Pandemi Mempercepat Perubahan Budaya Kerja ala Milenial
Budaya kerja fleksibel diprediksi bakal berlanjut seiring dominannya generasi milenial di dunia kerja saat ini.
Lanskap dunia kerja berubah seiring dengan penyebaran Covid-19 ke 218 negara dan wilayah. Banyak perusahaan kemudian memutuskan untuk menerapkan sistem kerja jarak jauh (remote working) sebagai bentuk adaptasi terhadap pandemi. Budaya kerja fleksibel diprediksi bakal berlanjut seiring dominannya generasi milenial di dunia kerja saat ini.
Pandemi Covid-19 membuat 2020 menjadi tahun bagi dunia untuk melakukan aktivitas dari jauh, termasuk bekerja. Menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO), sekitar 68 persen dari total angkatan kerja dunia, tinggal di negara-negara yang menerapkan penutupan tempat kerja saat pandemi.
Banyak perusahaan yang menjajaki kerja dari rumah sebagai pengaturan kerja sementara atau alternatif sistem kerja. Di Amerika Serikat, survei yang dilakukan perusahaan teknologi OWL Labs berjudul State of Remote Work 2020 menemukan bahwa pandemi mendorong hampir 70 persen pekerja di AS menjalankan sistem kerja jarak jauh.
Pengertian sistem kerja ini adalah praktik seorang karyawan yang bekerja di rumah mereka, atau di beberapa tempat lain yang bukan merupakan tempat bisnis perusahaan atau lembaga yang biasa. Definisi yang hampir senada dari ILO adalah pengaturan kerja di mana seorang pekerja memenuhi tanggung jawab penting dari pekerjaannya sambil tetap di rumah dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.
Sistem kerja jarak jauh bukanlah fenomena baru. Data Biro Sensus AS menyebutkan sebanyak 4,1 persen pekerja di AS sudah menerapkan kerja jarak jauh pada 2008. Jumlahnya meningkat menjadi 5,3 persen pada 2018. Sesudah pandemi, pola kerja ini diperkirakan akan terus berlangsung.
Sisi lain survei State of Remote Work 2020 menemukan apabila pandemi korona berakhir, sebanyak 77 persen responden pekerja di AS berharap tetap meneruskan budaya bekerja jarak jauh. Alasannya, bekerja dengan kondisi fleksibel membuat kehidupan lebih bahagia. Pasalnya, dengan bekerja di luar kantor, waktu dan tenaga untuk berkomuter dapat dialokasikan pada aktivitas lain, misalnya berolahraga atau menyalurkan hobi.
Mengingat semakin banyak pekerjaan yang beralih ke sistem kerja jarak jauh selama krisis Covid-19, banyak karyawan usia milenial dan generasi Z juga mengalami pola kerja "fleksibel" ini. Menurut Deloitte Global Millennial Survey 2020, perubahan pola kerja ke sistem jarak jauh mendapat apresiasi dari pekerja muda ini.
Sebanyak 60 persen karyawan muda tersebut mengungkapkan bahwa mereka lebih menyukai pilihan untuk bekerja dari jarak jauh setelah krisis pandemi dan menggunakan telekonferensi melalui video daripada harus ke kantor.
Beberapa manfaat langsung yang dirasakan dengan sistem kerja jarak jauh menghemat biaya transportasi, pakaian, dan biaya laundry. Namun di luar faktor ekonomi, sisi psikologis juga dirasakan karyawan dari generasi milenial. Manfaat lain kerja jarak jauh adalah menciptakan keseimbangan kerja dan hidup yang lebih baik.
Enam ciri khas
Menurut pengelompokkan generasi yang dibuat Gallup, kaum milenial lahir antara tahun 1980 hingga 1995. Pada 2018 sebanyak 1,8 miliar jiwa penduduk dunia merupakan generasi milenial. Angka ini mencapai seperempat dari populasi dunia.
Di Indonesia, berdasar data kependudukan dari BPS, generasi Y atau milenial pada 2019 mencakup sekitar 23 persen dari total 268 juta penduduk. Generasi ini sekarang berada pada rentang usia 24-39 tahun. Artinya menjadi bagian dari usia produktif dan sedang meniti karir di berbagai bidang pekerjaan.
Porsi generasi muda dalam angkatan kerja akan lebih besar lagi jika memasukkan generasi selanjutnya, yakni generasi Z pada kelompok ini. Populasi generasi Z di Indonesia sebanyak 67 juta jiwa. Angka ini lebih tinggi dibanding generasi Y yang berjumlah 62 juta jiwa. Dengan demikian, hampir setengah dari penduduk Indonesia merupakan generasi muda dari dua kelompok ini.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa milenial merupakan kelompok dominan dari populasi dunia termasuk di Indonesia. Tidak heran jika beberapa tahun belakangan sudah terjadi perubahan di beragam aspek kehidupan yang dimotori generasi ini.
Dunia kerja termasuk dalam ranah yang mulai terbentuk ala milenial. Generasi ini memiliki ciri khas yang membedakan dengan generasi sebelumnya. Generasi pendahulu paling dekat yakni generasi X (kelahiran 1965-1979) yang kini sedang berkolaborasi dengan generasi Y di tempat kerja.
Ciri khas generasi Y dipetakan oleh Gallup dalam publikasinya yang berjudul How Millenials Want to Work and Live (2016). Tujuan pemetaan ini untuk merancang bentuk budaya baru di lingkungan kerja untuk mengakomodasi talenta dan karakter kepribadian milenial. Terdapat enam nilai dan keyakinan yang berbeda antara milenial dengan generasi sebelumnya menyangkut aspek pekerjaan.
Pertama, para milenial mengedepankan manfaat bekerja serta makna yang didapatkannya. Sedangkan, generasi pendahulu menitikberatkan pada besaran nilai gaji yang diperoleh. Bukan berarti milenial tidak peduli nilai pendapatan. Generasi Y cenderung mau menegosiasikan nilai gaji serta jenjang karir yang ditukar dengan pengalaman bermakna.
Nilai kedua yakni soal pengembangan diri. Milenial mencari peluang untuk mengembangkan diri dari pekerjaan yang dijalani. Misalnya mendapatkan pelatihan, keterampilan baru dalam rangka meningkatkan kapasitas diri.
Generasi sebelumnya fokus pada kepuasan pada karir. Misalnya dinilai dari jabatan yang diperoleh dalam waktu tertentu. Atau capaian yang berada dalam lingkup karir profesionalnya. Kaum milenial lebih memilih untuk mengembangkan diri dalam beragam bidang.
Aspek ketiga yakni relasi antara atasan dengan stafnya. Pada model kepemimpinan gaya lama, atasan bertindak sebagai bos dan cenderung berkomunikasi searah. Relasi yang terjadi adalah antara yang memerintah dan pelaksana.
Generasi Y tidak bisa bekerja di lingkungan yang demikian. Hirarki atasan dan staf tetap ada, namun komunikasi yang dibangun perlu interaktif dan pimpinan berperan sebagai mentor. Manusia milenial membutuhkan tanggapan dan masukan secara terus menerus supaya dapat memacu diri bekerja lebih baik.
Nilai keempat yaitu terkait rutinitas perusahaan gaya lama, seperti evaluasi tahunan atau semesteran. Hal ini ada kaitan dengan kondisi di era digital yang serba cepat berubah. Milenial mengharapkan adanya komunikasi dan interaksi yang intensif terkait segala rencana dan perubahan yang terjadi. Kegiatan evaluasi tidak lagi dilakukan dalam jangka beberapa bulan. Namun dilakukan setiap kali ada kesempatan diskusi terkait pekerjaan yang sedang berlangsung.
Prinsip kelima yaitu para milenial mengutamakan potensi bukan mempersoalkan kelemahan. Logika yang dibangun oleh pengelola sumber daya manusia (SDM) perusahaan model lama yakni pada membenahi kekurangan karyawannya.
Sedangkan, model perusahaan milenial adalah fokus pada pengembangan potensi yang ada di setiap individu. Terakhir, yang keenam adalah keseimbangan antara dunia kerja dan kehidupan pribadi.
Kondisi ini sering disebut work-life balance. Pada generasi sebelumnya, kondisi “gila kerja” terlihat dari aktivitas seseorang yang menghabiskan waktu bekerja di kantor lebih panjang dari ketentuan. Kondisi ini biasanya disertai dengan prestasi yang menonjol dari orang tersebut.
Aspek ini sangat berbeda dengan kaum milenial. Generasi Y mementingkan keseimbangan antara dunia profesional dengan pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani sebagai pribadi manusia. Flesibilitas jam kerja menjadi faktor kunci terciptanya work-life balance ini. Sebagai gantinya, milenial secara fleksibel akan menangani urusan pekerjaan nyaris kapan saja selama masih dianggap berimbang.
Kesiapan perusahaan
Seiring dominannya generasi milenial di dunia kerja saat ini, perusahaan perlu beradaptasi menangkap karakter kerja mereka. Adaptasi ini akan menentukan minat pekerja muda ini bergabung untuk bekerja.
Apabila tidak berhasil menarik minat kelompok milenial untuk bergabung, maka kesempatan meregenerasi perusahaan akan terlewatkan. Menurut laporan Gallup, kerugian perusahaan di AS akibat turnover atau keluar-masuk karyawan milenial mencapai 35,5 miliar dollar AS tiap tahun.
Kondisi ini menjadi indikator bahwa apabila sebuah perusahaan tidak tepat menangani karyawan milenial, maka akan timbul kerugian cukup besar. Mulai dari biaya perekrutan, pelatihan, hingga waktu yang dihabiskan untuk mengawali dengan karyawan pengganti. Lantas, hal apa yang perlu dipersiapkan perusahaan untuk menghadapi tantangan ini?
Merujuk pada hasil Deloitte Indonesia Millennium Survey 2019: Working for Reasons of Status, terdapat temuan menarik yang dapat dijadikan acuan untuk mengejar ketertinggalan. Terdapat 53 persen milenial yang mengharapkan fleksibilitas dalam hal jam kerja. Para pekerja milenial mengharapkan dapat bekerja dimana saja dan kapan saja selama dapat memenuhi kewajiban yang disepakati.
Kemudian terdapat 70 persen responden yang mengaku butuh fasilitas pembelajaran dan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas serta kemampuan karyawan. Saat ini di era ekonomi 4.0 sangat cepat terjadi perubahan. Pergerakan tren, metode bekerja, dan distribusi informasi terjadi begitu cepat. Kaum milenial berharap supaya perusahaan memberi fasilitas untuk selalu dapat berlari seiring dengan irama perubahan.
Terakhir, sebanyak 59 persen responden mengharapkan pola komunikasi yang mudah dan terbuka antar individu. Terutama dalam relasi antara atasan dengan staf. Interaksi dan pemberian umpan balik (feedback) merupakan kebutuhan milenial untuk dapat meningatkan performa kerjanya.
Dengan memahami gambaran tentang karakter khas milenial, perusahaan dapat merumuskan strategi dan metode untuk mempertahankan mereka bekerja secara langgeng. Hadirnya pandemi Covid-19 semakin mendesak adanya perubahan budaya bekerja ala milenial. Menyerap kreativitas dan semangat milenial dengan membangun budaya kerja baru dapat dilakukan untuk bertahan di masa krisis ini hingga di masa mendatang. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Orientasi Dunia Kerja Milenial