Digitalisasi mengubah preferensi sistem kerja. Berbeda dengan generasi sebelumnya, generasi Z cenderung memilih sektor "freelancer" atau bisnis yang dikelola sendiri. Negara perlu merespons dengan cepat fenomena ini.
Oleh
TANTAN HERMANSAH
·4 menit baca
Salah satu dampak dari fenomenadigitalisasi dalam berbagai bidang kehidupan manusia adalah terjadinya perubahan pilihan model pekerjaan oleh entitas generasi, terutama mereka yang dikategorikan sebagai Gen Z atau Gen Zers.
Kehadiran internet memang bukan hanya telah memberangus beberapa jenis pekerjaan yang selama ini menjadi tumpuan beberapa kalangan, tetapi juga memunculkan peluang-peluang baru dalam bidang pekerjaan lain. Peluang-peluang ini bukan hanya merevolusi tata kerja dan sistem kerja, melainkan kesejahteraan orang yang bekerja pada sektor tersebut.
Merujuk survei Fiver Internasional yang menggali preferensi kerja pada Gen Z ini, ditemukan bahwa 40 persen dari mereka memilih bekerja pada sektor freelancer atau bisnis yang dikelola sendiri. Artinya, dalam 10 atau 15 tahun ke depan, kita akan mendapatkan sekelompok masyarakat yang membasiskan pendapatan kepada kegiatan yang bersifat dinamis, tidak terikat, dan bebas.
Berikut adalah sejumlah pekerjaan yang bisa dilakukan secara freelancer: ahli SEO freelance, seniman 3D, manajer media sosial, editor audio-visual, penasihat hukum, penerjemah, pembelajaran online, penulisan konten, pengembangan web, fotografer freelance, operator entri data, desain kreatif, desain grafis, dan sebagainya.
Bagaimana dampak sosiologis perubahan preferensi sistem kerja tersebut?
Pertama, institusi pemberi atau penyedia kerja akan melakukan adaptasi besar-besaran pada tata kelola dan sistem kerja. Hal ini tentu saja sebagai konsekuensi dari fenomena para profesional untuk bidang-bidang tertentu lebih memilih bekerja sebagai ”pekerja bebas”.
Perubahan kelembagaan ini jelas akan memberikan efek domino yang cukup mendasar, seperti ketersediaan tenaga kerja profesional yang melekat di institusi penyedia pekerjaan akan menurun drastis. Sementara tenaga yang tersedia bisa jadi sangat terbatas pada mereka terkategori biasa.
Institusi pemberi atau penyedia kerja akan melakukan adaptasi besar-besaran pada tata kelola dan sistem kerja.
Kedua, perubahan pola-pola kerja dan bentuk-bentuk pencarian nafkah ini pun akan berdampak kepada banyak hal lain dalam tatanan relasional mulai dari hubungan-hubungan ketetanggaan, dalam keluarga, dan sebagainya. Sebab, kita tahu bahwa sistem kerja yang selama ini berlaku pada kebanyakan masyarakat telah berimplikasi kepada sistem sosial sehari-hari.
Dengan pola kerja yang baku dan sistem kerja yang umumnya berlaku pada sebagian besar orang, hubungan-hubungan komunitarianisme berbasis tetanggaan bisa di-setting sedemikian rupa. Misalnya pertemuan warga, arisan warga, sampai kepada kerja bersama antarwarga. Namun, dengan pola freelance, bisa jadi secara perlahan akan berubah karena pola yang acak akan menghasilkan sistem baru yang terlihat lebih fleksibel, tetapi di sisi lain susah menemukan irisan untuk mempertemukan itu.
Ketiga, kehadiran generasi freelance yang bisa jadi jumlahnya cukup besar karena didominasi oleh kelompok cakap (belum sampai ke taraf profesional), tentu akan sedikit banyak mengganggu sistem pendidikan baku yang selama ini menjadi acuan orangtua dan juga para siswa. Sebab, standar kecakapan seseorang bukan lagi pada kurikulum yang telah diselesaikannya, tetapi justru pada aspek output yang bisa ditunjukkan olehnya.
Misalnya, seseorang dianggap memiliki kecakapan yang baik di bidang desain, bukan lagi diukur kepada kemampuannya menyelesaikan berjam-jam mata pelajaran di bidang itu. Namun, kecakapannya justru akan dilihat pada kemampuannya ketika ia dites untuk membuat sebuah desain yang sesuai dengan permintaan pemberi kerja.
Dengan pola dan mekanisme seperti itu, seseorang bisa diberikan keleluasaan untuk menyelesaikan tahapan belajar, tanpa harus selalu menggunakan pendekatan konvensional seperti hadir di kelas atau menyelesaikan level pendidikan tertentu.
Perubahan sosial
Tentu saja ketiga dampak sosiologis yang sudah dijelaskan di atas bisa diperdalam lebih jauh dalam konteks perubahan sosial, yaitu perlunya negara merespons dengan secara cermat hadirnya entitas freelance dalam konteks institusi pemberi kerja dan penerima pekerjaan. Sebab, kalau hal ini tidak direspons dengan baik, suatu saat institusi pemberi kerja formal akan kehilangan tenaga-tenaga cakap di bidang tertentu karena mereka (para tenaga cakap) tidak lagi tertarik dengan sistem kerja baku selama ini.
Selanjutnya, perlu ada mekanisme pemberian insentif yang lebih kepada entitas ini untuk mengikat mereka pada institusi pemberi kerja formalnya. Sebagai contoh, pada institusi kerja berbasis anggaran pemerintah, pola penghargaan kepada kelompok profesional yang freelance seperti ini, jika dia bekerja full time di lembaga tersebut, kadang-kadang dianggap ”tidak dihargai” secara profesional. Padahal, di sisi lain mereka sebetulnya mengharapkan karier kerja yang tersistematis sehingga bisa diproyeksikan untuk memenuhi target-target kehidupannya.
Seperti sudah disebutkan di atas, generasi freelance ini terdapat pada kelompok generasi Z. Kelompok ini memang dikenal sebagai generasi yang melek teknologi. Apalagi, diimbangi dengan aksesibilitas pada media internet yang cukup besar dan mudah sehingga mereka pun dengan mudah menyerap beragam informasi dan ilmu pengetahuan di ruang itu.
Selain itu, generasi Z dikenal sebagai kelompok yang senang belajar pada hal-hal baru, meskipun mungkin kadang-kadang dengan sangat mudah juga mereka meninggalkan hal-hal tersebut jika tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Kemudian dari sisi lingkungan kerja, generasi Z adalah kelompok yang menyenangi sistem kerja yang memberikan mereka keleluasaan untuk bertumbuh dan berkembang secara lebih kreatif, selain menyukai tantangan baru untuk dicari solusinya.
Maka, wajar jika kemudian banyak institusi yang berbasis sistem teknologi informasi, merangkul mereka untuk bekerja di dalamnya. Umumnya kenyamanan diciptakan karena institusi kerja ini tidak memberikan tekanan pada beberapa aturan baku yang umumnya ada di organisasi konvensional, seperti kehadiran tepat waktu jam kerja terbatas dan lain sebagainya.