Guru, Komoditas, dan ”Marketplace”
”Marketplace” adalah representasi mekanisme pasar yang dioperasionalkan dengan logika kapitalisme. Jika ide ”marketplace” diterapkan, guru tentu saja sudah masuk dalam pusaran kapitalisme pendidikan yang licik.
Polemik dan keriuhan tentang wacana marketplace belum juga reda. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi akan mengganti istilah marketplace yang dianggap terlalu komersial, padahal substansinya tidak jauh berbeda.
Awalnya, Mendikbudristek Nadiem Makarim menggagas rencana membuat marketplace guru sebagai bagian dari kebijakan Merdeka Belajar. Kebijakan ini tentu saja melahirkan pro dan kontra di kalangan praktisi pendidikan, khususnya guru sebagai ”obyek” dari rencana kebijakan ini. Topik marketplace menjadi perbincangan utama di kalangan guru-guru.
Berbagai media sosial, terutama grup percakapan para guru, juga menyoroti polemik tentang gagasan ini. Rata-rata sikap guru sangat jelas, yakni menolak ide ini dan merasa terhina dengan ide yang menempatkan mereka dalam platform marketplace tersebut.
Secara prinsip, rencana kebijakan ini baru sebatas pernyataan lisan, tanpa ada dukungan bukti/naskah akademik yang mendukung kebijakan tersebut.
Baca juga : Menyoal ”Marketplace” Guru
Publik masih menunggu apa konstruksi argumentasi dan rasionalisasi dari platform marketplace tersebut. Publik mencoba bertanya-tanya sekaligus menebak apa yang dimaksud dengan marketplace dan bagaimana posisi guru dalam marketplace tersebut.
Dari pernyataan Mendikbudristek di media massa, marketplace guru merupakan sebuah rencana platform untuk mengakomodasi perekrutan guru yang masih menyisakan berbagai masalah terkait alokasi guru yang diperlukan oleh satuan pendidikan. Marketplace akan menjadi platform guru dan sekolah yang dipertemukan di media digital dan bisa saling merekrut di platform ini.
Kebutuhan alokasi dan perekrutan guru, sebagaimana dijelaskan Mendikbudristek, sering kali karena hal-hal yang tak terduga, seperti pindah sekolah, berhenti mengajar, pensiun, atau meninggal. Platform digital marketplace dalam pandangan Mendikbudristek dianggap solusi dari berbagai masalah itu.
Ilustrasi
Ide dasar
Ide marketplace sejatinya bisa diduga dari platform digital yang dimiliki ojek daring (online), termasuk yang sebelumnya dirintis Mendikbudristek. Idenya mengacu pada sebuah platform digital yang merepresentasikan guru dan sekolah secara virtual untuk melakukan transaksi data dan kebutuhan satu sama lain. Platform virtual itu diyakini Mas Menteri akan menjadi pangkalan data/pusat data guru dan sekolah.
Mendikbudristek mengungkapkan bahwa dalam marketplace untuk talenta guru akan ada suatu tempat di mana semua guru yang boleh mengajar masuk ke dalam sebuah basis data yang bisa diakses oleh semua sekolah yang ada di Indonesia. Jika kita melihat ke fenomena online shopping yang marak selama pandemi Covid-19, marketplace merupakan istilah yang tak asing bagi mereka yang terbiasa dan akrab dengan aktivitas jual beli daring.
Ide dasarnya, marketplace adalah platform virtual/digital tempat penjual berkumpul dan bisa menjual barang atau jasa kepada pelanggan. Mereka bertransaksi tanpa bertemu secara fisik. Dalam marketplace terdapat perusahaan-perusahaan yang menyediakan platform bertemunya penjual dan pembeli, di mana pembeli bisa melihat produk apa saja yang dijual dan perusahaan marketplace mengambil keuntungan melalui komisi setiap penjualan. Platform marketplace bisa berbentuk situs web (laman) atau aplikasi.
Beberapa contoh marketplace yang kita kenal baik, antara lain, Amazon, Rakuten, eBay, Shopee, Tokopedia, dan Bukalapak.
Ide dasarnya, marketplace adalah platform virtual/digital tempat penjual berkumpul dan bisa menjual barang atau jasa kepada pelanggan. Mereka bertransaksi tanpa bertemu secara fisik.
Dari komoditas ke komodifikasi
Mas Menteri sepertinya ingin membangun platform seperti beberapa contoh marketplace di atas. Ada beberapa alasan yang diduga menjadi dasar pemikirannya. Pertama, Mas Menteri memiliki pengalaman membangun platform digital melalui Gojek yang di sana pembeli dan penjual bisa bertemu.
Pembeli adalah konsumen yang menggunakan berbagai jasa yang ditawarkan Gojek, seperti ojek daring, makanan, pengiriman paket, pijit, hingga membersihkan rumah. Penjualnya adalah mitra Gojek dengan berbagai jasa yang ditawarkan. Mereka bertransaksi karena memerlukan jasa dan keuntungan satu sama lain. Satu kebutuhan jasa yang belum digarap adalah guru.
Ide ini tentu saja bagi pemain pasar seperti Gojek memiliki nilai keuntungan (advantage value) yang harus segera dieksekusi sebelum diambil pesaing bisnisnya. Mas Menteri memiliki kepercayaan diri (confident) untuk menggarap dan sekaligus mengeksekusi ide ini. Bisa saja dia menggandeng jaringannya untuk membangun platform ini.
Kedua, dalam kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka, Mas Menteri ingin membangun berbagai terobosan dalam pengembangan guru, salah satunya lewat idenya ”menjual” dan ”mempromosikan” guru dalam platform marketplace dengan dalih bagian dari menata talenta dan basis data guru.
Dengan mengacu kepada kedua argumentasi di atas, saya melihat bahwa ide marketplace ini menjadikan guru sebagai sumber komoditas yang diperdagangkan dalam transaksi komersial.
Guru sebagai komoditas dipahami sebagai barang dagangan yang layak diperjualbelikan dalam era pasar terbuka. Komoditas adalah barang atau jasa yang memiliki nilai ekonomi. Semua bisa bertransaksi secara komersial untuk memperjualbelikan guru. Ide marketplace adalah kemasan dari perdagangan global dengan sokongan teknologi digital.
Ide ini sekaligus mendegradasikan nilai luhur guru yang mendidik dan mencerahkan, menjadi nilai komoditas yang memiliki nilai ekonomi dan nilai jual. Jika kedua nilai ini dimiliki, hal itu bisa meningkatkan daya beli guru dalam transaksi komersial ini. Jika guru ditempatkan dalam marketplace, tentu saja akan mengambil keuntungan melalui komisi yang didapat di setiap transaksi.
Transaksi dalam hal ini adalah jika ada kebutuhan guru yang sesuai dengan kompetensi dan kemudian sebuah sekolah merasa cocok dengan kualifikasi itu, kedua belah pihak bisa sepakat bertransaksi. Bayangkan jika nanti harus ada laman dan aplikasi, siapa yang diuntungkan dengan layanan produk laman dan aplikasi ini? Semua operasionalisasi marketplace, termasuk pengelolaan laman, hingga metode pembayaran difasilitasi perusahaan penyedia marketplace.
Dari sini saja sudah kelihatan bagaimana motif keuntungan bisa diraih oleh pihak-pihak yang mendapatkan berkah marketplace ini. Apakah guru diuntungkan dalam hal ini? Tentu saja tidak. Guru hanya menjadi obyek dari pasar terbuka yang bernama marketplace. Guru hanya menjadi komoditas transaksional yang layak diperjualbelikan. Pertanyaan lain yang harus dijawab adalah bagaimana dengan guru-guru di luar Pulau Jawa, terutama di wilayah terdepan, terluar, tertinggal, atau wilayah perbatasan?
Ide marketplace adalah cermin dari lemahnya sensitivitas keindonesiaan yang berbasiskan kepulauan. Ide marketplace sesungguhnya adalah bias urban karena hanya menguntungkan mereka yang tinggal di perkotaan, sebaliknya guru-guru di perdesaan dan perbatasan tidak akan mengerti barang apa lagi yang mereka terima.
Baca juga : Ketika Guru Di-"Check Out" dari Marketplace
Kapitalisme guru
Penulis sudah menyebut di atas, guru menjadi komoditas, yaitu hasil kerja manusia berupa jasa yang sengaja diproduksi untuk dipertukarkan melalui mekanisme pasar. Komoditas guru juga menggambarkan adanya obyektivikasi, sekaligus pada saat bersamaan mematerialkan kerja sosial manusia.
Transaksi di marketplace mengacu pada beberapa dimensi komoditas, yaitu nilai guna, nilai tukar, dan harga. Dimensi ini akan mengacu pada latar belakang/portofolio dan kompetensi guru. Semakin kompeten dan memiliki portofolio bagus, harganya akan mahal dalam pasar digital tersebut. Guru harus memoles dirinya untuk meyakinkan calon pembeli agar bisa ”meliriknya” dan jika sepakat bisa bertransaksi untuk sepakat mendapatkan jasa dan tanda tangan untuk kontraknya.
Jika ide marketplace benar-benar akan dieksekusi, fenomenanya akan berubah menjadi komodifikasi guru, bukan lagi sekadar komoditas. Komodifikasi mengacu adanya transformasi nilai guna menjadi nilai tukar.
Dalam posisi sosial kultural terjadi degradasi nilai relasi sosial guru di masyarakat yang seharusnya personal, guyub, dan mendidik menjadi sekadar komoditas ekonomi yang didasarkan pada hubungan antarmanusia yang terjadi karena kepentingan ekonomi.
Di marketplace, guru bisa semakin berbobot nilai ekonominya karena sejalan dengan tesis mekanisme pasar, yaitu semakin banyak aktivitas manusia yang memiliki nilai moneter dan menjadi barang yang diperjualbelikan, akan semakin mendapatkan keuntungan.
Komodifikasi menjadikan guru yang tadinya bukan komoditas menjadi komoditas dalam transaksi pasar. Karl Marx dalam bukunya, Das Capital, secara kritis membahas komoditas sebagai topik yang penting dibahas karena terkait relasi produksi manusia, khususnya antara kelas pekerja dan kelas pemodal.
Topik komoditas penting dibahas juga karena menjadi bagian dari corak produk kapitalis (capitalism mode of production). Dalam pandangan Marx, komoditas merupakan masalah struktural dalam masyarakat kapitalis, berbentuk barang dan berkembang menjadi obyek yang mendasari hubungan seseorang.
Dalam posisi sosial kultural terjadi degradasi nilai relasi sosial guru di masyarakat yang seharusnya personal, guyub, dan mendidik menjadi sekadar komoditas ekonomi yang didasarkan pada hubungan antarmanusia yang terjadi karena kepentingan ekonomi. Dengan kata lain, marketplace adalah representasi mekanisme pasar yang dioperasionalkan dengan logika kapitalisme. Jika ide marketplace diterapkan, guru tentu saja sudah masuk dalam pusaran kapitalisme pendidikan yang licik.
Rakhmat Hidayat,Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Dewan Pakar Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G)