Selain bisa menjadi nasihat bagi satu dua orang, ”kalimat bijak” juga bisa menjadi sindiran, bahkan menyudutkan bagi satu dua orang lainnya.
Oleh
Nur Hadi
·2 menit baca
Anda pasti pernah mendengar/membaca orang yang berbicara, menasihati, menulis, menggunakan ”kalimat bijak”. Apa itu ”kalimat bijak”?
Jika didefinisikan sebagai kalimat yang lahir dari olah akal budi sebagaimana definisi kata bijak, bahkan seorang Sengkuni pun bisa mengolah kata-katanya sedemikian rupa untuk menjebak Pandawa ke dalam perangkap judinya seraya mengail simpati dari publik.
Dalam ranah sastra, para penulis fiksi bahkan ”dituntut” untuk piawai merangkai kalimat sesuai dengan tokoh yang ia buat. Saat menghidupkan tokoh jahat, ia harus membangun dialog-dialog jahat, sedangkan untuk menghidupkan tokoh baik, ia harus piawai membangun kalimat-kalimat bijak, penuh motivasi, atau nasihat.
Itulah sebabnya, karakter seorang penulis sastra bisa sangat jauh sekali dari karakter-karakter yang ia buat. Bisa jadi lebih bijak, atau malah sebaliknya.
Motif menjadi penting lantaran hal itulah yang akan menjadi landasan tindakan penutur selanjutnya; apakah benar penutur memiliki maksud baik, atau sebaliknya.
”Kalimat bijak” juga bisa digunakan untuk menyindir atau malah menyakiti orang lain. Anda pasti pernah mendapati dua orang yang berusaha menguliti keburukan musuhnya dengan ”kata-kata indah” atau kelihatan ”penuh nasihat” itu. Apakah dengan begitu posisinya tetaplah menjadi ”kalimat bijak”?
Lalu, bagaimana dengan ”kalimat bijak” yang diunggah di media sosial? Di satu sisi, ”kalimat bijak” bisa menjadi nasihat bagi satu dua orang, tetapi, di lain sisi, juga bisa menyindir bahkan menyudutkan bagi satu dua orang lainnya.
Untuk mengupas apakah sebuah kalimat benar-benar bijak atau sebaliknya, ada pisau analisis yang dikemukakan oleh Dell Hymes, pakar antropologi linguistik Amerika.
Analisis Hymes ini lebih mudah digunakan untuk membedah sebuah peristiwa komunikasi, yang menjadi ranah perantara ”kalimat-kalimat bijak” atau sebaliknya. Hymes membeberkan elemen-elemennya, yakni situasi tutur (speech situation), peristiwa tutur (speech even), dan tindak tutur (speech act).
Situasi tutur lebih sering diacu sebagai konteks situasi, misalnya peperangan, perburuan, jamuan, rayuan, pertengkaran. Peristiwa tutur terjadi di dalam situasi tutur dan bisa terdiri dari satu atau lebih tindak tutur. Sementara tindak tutur dapat merupakan motif keseluruhan dari peristiwa tutur, atau bahkan situasi tutur.
Terkesan manjatuhkan
Ketika Anda berkata, ”Jangan pamerkan prestasi Anda karena prestasi akan berbicara sendiri”, situasinya bisa sangat berbeda bagi seseorang yang tengah memamerkan prestasinya di media sosial. Padahal, bisa jadi Anda hanya bermaksud mengatakan bahwa tanpa memamerkan prestasi pun, lambat laun orang akan mengenali dari prestasi yang dikerjakannya. Kalimat yang tadinya dianggap akan memotivasi justru terkesan menjatuhkan subyek lain.
Yang bisa dijadikan contoh lagi adalah kasus Presiden Joko Widodo ketika mempromosikan bipang Ambawang. Motif promosi menjadi penting diketahui meski kemudian audiensnya menganggap lain.
Motif menjadi penting lantaran hal itulah yang akan menjadi landasan tindakan penutur selanjutnya; apakah benar penutur memiliki maksud baik, atau sebaliknya. Tindak tutur inilah yang kemudian bisa mengubah makna tiap kata karena di sanalah tersimpan motif si penutur. Kata yang semula kosong dan netral dari nilai kemudian terisi setelahnya.
Dalam kajiannya, Hymes menuturkan ada 16 komponen tutur: bentuk pesan, isi pesan, latar, suasana, penutur, pengirim, pendengar, penerima, maksud-hasil, maksud-tujuan, kunci, saluran, bentuk tutur, norma interaksi, norma interpretasi, dan genre.
Enam belas komponen itulah yang kemudian menentukan warna sebuah kalimat/tuturan. Apakah benar kalimat-kalimat yang diucapkan seseorang itu merupakan ”kalimat bijak”, atau malah pisau bermata dua.