Pemakaian predikat ”budayawan” sering kali mengalami penurunan makna.
Oleh
INDRA TRANGGONO
·2 menit baca
Kata budayawan, yang mulai muncul pada 1980-an, kini semakin sering digunakan media arus atas dan arus bawah (media sosial) untuk menyebut atau memberi predikat kepada para tokoh. Tokoh dimaksud ialah mereka yang dianggap memiliki kapasitas kemampuan dalam gagasan yang terkait dengan persoalan umum, terutama seni, budaya, sosial, filsafat/etika/ideologi, sejarah, dan politik.
Namun, belakangan, penggunaan istilah budayawan sering kurang tepat: asal orang itu populer dan sedikit ”berbau” seni dan budaya, ia disebut ”budayawan”. Ini terutama terjadi di media sosial. Betapa longgarnya definisi budayawan. Bisa jadi, ketika bingung menyematkan predikat pada seorang tokoh, seseorang dengan gampangnya ia menggunakan sebutan ”budayawan”.
Sastrawan kritikus Nirwan Dewanto—yang juga sering disebut sebagai budayawan—pernah bilang, istilah budayawan tidak ada di dunia Barat (Eropa dan Amerika). Itu khas Indonesia yang maknanya pun masih belum jelas dan tepat.
Baiklah. Mari kita buka KBBI. Di sana dikatakan arti budayawan adalah ’orang yang berkecimpung dalam kebudayaan; ahli kebudayaan’. Di Indonesia ada beberapa tokoh yang dianggap sebagai budayawan. Sebut saja, antara lain, Franz-Magnis Suseno, Emha Ainun Nadjib, Abdul Hadi WM, Nurcholish Madjid, WS Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Umar Kayam, dan Nugroho Notosusanto.
Dalam praktik berbahasa atau berkomunikasi sosial, predikat budayawan jangan sampai mengalami penurunan makna. Karena itu, kata budayawan harus digunakan berdasarkan minimal dua pertimbangan.
Pertama, nilai eksistensial, ketokohan yang erat atau bahkan luluh dengan masalah kebudayaan, baik dalam cakupan ide, sistem, ekspresi/perilaku, karya, maupun nilai. Artinya, seluruh ide, perilaku, ekspresi, karya, dan nilai dari para tokoh selalu menjadi bagian integral kebudayaan.
Kedua, nilai aktualisasi budayawan yang memberi makna bagi kehidupan. Sejatinya, para budayawan tak sebatas penggagas, tetapi juga pelaku filantropi dan pejuang nilai-nilai kebudayaan serta kemanusiaan. Dengan karyanya, mereka melakukan penebusan kultural demi terwujudnya nilai-nilai ideal kehidupan. Penuh komitmen dan integritas.
Hal itu, antara lain, tecermin pada penguatan masyarakat sipil yang berbasis pada keluhuran nilai-nilai peradaban bangsa. Contohnya, Romo YB Mangunwijaya. Pada era Orde Baru, ia dengan gigih dan gagah membela orang-orang miskin. Tidak dari belakang jendela, tapi dengan terjun langsung ke lapangan.
Demikian juga Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ia selalu mengutamakan nilai kemajemukan dan keadilan. Ia berani pasang badan membela kaum minoritas kesukuan dan agama/sistem keyakinan yang tertindas.
Ini menunjukkan bahwa sejatinya inti nilai kebudayaan dan perjuangan yang menyertainya adalah kebenaran, kebaikan, keindahan, dan keadilan yang mewujud dalam humanisasi.
Demi humanisasi, budayawan sejati menolak untuk tersubordinasi kekuasaan. Juga menolak jadi partisan dan sektarian. Ia, dalam istilah penyair Rendra, selalu berada di ”angin” atau jagat otonom/rohaniah yang merdeka menyatakan kebenaran.
Saatnya diakhiri salah kaprah penyematan predikat budayawan pada orang-orang yang sebenarnya ”kurang tepat” disebut budayawan.