Peran APBN di Tengah ”Fatherless Country”
Kealpaan peran seorang ayah dalam tumbuh kembang anak berdampak sangat besar bagi kemajuan generasi penerus di masa yang akan datang.
Dunia baru saja merayakan Hari Ayah pada 18 Juni lalu, dan beberapa waktu belakangan narasi peringkat Indonesia secara global kembali muncul di beberapa kanal berita. Indonesia menempati peringkat ke-3 fatherless country di dunia berdasarkan Global Fatherhood Index Report 2021.
Sering juga disebut dengan father hunger, kondisi ini berarti ketidakhadiran atau kurang maksimalnya peran ayah dalam proses tumbuh kembang anak. Mungkin bagi kita istilah ini kurang familiar jika dibandingkan dengan single mother atau dalam kebijakan berbasis jender juga belum spesifik membahas isu ini.
Namun, ternyata dalam skala global, negara-negara maju sudah mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan oleh fatherless atau father hunger, hingga mengeluarkan beberapa kebijakan publik untuk memitigasi risiko yang berpotensi muncul. Beberapa dampak akibat kealpaan peran seorang ayah dalam tumbuh kembang anak sudah disampaikan beberapa pakar, akademisi, dan bahkan para orangtua: mulai dari kurang percaya diri secara emosional, cenderung susah bergaul di dalam bersosialisasi, yang berdampak kurang berprestasi di pendidikan, sampai mengalami gangguan kesehatan seperti isu kesehatan mental.
Penyebab utamanya adalah kondisi ekonomi karena sebagian besar waktu ayah dilakukan untuk bekerja mencari nafkah. Selain itu, ada juga faktor psikologi, seperti persepsi pribadi ataupun yang mengakibatkan ayah memiliki pergeseran prioritas dengan hal lain. Ada juga rumah tangga yang mengalami perceraian, bahkan lahir tanpa kehadiran seorang ayah, sampai anak yang memilih untuk hidup terpisah dari orangtua.
Baca juga: Peran Ayah Semakin Pudar
Dunia menganggap ini sebagai isu yang serius karena dampaknya yang sangat besar bagi kemajuan generasi penerus di masa yang akan datang. Beberapa lembaga internasional kemudian datang dengan inisiatif seperti yang dilakukan Unicef melalui ”Responsible Fatherhood”, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan program ”Healthy Fathers, Healthy Families”, kemudian program ”Engaging Men and Boys” yang diusung The International Center for Research on Women’s ”Engaging Men and Boys”. Program-program ini bertujuan untuk mendorong penguatan peran ayah dalam keluarga melalui pelatihan, konseling, peningkatan kesadaran sampai memberikan rekomendasi kebijakan kepada para pembuat kebijakan.
Jika kita melihat praktik baik kebijakan publik, beberapa negara juga sudah melakukan intervensi untuk menekan fatherlessness ini. Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan Kanada, mengeluarkan kebijakan cuti melahirkan bagi ayah, ruang kerja yang fleksibel, sampai keringanan pajak. Hal yang sama juga terjadi di negara berkembang, seperti India, China, Nigeria, dan Kenya, yang menerapkan kebijakan yang relatif sama untuk mendukung peran ayah dalam keluarga.
Kebijakan
Lalu bagaimana posisi Indonesia saat ini dalam meredam potensi pelemahan kualitas anak-anak muda di masa yang akan datang akibat situasi ini? Melihat kembali visi Indonesia tahun 2045 untuk menjadi negara maju, salah satu gagasan utamanya adalah dengan sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang kecerdasannya mengungguli bangsa-bangsa lain di dunia. Pilar pertamanya berbunyi ”Pembangunan Manusia serta Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi”. Pemerintah menjadikan modal SDM menjadi sangat penting untuk diperhatikan setelah menimbang potensi dampak yang ditimbulkan apabila kondisi ini terus terjadi.
Sampai saat ini pemerintah belum secara spesifik mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan pengurangan dampak fatherlessness terhadap kualitas SDM maupun ekonomi Indonesia. Namun, kita dapat mengurai beberapa kebijakan existing, utamanya melalui instrumen APBN yang mengarah kepada akar permasalahan isu ini.
Sampai saat ini pemerintah belum secara spesifik mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan pengurangan dampak fatherlessness terhadap kualitas SDM maupun ekonomi Indonesia.
Dalam aspek pelindungan sosial, Kementerian Sosial memiliki program-program yang menyasar keluarga dan anak-anak termasuk yang mengalami fatherlessness, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-tunai (BPNT); Kemendikbudristek dengan Program Indonesia Pintar (PIP) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP); dan Kementerian kesehatan mengelola program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Berbagai kebijakan program pemberdayaan yang direalisasikan melalui beberapa kementerian juga turut dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi masyarakat yang menjadi alasan fatherlessness ini.
Di sisi ketenagakerjaan, RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) sudah menyinggung tentang hak cuti suami yang istrinya melahirkan, paling lama 40 hari, dengan tujuan untuk mendorong kehadiran ayah dalam masa-masa awal kelahiran bayi. BPJS Ketenagakerjaan juga dengan program perlindungan pekerja, seperti Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm), dan Jaminan Hari Tua (JHT), yang bertujuan untuk melindungi para pekerja.
Selain itu, yang menarik adalah aktor non-pemerintah juga turut peduli dengan dampak fatherless ini. Beberapa lembaga swadaya masyarakat, seperti Save the Children Indonesia, Yayasan Sahabat Anak Indonesia, Institut Ibu Profesional, sampai Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (PKKPS) Universitas Indonesia, memiliki program pendampingan anak tanpa ayah serta penelitian dan advokasi tentang pentingnya peran ayah bagi perkembangan anak. Di sektor privat, perusahaan, seperti Unilever, Telkom, Mandiri, dan Freeport, memiliki program untuk membantu pendidikan anak-anak yang kehilangan figur ayah.
”Policy gap”
Perlu tidaknya kebijakan yang mengarusutamakan isu ini tentu saja membutuhkan analisis serta kajian lanjutan yang lebih mendalam. Namun, berkaca pada kebijakan di negara lain, pemerintah perlu mencermati bahwa Indonesia masih memiliki policy gap di beberapa aspek mikro, misalnya program khusus yang membantu keluarga yang mengalami fatherlessness, program untuk meningkatkan keterlibatan ayah dalam kehidupan anak, pengaturan waktu kerja yang fleksibel untuk ayah, kebijakan yang mendukung pembagian tanggung jawab dalam keluarga, termasuk isu fundamental seperti akses ayah ke sumber daya, yaitu ekonomi dan pekerjaan.
APBN sebagai aktualisasi program atas strategi kebijakan yang dimiliki pemerintah menjadi salah satu instrumen untuk merespons isu ini. Tidak jarang APBN menjadi andalan dalam mengatasi berbagai permasalahan di negeri ini. Melihat kembali bagaimana baiknya Indonesia dalam penanganan pandemi sampai pemulihan ekonomi, APBN terbukti handal dalam melindungi masyarakat sekaligus menjaga tingkat kesejahteraan masyarakat atas dampak guncangan.
Baca juga: Optimalkan Peran Ayah dalam Pola Asuh Anak
Selanjutnya, pelaksanaan strategi kebijakan dalam APBN harus dilaksanakan dengan penuh kehati-hatian dan tanggung jawab. Transparansi, akuntabilitas program, dan kesinambungan fiskal harus terus dijaga agar program yang dirancang bisa terealisasi dengan baik sehingga memberikan dampak yang signifikan sekaligus menjaga integritas dan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah bahwa negara hadir di dalam setiap permasalahan yang berkembang di tengah masyarakat.
Selanjutnya, penyelesaian permasalahan ini membutuhkan kerja sama lintas sektor dan keilmuan sehingga membutuhkan koordinasi dan kolaborasi antarpihak. Perlu dicatat bahwa setiap negara memiliki tantangan dan masalah yang berbeda dalam mengatasi fatherlessness dan isu-isu keluarga lainnya. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan konteks sosial, budaya, dan kebijakan yang ada di setiap negara dalam mengatasi isu fatherlessness sehingga apa yang menjadi nilai di masyarakat tetap terjaga dengan dukungan yang penuh dari pemerintah.
Mikhael Silalahi, Analis Kebijakan Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
Instragram: mikedefrans