Kebijakan pemerintah membuka ekspor pasir laut dinilai rapuh karena tidak dilandasi data dan kajian akademis yang matang. KKP bersikukuh pemanfaatan pasir laut untuk reklamasi ditata agar tidak merusak lingkungan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terbitnya aturan pengelolaan sedimentasi laut yang melandasi pembukaan ekspor pasir laut dinilai rapuh. Kebijakan itu dianggap tidak didasari kajian yang matang.
Kebijakan tentang ekspor pasir laut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut. Regulasi itu diteken oleh Presiden Joko Widodo pada 15 Mei 2023.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Mohammad Abdi Suhufan, berpendapat, landasan penyusunan PP Nomor 26 Tahun 2023 dinilai rapuh karena tidak merujuk pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan Undang-Undang No 12/2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan, peraturan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam konsideran PP No 26/2023, satu-satunya rujukan hanya ke Undang-Undang No 32/2014 tentang Kelautan, yakni Pasal 27 yang menyebutkan bahwa pengelolaan ekosistem pesisir dan laut ditujukan untuk pemulihan dari kerusakan lingkungan. Sedangkan PP No 26/2023 terkait pembersihan laut dari sedimentasi, termasuk untuk tujuan ekspor pasir laut, bukanlah kebutuhan dalam upaya memulihkan kerusakan lingkungan.
”Landasan penyusunan PP No 26/2023 sangat rapuh. Kebijakan ini dibuat tanpa prinsip dasar dan tujuan yang jelas bagi lingkungan dan ekosistem laut,” ujar Abdi, saat dihubungi, Sabtu (3/6/2023).
Di sisi lain, PP No 26/2023 dibuat tanpa melalui tahapan kajian lengkap dan transparan yang dapat diakses publik. Data potensi 23 miliar-34 miliar meter kubik sedimentasi laut yang dirilis Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), menurut Abdi, tidak dilandasi dengan hasil survei, penelitian, dan laporan ilmiah yang menjelaskan hal tersebut. KKP juga belum memiliki data tentang potensi, sebaran lokasi, dan nilai hasil sedimentasi laut.
”Kebijakan pengelolaan hasil sedimentasi laut dikhawatirkan hanya tameng, tetapi terdapat maksud lain, yaitu upaya melakukan pengambilan pasir di laut yang merupakan kegiatan ekstraktif untuk meraup pendapatan jangka pendek,” ujar Abdi.
Dalam Naskah Akademik Penyusunan Rancangan PP tentang Pemanfaatan Hasil Sedimentasi di Laut, yang diperoleh Kompas, disebutkan, material sedimentasi dapat berupa kerikil, pasir, dan lumpur. Potensi hasil sedimentasi di laut tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia, baik di kawasan pemanfaatan umum, alur pelayaran, alur laut kepulauan Indonesia, maupun di zona alur di luar kawasan pelabuhan.
Berdasarkan hasil kajian Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Tahun 2021, potensi hasil sedimentasi laut lebih dari 24 miliar meter kubik (m3). Hingga 2030, kebutuhan hasil sedimentasi di laut diperkirakan paling sedikit 1,4 miliar m3 yang dapat dimanfaatkan untuk material reklamasi dan pembangunan infrastruktur dalam negeri. Surplus potensi hasil sedimentasi di laut dapat dipasarkan untuk memenuhi permintaan negara lain.
Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB University, Yonvitner, saat dihubungi terpisah, mempertanyakan naskah akademis penyusunan PP No 26/2023 yang tidak disertai data dan telaah akademis. Data akademis seharusnya memuat, antara lain, potensi cadangan, sebaran, dan deposit sedimentasi laut.
Selain itu, data akademis juga memuat masalah, risiko, informasi ekologi terkait ekosistem dan perairan, serta prospek ekonomi, tujuan, dan skenario eksploitasi. ”Kebijakan ini masih kurang dukungan data akademis. Kajian akademis seharusnya menjadi dasar penyusunan PP, karena isu, masalah, siapa yang dapat manfaat, dampaknya harus masuk dalam PP,” ujar Yonvitner.
Dengan PP tersebut, pemanfaatan pasir laut untuk reklamasi ditata agar tidak merusak lingkungan.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, dalam konferensi pers terkait Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut, akhir Mei 2023, menyebutkan, terbitnya PP No 26/2023 bertujuan mengatur pengelolaan sedimentasi laut. Selama ini belum ada peraturan terkait pembangunan reklamasi, sementara permintaan reklamasi sudah menumpuk.
Data sebaran dan lokasi sedimentasi laut, menurut dia, saat ini masih dalam tahap kajian. Dengan PP tersebut, pemanfaatan pasir laut untuk reklamasi ditata agar tidak merusak lingkungan. Pemanfaatan pasir laut wajib memenuhi persyaratan dan hasil kajian tim yang terdiri atas lintas kementerian/lembaga.
Pemanfaatan pasir laut hasil sedimentasi yang telah mendapat persetujuan dari tim kajian untuk keperluan reklamasi, ucap Trenggono, dapat digunakan untuk kepentingan reklamasi di dalam negeri ataupun luar negeri. Negara akan mendapatkan pemasukan dari pungutan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
”Kalau katakanlah mereka (pelaku usaha) mengajukan (pemanfaatan pasir laut) untuk kepentingan ekspor, selama itu betul-betul dari hasil sedimentasi laut yang ditentukan oleh tim kajian, maka boleh saja penggunaannya untuk dalam negeri dan luar negeri. Tidak apa-apa selama dia bayar mahal ke dalam negeri (negara),” kata Trenggono.