Keratabasa dan akronim memang tampak mirip dan membuat kita bingung membedakannya. Pemahaman terhadap asal-usul dan konsep penciptaan di belakang kedua fenomena bahasa itu adalah kuncinya.
Oleh
Ahmad Hamidi
·3 menit baca
Bermain-main dengan bahasa memang menyenangkan. Selain sebagai alat, bahasa juga dapat merangsang gairah berkreasi para penggunanya. Adakalanya, karena memang ada porsinya tersendiri, bahasa diperlukan hanya untuk bersenang-senang. Dalam hal ini bahasa menunjukkan fungsi ekspresi.
Karena masuk akal, berkesesuaian dengan realitas, sangat mungkin banyak orang terkecoh dengan kata sahur. Orang-orang yang tidak terbiasa berpikir sebagaimana orang bahasa berpikir boleh jadi menelan mentah-mentah informasi sahur sebagai akronimsarapan khusus Ramadhan, seperti banyak dibicarakan pada bulan puasa lalu.
Bagaimana membuktikan kebenaran informasi itu? Cara paling mudah dan sederhana adalah mencari tahu asal-usul kata. Sekurang-kurangnya ada dua hal terpenting, yakni bahasa asal dan pola pembentukannya.
Agar tidak keliru membedakan keratabasa dan akronim yang sengaja diasosiasikan dengan kata tertentu, kewaspadaan diperlukan.
Bagi orang yang tahu bahasa asalnya, sahur jelas bukanlah akronim. Kata itu diadopsi dari khazanah bahasa Arab. Mustahil orang Arab menggunakan konstruksi berbahasa Indonesia sebagai kepanjangan sahur, bukan?
Demikian pula, misalnya, perkedel yang disebut-sebut akronim persatuan kentang dan telur. Pada kenyataannya, perkedel merupakan penganan dari tradisi kuliner Belanda. Nama jenisnya diadaptasi dari kata frikadel. Tidak ada alasan logis yang mendukung perkedel sebagai akronim, apalagi akronim bagi konstruksi yang bukan berbahasa Belanda.
Kreativitas dan imajinasi orang kitalah yang membuat perkedel diyakini demikian. Apa sebabnya? ”Kebetulan”. Baik sahur maupun perkedel punya ”kebetulan” yang sama berkaitan dengan persesuaian antara realitas (referen/penanda) dan deret huruf yang melambangkan bunyi pembentuk petandanya.
Dalam bahasa Indonesia, fenomena semacam ini disebut keratabasa. Ini fenomena universal. Orang Inggris, umpamanya, menyebutnya backronym. Sejak dulu, kita sudah akrab dengan keratabasa. Selain fungsi ekspresi, keratabasa juga mengandung fungsi transmisi.
Sejumlah kelompok etnis di Indonesia, misalnya Jawa, memanfaatkan keratabasa dalam penanaman nilai-nilai kolektif dari suatu generasi ke generasi di bawahnya. Sifat keratabasa yang asosiatif, sehingga mudah diingat, membuat nilai-nilai yang dirangkumnya mudah diterima masyarakat. Dua contoh lawas dan populer adalah guru (digugu lan ditiru) dan sepuh (sabdane ampuh).
Tampak mirip
Apa perbedaan antara keratabasa dan akronim? Keduanya memang tampak mirip dan, pada kasus tertentu, membuat kita bingung membedakannya. Pada keratabasa, konstruksi yang kecil ada terlebih dahulu sebelum konstruksi yang besar diciptakan. Adapun pada akronim, konstruksi yang besar ada terlebih dahulu sebelum konstruksi yang kecil diciptakan.
Agar tidak keliru membedakan keratabasa dan akronim yang sengaja diasosiasikan dengan kata tertentu, kewaspadaan diperlukan. Karena pola pembentukannya pe- + tani, petani adalah keratabasa penyangga tatanan negara Indonesia, bukan akronim. Sementara itu, Pematang bukan keratabasa, melainkan akronim Pemalang-Batang, nama tol yang menghubungkan kedua wilayah itu. Oh, ya, tol (bahasa Inggris: toll) juga bukan akronim, melainkan keratabasa tax on location.
Batak, internet, dan irjen sambo adalah keratabasa banyak taktik, indomie telur kornet, dan irisan jengkol sambalado. Adapun Aksara, kejar, dan Kodrat adalah akronim Akademi Sandi Negara, kelompok belajar, dan Keluarga Olahraga Tarung Derajat.
Sebagai fenomena, keratabasa telah usang. Bentuknya saja yang terus membelah diri. Persoalan yang ditimbulkan keratabasa adalah kesesatan pemaknaan. Kita perlu kesejajaran pemahaman dalam menghadapi keratabasa dan kemampuan menelusuri asal kata serta membedakannya dengan akronim yang sebenar-benarnya.
Yang perlu dimusnahkan hanyalah sifat misoginistiknya, seperti pada jamu gendong (janda muda genit dan demen berondong). Di luar itu, biarkanlah masyarakat bergembira merayakan kreativitasnya bersama keratabasa.