Pemerintah Buka Lagi Ekspor Pasir Laut, Ekosistem Pulau Kecil Terancam
Ekspor pasir laut kembali dibuka dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023. Tambang pasir laut dikhawatirkan mengancam ekosistem pesisir pulau-pulau kecil.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Ekspor pasir laut kembali dibuka dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Sejumlah pihak khawatir pertambangan pasir laut akan membuat ekosistem pulau-pulau kecil semakin terancam di tengah krisis iklim.
Terbitnya PP No 26/2023 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 15 Mei lalu itu mencabut Keputusan Presiden No 33/2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut. Keppres No 33/2002 yang terbit pada masa pemerintahan Presiden Megawati itu bertujuan mengendalikan bisnis ekspor pasir laut yang merugikan Indonesia.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Parid Ridwanuddin, Minggu (28/5/2023), menduga, PP No 26/2023 diterbitkan pemerintah utamanya untuk melayani kebutuhan reklamasi. Kajian Walhi terhadap dokumen Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) 28 provinsi menunjukkan, hingga 2040 akan ada 3,5 juta hektar lahan yang direklamasi di Indonesia.
”Pemerintah menggunakan istilah pengelolaan sedimentasi laut dalam PP No 26/2023. Sebenarnya, peraturan itu arahnya amat jelas untuk melegalkan penambangan pasir laut di mana-mana,”kata Parid saat dihubungi.
Salah satu daerah yang marak eksploitasi pasir laut adalah Kepulauan Riau. Sejak 1976 hingga 2002, pasir dari perairan Kepri dikeruk untuk mereklamasi Singapura. Volume ekspor pasir ke Singapura sekitar 250 juta meter kubik per tahun (Kompas, 16/2/2003).
Saat itu, banyak pengusaha merekayasa data volume ekspor pasir laut. Tujuannya agar bisa mengekspor atau menjual sebanyak mungkin pasir laut berapa pun harganya, tanpa memperhatikan dampak bagi lingkungan (Kompas, 12/2/2002).
Pasir dijual dengan harga 1,3 dollar Singapura per meter kubik, padahal seharusnya harga dapat ditingkatkan pada posisi tawar sekitar 4 dollar Singapura. Dengan selisih harga itu, Indonesia rugi sekitar 540 juta dollar Singapura atau Rp 2,7 triliun per tahun (Kompas, 7/3/2002).
Kebijakan yang dikeluarkan seperti soal tambang pasir laut ini membuktikan komitmen pemerintah menjaga lingkungan laut yang sehat hanya retorika di atas mimbar.
Pengerukan pasir secara besar-besaran untuk diekspor ke Singapura juga hampir membuat Pulau Nipa di Batam tenggelam karena abrasi. Padahal, pulau itu menjadi salah satu tolok ukur perbatasan Indonesia dengan Singapura.
Parid menambahkan, selain di Kepri, tenggelamnya pulau akibat tambang pasir laut juga terjadi di Kepulauan Seribu, Jakarta. Ada tujuh pulau yang tenggelam di sana, salah satunya adalah Pulau Ubi Besar yang sebelumnya dihuni penduduk.
Berdasarkan data Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (The Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC), setiap tahun muka air laut naik antara 0,8 meter-1 meter akibat krisis iklim. Parid khawatir, di tengah kondisi itu, eksploitasi pasir laut secara besar-besaran bakal mempercepat tenggelamnya pulau-pulau kecil di Indonesia.
”Presiden sering mengatakan di forum internasional bahwa Indonesia punya komitmen untuk menciptakan laut yang sehat dengan terus memperluas wilayah konservasi. Namun, kebijakan yang dikeluarkan seperti soal tambang pasir laut ini membuktikan komitmen pemerintah menjaga lingkungan laut yang sehat hanya retorika di atas mimbar,” ujar Parid.
Anggota Komisi II DPRD Kepri, Rudi Chua, mengatakan, pertambangan pasir laut sebenarnya bisa memberi dampak positif terhadap perekonomian Kepri. Meski demikian, ia menilai pemerintah pusat amat perlu merumuskan sanksi tegas untuk mengantisipasi pelanggaran yang mungkin terjadi ke depan.
”Yang dulu terjadi di Kepri, wilayah tangkap nelayan rusak akibat tambang pasir laut. Selain itu, banyak pengusaha yang misalnya mengekspor 1.000 ton, tetapi melapor hanya 100 ton,” katanya.
Maraknya kerusakan lingkungan dan besarnya kerugian negara itulah yang dulu akhirnya mendorong pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
Namun, keluarnya SK Menperidag itu tidak juga menyurutkan penjualan pasir laut, baik legal maupun ilegal. Maka kemudian, terbit Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 02/M-DAG/PER/1/2007 tentang Larangan Ekspor Pasir, Tanah, dan Top Soil, (Kompas, 17/3/2007).
Meskipun telah dilarang sejak 2007, ekspor pasir laut ke Singapura masih terus berlangsung secara ilegal setidaknya hingga 2012. Penyebabnya adalah harga pasir di Singapura lebih mahal dua kali lipat dari harga di dalam negeri. "Hukuman pidana saja tidak membuat mereka jera, apalagi kini hukumannya menurut PP No 26/2023 hanya sanksi administratif,” ucap Rudi.
Adapun Parid menambahkan, PP No 26/2023 bertentangan dengan peraturan perundangan di atasnya. UU No 27/2007 juncto UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil melarang penambangan mineral yang merusak lingkungan. Selain itu, UU tersebut juga mengatur hukuman pidana bagi pihak yang melanggar.
”PP No 26/2023 seharusnya batal demi hukum karena bertentangan dengan peraturan perundangan di atasnya,” kata Parid.
Secara terpisah, Ketua Asosiasi Penambang Pasir Laut (APPL) Kepri Heri Tosa mengatakan, para pengusaha tambang pasir laut masih menunggu peraturan turunan dari PP No 26/2023. Menurut dia, PP No 26/2023 itu belum secara gamblang menyatakan pencabutan moratorium ekspor pasir laut yang tertuang dalam SK Menperidag Nomor 117/MPP/Kep/2/2003.
”Kalau yang dimaksud dalam PP No 26/2023 itu benar-benar sedimentasi laut, maka itu tidak bisa diekspor. Di luar negeri, hasil pengerukan sedimentasi laut untuk pendalaman alur laut dianggap limbah karena tidak dilengkapi analisis mengenai dampak lingkungannya,” ujar Heri.