Dispensasi pernikahan di bawah batas usia minimum terus terjadi, bahkan di beberapa daerah sangat tinggi, meski undang-undang melarang.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi UU No 16/2019 menaikkan batas usia dapat menikah bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Batas usia minimum ini sama dengan batas usia minimum laki-laki. Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan Peraturan MA No 5/2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, yang mengatur dasar pemberian dispensasi adalah keputusan terbaik dan memenuhi hak anak.
Laporan Studi Dispensasi Kawin oleh Plan Indonesia menyebutkan, terjadi praktik dispensasi kawin di Pengadilan Agama Kabupaten Lombok Barat dan Pengadilan Agama Kabupaten Sukabumi tiga tahun terakhir, yakni hakim mengabulkan lebih dari 90 persen permintaan dispensasi kawin (Kompas, 20/6/2023). Pertimbangan hakim ialah adanya alasan mendesak, antara lain kehamilan, mencegah kehamilan sebelum perkawinan, dan tradisi daerah.
Latar belakang pengetahuan hakim menentukan keputusan dispensasi walaupun tidak ada pemantauan bahwa anak mendapatkan hak-haknya setelah terjadi perkawinan. Temuan Plan Indonesia tersebut memperlihatkan situasi sebagian anak-anak Indonesia masih memprihatinkan.
UU Perlindungan Anak menetapkan batas usia anak adalah 18 tahun. Pada usia 19 tahun, seseorang dianggap telah matang secara fisik dan kejiwaan. Sementara perkawinan pada usia anak meningkatkan risiko tumbuh kembang anak dan tak terpenuhinya hak dasar anak, seperti perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak atas kesehatan, terutama kesehatan reproduksi, hak sosial dan sipil anak, serta hak pendidikan.
Indonesia tengah menikmati bonus demografi, suatu keadaan jumlah tenaga kerja lebih besar daripada jumlah penduduk yang tak produktif. Bonus demografi menjadi salah satu penggerak penting pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan di banyak negara. Syaratnya, tenaga kerja harus berkualitas: sehat jiwa dan raga serta memiliki kecerdasan memadai.
Pernikahan usia anak meningkatkan kerentanan anak perempuan dan melanggengkan siklus kemiskinan. Anak yang lahir dari pernikahan usia anak umumnya memiliki pertumbuhan fisik, jiwa, dan kecerdasan tidak optimum.
Sistem patriarkhi, budaya lokal, kemiskinan, dan rendahnya pendidikan menjadi beberapa penyebab perkawinan anak. Untuk mengatasinya, pemerintah pusat (Kementerian Dalam Negeri) harus memastikan pemimpin daerah hingga tingkat desa melaksanakan undang-undang yang melarang perkawinan anak; MA mengawasi hakim di pengadilan agama agar menolak permintaan dispensasi perkawinan; serta Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mengintegrasikan pencegahan perkawinan anak di dalam kurikulum sekolah umum dan pesantren.