Ekspor Pasir Laut Mengabaikan Suara Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir di Riau dan Kepulauan Riau menolak ekspor pasir laut untuk memperluas negara lain. Tambang justru akan menenggelamkan pulau-pulau kecil di Indonesia akibat kerusakan lingkungan pesisir.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Masyarakat pesisir di Riau dan Kepulauan Riau menolak langkah pemerintah yang akan membuka kembali keran ekspor pasir laut. Selain mengancam mata pencarian nelayan, tambang pasir laut juga merusak potensi wisata bahari.
Sebelum dihentikan pada 2002, tambang pasir laut amat marak di perairan Bengkalis, Riau, dan perairan Karimun serta Batam, Kepri. Sejak 1978-2002, setiap tahun lebih dari 250 juta meter kubik pasir laut diekspor untuk mereklamasi Singapura.
Ketua Aliansi Tokoh Masyarakat Riau Peduli Pulau Rupat Said Amir Hamzah, Rabu (31/5/2023), mengatakan, ekspor pasir laut membuat negara tetangga bertambah luas, tetapi menenggelamkan negara sendiri. Menurut dia, menjual pasir laut ke luar negeri sama saja menjual tanah air sendiri.
Pada 15 Mei lalu, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Dengan PP No 26/2023, pemerintah kembali mengizinkan ekspor pasir laut yang sebelumnya dilarang pada era Presiden Megawati Soekarnoputri.
”Kami sudah mencium rencana pemerintah yang akan kembali membuka ekspor pasir laut itu. Soalnya, perusahaan yang pada tahun 1990-an memiliki izin tambang pasir mulai datang lagi ke Pulau Rupat,” kata Said saat dihubungi.
Pada September 2021, PT Logomas Utama mulai menambang pasir di perairan Pulau Rupat, Bengkalis. Dalam melakukan aktivitasnya, perusahaan itu hanya mengantongi dokumen analisis mengenai dampak lingkungan yang dibuat pada 1998.
Perusahaan tersebut mengeruk pulau-pulau di sekitar Rupat yang terbentuk dari gundukan pasir, atau yang biasa disebut warga sebagai beting. Akibatnya terjadi kerusakan ekosistem pesisir di sana. Kerusakan itu berupa abrasi, laut keruh, hancurnya terumbu karang, dan kerusakan padang lamun.
Lokasi tambang pasir laut itu tumpang tindih dengan kawasan stretagis pariwisata nasional. Kerusakan lingkungan akibat tambang membuat hewan laut yang menjadi daya tarik wisata, seperti dugong dan lumba-lumba, menjadi menghilang.
”Selain wisata jadi macet, nelayan juga sulit menangkap ikan. Ini namanya kami sebagai masyarakat pesisir sudah jatuh tertimpa tangga,” ujar Said.
Perusahaan yang pada tahun 1990-an memiliki izin tambang pasir mulai datang lagi ke Pulau Rupat.
Pada Februari 2022, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Kementerian Kelautan dan Perikanan, menghentikan operasi kapal petambang pasir milik PT Logamas Utama karena tidak memiliki persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL). Hasil penelitian juga membuktikan adanya kerusakan pesisir Pulau Rupat akibat aktivitas tambang.
Terkait hal itu, Direktur Eksekutif Walhi Riau Even Sembiring mengatakan, tahun lalu warga telah menyurati Presiden Joko Widodo untuk menghentikan tambang pasir laut di Pulau Rupat secara permanen. Tambang di Pulau Rupat harus dihentikan karena memperparah kerentanan pulau kecil di tengah kenaikan muka air laut akibat krisis iklim.
”Bukannya mengabulkan permohonan warga, Presiden malah menandatangani PP No 26/2023. Itu menunjukkan abainya pemerintah terhadap nasib masyarakat pesisir pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan,” kata Even.
Sama halnya dengan yang terjadi di Riau, warga di sejumlah daerah di Kepri juga menolak rencana pemerintah untuk membuka kembali ekspor pasir laut. Warga menilai kerugian akibat tambang pasir laut jauh lebih besar.
Tokoh nelayan di Kabupaten Karimun, Amirullah (59), mengatakan, pada awal tahun 2000-an waktu tambang pasir laut masih marak di Karimun, nelayan hanya mendapat kompensasi berupa sembako dan uang Rp 300.000 per keluarga. Bantuan itu hanya diberikan satu kali.
”Hidup kami tidak hanya sehari. Ke mana nelayan harus mencari ikan kalau laut sekitarnya rusak. Itu dampaknya masih terasa sampai sekarang, 20 tahun sejak tambang dihentikan,” ujar Amirullah, Senin (29/5/2023).
Adapun warga Pulau Pemping di Kota Batam, Amdan (34), mengatakan, tambang pasir laut tidak hanya membuat habitat ikan hancur, tetapi juga mengancam pulau-pulau kecil tempat warga bermukim. Pengerukan pasir laut membuat tanah di pulau-pulau kecil merosot ke laut.
”Dulu, tiang rumah-rumah panggung warga di Pemping sudah gantung di laut karena pulau kami abrasi parah,” ujarnya pada 29 Mei lalu.
Adapun warga Pulau Linau di Kabupaten Lingga, Tinong (40), mengatakan, saat ini sejumlah perusahaan tambang pasir laut tengah bersiap masuk ke daerah itu. Ia mengatakan, warga menolak kompensasi yang ditawarkan perusahaan karena berkaca pada pengalaman buruk nelayan di Batam dan Karimun.
”Kalau tambang pasir laut dikasih masuk, ikan pasti hilang. Sudah banyak nelayan di Batam dan Karimun jadi lapar karena tambang, kami tak mau seperti mereka,” ucap Tinong.
Sebelumnya, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kepri Muhammad Darwin mengatakan, Pemerintah Provinsi Kepri masih mempelajari PP No 26/2023 mengenai seberapa besar pengelolaan hasil sedimentasi laut bakal menambah pemasukan daerah. Pemprov Kepri menunggu peraturan turunan dari PP No 26/2023 mengenai kewenangan daerah dalam hal pemberian izin pengelolaan hasil sedimentasi laut.
”Untuk saat ini, yang kami tahu soal pengelolaan sedimentasi laut ini kewenangannya lebih banyak di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Gubernur hanya sebatas mengeluarkan izin pengangkutan dan penjualan yang sifatnya mandatori,” ucap Darwin.