Cerita Pekerja Gen Z, Bekerja Tak Melulu Soal Uang
Gen Z atau generasi yang lahir tahun 1997-2012 menjadi angkatan kerja yang langsung bekerja jarak jauh yang jadi normal baru saat pandemi. Sejumlah pekerja dari kelompok ini menceritakan pandangannya terkait dunia kerja.
Dua tahun pandemi Covid-19 telah membuat cara bekerja jarak jauh yang mulanya dianggap sebagai pengalaman unik kini menjadi suatu pengalaman yang lumrah. Ketika sejumlah pucuk manajemen perusahaan masih berusaha untuk menggabungkan pola bekerja masa lalu dengan pola baru yang didorong pandemi, para lulusan sarjana perguruan tinggi yang berlatar belakang generasi Z masuk menjadi angkatan kerja pertama kalinya. Mereka pun langsung mengalami normal baru pandemi Covid-19.
Kompas berbincang secara daring dengan sepuluh pekerja berlatar belakang generasi Z atau anak muda yang lahir pada 1997–2012, akhir Februari 2022. Mereka lulus kuliah strata satu antara kurun waktu pertengahan 2020 dan akhir tahun 2021 atau saat Covid-19 sudah dinyatakan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Maret 2020. Di antara mereka ada yang sudah bekerja dan ada pula yang baru saja mendapat pekerjaan pada awal tahun 2022.
Berbicara mengenai ekspektasi dunia kerja seusai lulus kuliah di tengah pandemi Covid-19, Martin (24) yang kini bekerja sebagai karyawan swasta perusahaan konsultan ketenagakerjaan di Jakarta, bercerita, dirinya hanya tebersit bisa lekas mendapatkan pekerjaan seusai lulus tahun 2020 dan dapat rekan kerja yang menyenangkan. Dia menyadari bahwa pandemi Covid-19 merupakan situasi sulit. Menurut dia, hal itu merupakan prioritas dibandingkan dengan langsung fokus memikirkan proyeksi karier masa depan.
Hal senada disampaikan oleh Eliza Maharani (23) yang lulus akhir tahun lalu. Dia mengambil jurusan manajemen bisnis saat kuliah strata satu. Ketika kuliah, dia sempat berangan-angan dapat bekerja di perusahaan mapan dan regulasi hubungan industrial berjalan jelas. Namun, idealisme itu coba dia kompromikan ulang. Eliza merasa, tempat bekerjanya sekarang masih berstatus usaha rintisan. Kemudian, pihak manajemen sering kali membuat peraturan yang pelaksanaannya berbeda.
”Di tengah situasi pola bekerja normal baru seperti sekarang, hal yang dibutuhkan karyawan adalah komunikasi yang transparan dari atasan, seperti hak dan kewajiban. Apalagi sebagai angkatan kerja baru, aku amat membutuhkan hal itu,” katanya.
Bagus (23) yang lulus dari salah satu universitas Islam di Malang (Jawa Timur) pada Agustus 2021 mengaku baru dapat pekerjaan awal Februari 2022. Selama menganggur enam bulan, dia sempat mengirim lamaran kerja ke ratusan perusahaan dan tidak diterima. Dia sempat tidak percaya diri dan hilang semangat.
Saat ini, Bagus berstatus karyawan di salah satu kantor jasa penilai publik di Malang. Dia dituntut bisa mengoperasikan perangkat lunak untuk menggambar dua dan tiga dimensi (AutoCad software) selain bidang keuangan yang pernah ia tekuni saat kuliah. Menurut dia, tantangan baru itu bukan sesuatu yang ditakuti. Apalagi, rekan kerja di generasi sebelumnya membantunya belajar.
Cerita senada disampaikan oleh Puspa (24) yang kini bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan manufaktur yang berpendapat, dia dan teman-temannya yang berasal dari generasi Z merupakan anak muda yang cepat menangkap informasi. Ini diduga karena dia dan satu generasi lahir ketika internet telah tumbuh pesat. Hanya saja, mereka cenderung mudah patah semangat ketika gagal. Oleh karena itu, butuh rekan kerja yang mengayomi.
Puspa berlatar belakang pendidikan pertanian, lalu diterima kerja di perusahaan manufaktur yang memproduksi mesin dan produk. Dia tidak berkeinginan pindah karena perusahaan tempatnya bekerja itu mengayomi dan memberikan kesempatan untuk belajar.
Gustaf (24) juga memiliki pandangan senada. Dia memang berstatus karyawan tetap di salah satu perusahaan konsultan kehumasan, tetapi saat bersamaan dia juga mengambil kerja lepasan. Menurut dia, hal itu dilakukan karena pihak manajemen tempatnya bekerja tidak memberikan kepercayaan dan kesempatan luas untuk perkembangan kariernya.
”Apresiasi kecil itu penting. Aku merasa tidak mendapatkannya meski aku memperoleh pendapatan yang menarik. Malahan, aku sering mendapati atasan yang suka pakai pendekatan micro management (kontrol berlebihan),” kata Gustaf.
Terkait upah, menurut Tari (24), apabila dihadapkan pada pilihan bekerja di perusahaan yang memberikan gaji di atas upah minimum tetapi beban kerja tinggi atau gaji sesuai upah minimum dan keseimbangan hidup terpenuhi, dia memilih opsi kedua. Pada saat lulus tahun 2020, dia memang sudah memutuskan ingin bekerja di kantor yang memberikan keseimbangan hidup bagi karyawan.
Tari beralasan, kesehatan merupakan prioritas. Ketika individu mengabaikan kesehatan demi alasan mengejar nilai gaji tinggi, individu bersangkutan sakit di kemudian hari yang dapat berdampak kepada kariernya.
”Kalau ada opsi berupa upah minimum terpenuhi, jam kerja fleksibel, dan atasan yang mau membimbing, aku akan selalu pilih opsi itu,” kata Tari. Saat ini, Tari bekerja sebagai karyawan di perusahaan rekrutmen tenaga kerja di Jakarta.
Naufal (22), karyawan swasta di Malang, berpendapat sama. Kesejahteraan, merupakan hal utama, tetapi mesti diikuti oleh adanya program pengembangan sumber daya manusia secara terstruktur. Dia menilai suasana tersebut mampu menekan kecenderungan pekerja muda ”kutu loncat”.
Baca juga: Mengomunikasikan Opsi Pola Bekerja yang Ideal
Perubahan
Sebagai generasi yang lahir di tengah pesatnya inovasi digital dan gempuran informasi, pekerja berlatar belakang generasi Z merasa mudah menemukan informasi lowongan kerja melalui media sosial. Walaupun pada saat bersamaan, sebagian di antara mereka mudah merasa rendah diri dan memiliki perasaan tidak aman (insecure).
Bagus merasakannya ketika enam bulan menganggur. Ketika beberapa temannya yang sudah lebih dulu dapat pekerjaan pamer di media sosial, dia sempat merasa sedih.
Tari berpendapat, ada kecenderungan anak muda yang semula sudah menetapkan tujuan karier berubah haluan karena melihat tren di media sosial. Misalnya, ada anak muda yang punya akun alter di media sosial lalu mencurahkan pengalaman suka-dukanya bekerja di perusahaan sektor tertentu, lalu berkembang menjadispill the tea atau meminta gosip atau fakta dari suatu isu.
Ridho (23) juga menceritakan fenomena serupa. Di Tiktok, dia pernah mendapati konten daily life karyawan yang diserbu komentar warganet menggunakan kata-kata ”iri” atau ”insecure”.
”Media sosial membuat anak muda seperti kami jadi suka membanding-bandingkan pencapaian sendiri dan orang lain,” kata Ridho. Dia sekarang berprofesi sebagai akuntan di perusahaan pengadaan barang dan jasa.
Menurut dia, situasi eksternal seperti itu menambah tekanan angkatan kerja baru di tengah pandemi Covid-19. Padahal, di dalam kantor, dia harus beradaptasi kemelut hubungan antarrekan kerja lintas generasi dan jenjang struktural.
Bagi Fauzan (22), dengan adanya media sosial, dia menjadi tahu tren-tren kompetensi kerja yang dibutuhkan industri kekinian. Dari situ, dia tertantang untuk terus mengasah keahlian agar tetap relevan, daripada terpuruk sedih dan tidak berbuat apa-apa. Dia berlatar belakang sekolah kejuruan di bidang teknik mesin. Kini, dia tengah bekerja sambil kuliah sarjana di bidang teknologi informasi.
Sementara menurut Andre (24), karyawan bidang teknologi informasi di salah satu lokapasar nasional, berpendapat, dari media sosial ketahuan tren pasar kerja cepat berubah. Dia memilih belajar dan paham regulasi ketenagakerjaan. Dengan demikian, dia tahu hak-hak yang harus dipenuhi perusahaan.
Potensi
Managing Director PT Headhunter Indonesia Haryo Utomo Suryomarto berpendapat, angkatan kerja apa pun generasinya butuh ruang untuk memaksimalkan potensi mereka. Kebutuhan pengembangan potensi ini semakin disuarakan oleh generasi muda.
”Dalam berbagai kesempatan berbincang dengan sejumlah pemimpin perusahaan di Indonesia, kami selalu dorong agar mereka memberikan ruang, kesempatan, dan waktu kepada pekerja muda untuk bertumbuh. Siapa pun pekerja muda, baik itu generasi Y maupun Z, punya potensi harus didorong maju,” ujar Haryo.
Dia juga menyarankan, di tengah situasi ketidakpastian akibat pandemi Covid-19 dan sudah muncul angkatan kerja generasi baru, manajemen perusahaan harus semakin membangun ruang komunikasi dengan karyawan. Melakukan generalisasi karakter suatu generasi karyawan bukanlah langkah yang bijak.
Harvard Business Review dalam artikel ”Harnessing the Power of Age Diversity” (8/3/2022), mengatakan, ketika orang berbondong-bondong beraktivitas daring selama pandemi, generasi yang berbeda cenderung menghabiskan waktu di platform yang berbeda. Bagi sebagian besar karyawan gen Z yang bekerja dari jarak jauh untuk kehidupan profesional, mereka sering kali merasa terputus dari rekan kerja dan diremehkan oleh rekan satu tim mereka yang lebih tua. Ketegangan ini telah menyebabkan penurunan lebih lanjut dalam kepercayaan antargenerasi. Salah satu saran di artikel itu, anggota tim antargenerasi harus percaya bahwa mereka memiliki sesuatu untuk dipelajari dari rekan kerja di kelompok usia yang berbeda.
Terkait kompetensi atau kapasitas lulusan, Ketua Umum Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Jamal Wiwoho, saat dihubungi, Sabtu (12/3/2022) malam, berpendapat, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi terus mendorong aktif perguruan tinggi dan dunia usaha berkolaborasi. Profesional dari kalangan industri bisa mengajar di kampus, begitu pula sebaliknya. Mahasiswa juga didorong magang di industri. Hal-hal itu bertujuan mengikis kesenjangan keahlian yang dihasilkan dunia pendidikan dan kebutuhan industri.
Perguruan tinggi sekarang harus memenuhi Indikator Kinerja Utama yang diberikan pemerintah. Mereka harus memantau sejauh mana lulusan diterima kerja, melanjutkan studi, ataupun berwirausaha. Dengan cara ini, perguruan tinggi menjadi tahu persebaran alumni.
Baca juga: Pola Hidup Rebahan, antara Kesehatan dan Produktivitas