Sejumlah kalangan mengkhawatirkan lingkungan menjadi rusak sebagai dampak ekspor pasir laut. Kementerian Kelautan dan Perikanan berdalih ekspor tidak bisa dilakukan sembarangan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA, BM LUKITA GRAHADYARINI, PANDU WIYOGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dibukanya keran ekspor pasir laut setelah dilarang sejak 2002 dipertanyakan karena ada potensi terjadi kerusakan lingkungan. Diperbolehkannya ekspor pasir laut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Dalam PP itu disebutkan bahwa yang dapat dimanfaatkan berupa pasir laut dan/atau material sedimen lain berupa lumpur. Pasir laut digunakan untuk reklamasi dalam negeri, pembangunan infrastruktur, dan pembangunan prasarana oleh pelaku usaha. Ekspor dimungkinkan sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai ketentuan perundang-undangan.
Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif, di Jakarta, Senin (29/5/2023), mengatakan, semua jenis pertambangan, termasuk pasir laut, izinnya seharusnya ada di Kementerian ESDM.
”(Mengenai PP No 26/2023), sepertinya itu (ranah) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Pasti ada koordinasi. Belum tahu, saya belum membaca PP-nya,” katanya.
Saat dikonfirmasi mengenai kewenangan pengelolaan pasir laut setelah terbitnya PP No 26/2023, Sekretaris Direktorat Jenderal (Ditjen) Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Iman Kristian Sinulingga mengarahkan agar ditanyakan ke Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara Tri Winarno atau Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Ediar Usman. Namun, hingga Senin sore, belum ada yang merespons pertanyaan Kompas.
Berdasarkan data Ditjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, ada 59 pemegang izin penambangan pasir laut. Namun, 33 di antaranya tak aktif karena tak ada pembeli atau tak ada kegiatan reklamasi.
Secara terpisah, juru bicara Menteri Kelautan dan Perikanan, Wahyu Muryadi, mengemukakan, PP No 26/2023 tidak menjadikan ekspor pasir laut sebagai tujuan utama. Pemanfaatan sedimentasi di laut lebih menekankan pemenuhan kebutuhan dalam negeri, seperti reklamasi, pembangunan infrastruktur, dan prasarana.
Menurut dia, sedimentasi laut terus berlangsung setiap tahun sehingga jika tidak diambil akan menutupi terumbu karang dan alur laut serta dicuri oknum tertentu. Sebaliknya, jika diambil, akan memberi keuntungan bagi negara dan menjadi bahan reklamasi, terutama di dalam negeri. Izin pemanfaatan sedimentasi harus melalui KKP.
Adapun ekspor pasir laut untuk kebutuhan luar negeri akan ditentukan oleh tim kajian yang terdiri dari KKP, Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Perhubungan. ”Jadi, (ekspor) tidak bisa sembarangan,” lanjutnya.
Ia menambahkan, KKP sedang menyiapkan aturan turunan dari PP 26/2023 untuk mengatur detail dan teknis terkait pemanfaatan sedimentasi. Selain itu, penentuan sebaran lokasi sedimentasi yang dapat dimanfaatkan juga diatur.
Langkah mundur
Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan, Akmaluddin Rachim, berpendapat, dari aspek kebijakan publik, terbitnya PP yang membolehkan lagi ekspor pasir laut menjadi langkah mundur. Pelaksanaannya bakal merusak lingkungan, khususnya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
”Patut dipertanyakan. Saya tak melihat urgensi diperbolehkannya ekspor pasir dalam PP itu. Kalau untuk peningkatan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), terlalu dipaksakan,” katanya.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia Mohammad Abdi Suhufan menilai, PP No 26/2023 dilatarbelakangi pertimbangan eksploitatif dan berorientasi bisnis. Eksploitasi dan ekspor pasir laut bertolak belakang dengan komitmen Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menjadikan ekologi dan lingkungan sebagai panglima.
”Kegiatan penambangan pasir selama ini sudah berlangsung untuk kepentingan dalam negeri sehingga patut diduga PP ini untuk melegalisasi ekspor pasir laut,” ujarnya.
Dari Batam, Kepulauan Riau, dibukanya kembali ekspor pasir laut ibarat mimpi buruk bagi warga di Pulau Pemping, Kecamatan Belakang Padang. Menurut Amdan (34), warga setempat, tambang pasir laut tidak hanya membuat habitat ikan hancur, tetapi juga mengancam pulau-pulau kecil tempat warga bermukim.
Ia menuturkan, pengerukan pasir laut membuat tanah di pulau-pulau kecil merosot ke laut. ”Dulu, tiang rumah-rumah panggung warga di Pemping sudah gantung di laut karena pulau kami terkena abrasi parah,” ujarnya sembari mengenang dampak pengerukan pasir dari perairan Batam sejak 1976.
Amdan menambahkan, rencana pemerintah membuka lagi ekspor pasir laut itu tidak berwawasan maritim dan tidak memihak rakyat kecil. Ia menilai, PP tersebut hanya menguntungkan pengusaha besar. Pada 2019, warga Pulau Pemping menolak rencana tambang pasir laut di Kecamatan Belakang Padang. Mereka menolak kompensasi Rp 600.000 yang ditawarkan perusahaan tambang.
Menurut Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Parid Ridwanuddin,
PP No 26/2023 diterbitkan pemerintah, utamanya, untuk melayani kebutuhan reklamasi. Kajian Walhi terhadap dokumen Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) 28 provinsi menunjukkan, hingga 2040 akan ada 3,5 juta hektar lahan yang direklamasi di Indonesia.
”Presiden sering mengatakan di forum internasional bahwa Indonesia punya komitmen untuk menciptakan laut yang sehat dengan terus memperluas wilayah konservasi. Namun, kebijakan yang dikeluarkan, seperti soal tambang pasir laut, membuktikan komitmen pemerintah hanya retorika di atas mimbar,” ujar Parid, Minggu (28/5).