Mengapa PP No 26/2023 menjadi kontroversi? PP tersebut membuka kemungkinan menjual pasir ke sebuah negara untuk memperluas daratannya. Apa yang terjadi jika ekspor pasir dibeli Singapura untuk memperluas daratannya ?
Oleh
I MADE ANDI ARSANA
·4 menit baca
Ilustrasi
Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang menimbulkan kontroversi. Pokok persoalannya adalah adanya pasal yang mengizinkan ekspor pasir laut ke luar negeri. Ekspor pasir ini pernah dilarang selama 20 tahun dan kini tiba-tiba dibuka lagi. Banyak pihak yang mempertanyakan.
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 ini tentu saja bukan hanya tentang ekspor pasir laut. Seperti namanya, peraturan in adalah tentang pengelolaan sedimentasi di laut dan pasir adalah salah satunya. Intinya, laut kita mengalami pendangkalan karena pengendapan berbagai bahan yang jika dibiarkan akan dapat menghambat lalu lintas di laut. Ini yang ingin dikelola melalui PP No 26/2023 ini.
Secara teknis, pendangkalan laut akibat pengendapan memang perlu dipantau secara berkala. Perlu dilakukan survei pemetaan batimetri untuk mengetahui kedalaman laut pada waktu tertentu. Jika survei pemetaan ini dilakukan pada dua waktu berbeda, akan didapat hasil kedalaman yang berbeda. Perbedaan kedalaman itu menunjukkan proses pendangkalan. Ini melibatkan keahlian pemetaan seperti geodesi, hidrografi, dan oseanografi.
PP No 26/2023 dengan rinci menjelaskan perlunya perencanaan yang baik terkait pengelolaan sedimentasi di laut ini. Ditegaskan juga dalam Pasal 5 bahwa perencanaan ini perlu melibatkan ahli dan pihak lain yang kompeten. Selanjutnya Pasal 6, 7, dan 8 mengatur cara membersihkan sedimen di laut dengan alat dan prosedur yang mengutamakan keselamatan dan keamanan serta keterjagaan lingkungan.
Dalam pasal-pasal berikutnya diatur secara rinci tentang keterlibatan berbagai pihak, kebutuhan izin dan ketentuan yang harus diikuti untuk menjamin proses pengelolaan hasil sedimen laut ini berjalan dengan baik dan tidak merugikan siapa pun.
Pada bagian pemanfaatan hasil sedimen di laut, PP No 26/2023 menegaskan bahwa ada empat peruntukan yang dimungkinkan. Sedimen ini bisa digunakan untuk: a) reklamasi dalam negeri; b) untuk pembangunan infrastruktur pemerintah; c) pembangunan prasarana oleh pelaku usaha; dan/atau d) ekspor.
Mengapa kontroversial?
Pada poin terakhir ditegaskan bahwa pasir bisa diekspor ”sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Bagian inilah yang mengundang berbagai reaksi.
Jika kita membaca dengan teliti PP No 26/2023 yang terdiri dari 9 bab, 32 pasal, dan setebal 30 halaman itu, kita akan tahu bahwa ekspor pasir adalah bagian kecil dari keseluruhan aturan.
Mengapa menjadi kontroversi? Pasir yang kita ekspor itu bisa dibeli oleh Singapura untuk reklamasi. Bayangkan, kita menjual pasir ke sebuah negara untuk memperluas daratannya. Apa yang terjadi dengan perbatasan kita jika daratan Singapura makin luas dan mendesak Indonesia?
Pertama, jika memang telah membeli dengan proses yang legal, Singapura bisa memanfaatkan pasir untuk reklamasi. Reklamasi adalah sebuah keputusan internal untuk kepentingan nasional Singapura yang Indonesia tak bisa intervensi. Singapura adalah negara merdeka.
Meski demikian, muncul kekhawatiran klaim maritim Singapura. Sesuai ketentuan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, setiap negara pantai berhak atas laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen yang diukur dari garis pangkal (garis pantai).
Ada pandangan, bertambahnya luas Singapura itu akan menggeser garis pantainya ke selatan dan artinya bisa menggeser klaim zona maritim ke selatan ke arah Indonesia. Jika ini terjadi, dikhawatirkan Indonesia akan dirugikan karena lautnya jadi berkurang.
Perlu dipahami bahwa Indonesia dan Singapura sudah menetapkan batas maritim tahun 1973, tahun 2009, dan tahun 2014. Berita baiknya, batas maritim yang sudah ditetapkan itu tidak akan berubah karena adanya perubahan garis pantai dari salah satu pihak.
Hal ini sesuai dengan Pasal 62 Ayat 2.A.a Konvensi Wina 1969 yang menyebutkan bahwa perjanjian antarnegara secara umum memang bisa berubah, kecuali untuk perjanjian soal perbatasan. Analoginya, seperti kondisi dua rumah yang saling bertetangga. Renovasi rumah tetangga kita, baik itu membesar maupun mengecil, tak akan menggeser pagar pekarangan yang sudah ditetapkan.
Selain isu di atas, ada hal lain terkait ekspor pasir dan batas maritim yang perlu diperhatikan. Pada 2003, Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI mengeluarkan Keputusan Menteri Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
Dalam aturan itu dikatakan bahwa penghentian itu akan ditinjau kembali, salah satunya, jika penetapan batas antara Indonesia dan Singapura sudah tuntas (Pasal 2 Ayat 2).
Penetapan batas maritim dengan Singapura memang sudah ditetapkan, tetapi di ujung barat dan timur segmen batas perlu ditetapkan titik temu tiga (three junction point) yang melibatkan Indonesia, Singapura, dan Malaysia.
Dilihat dari sini, bisa dikatakan bahwa batas maritim Indonesia dan Singapura belum sepenuhnya tuntas. Bisa dipahami bahwa pembukaan izin ekspor pasir tahun 2023 dianggap tidak sesuai Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 117/MPP/Kep/2/2003.
Banyak hal yang perlu didiskusikan. Kita perlu secara cermat memahami isi PP No 26/2023 secara komprehensif dan tidak fokus hanya pada isu ekspor pasir. Tidak perlu ada kekhawatiran soal batas maritim dan kedaulatan terkait ekspor pasir ini, tetapi isu lingkungan harus diperhatikan. Selain itu, aspek hukum juga perlu dilakukan pembahasan dengan teliti. Semua pihak perlu merespons dengan cermat.
I Made Andi Arsana, Dosen Aspek Geospasial Hukum Laut di Departemen Teknik Geodesi; Ketua Program Studi Magister Teknik Geomatika, Fakultas Teknik, UGM.