche Staats-Courant: “Fettor Bakikooi tidak bersuara, dan selalu bersembunyi di hutan.”
Suratkabar Inggris, The London dan China Telegraph, edisi Jumat, 29 Maret 1861 memuat laporan berjudul, “The Dutch in Timor”, yang mengisahkan ekspedisi militer Belanda pada 1857 ke Takaip “untuk menghukum Bakikooi, Fettor dari Takaip”.
Baki Koi mempergunakan semua daya pada dirinya semata-mata untuk melawan pembentukan negara kolonial.
Pada 1949, di Pulau Bangka, hampir seabad sesudah Batin Tikal (bernama asli Ahmad atau Syeh Ahmad, pelanjut nasab Syeh Yusuf Al Makassari) memimpin perang lebih tiga dekade melawan kolonial, Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Haji Agus Salim memutus napas akhir kolonial Belanda. Di Pulau Bangka pula keputusan mengakhiri penjajahan kolonial Belanda melalui jalur perundingan disepakati PBB. Puncaknya adalah penyerahan dan pengakuan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia pada 27 Desember 1949.