Metode ”revealed preference” (RP) memberikan indikasi bahwa masyarakat Indonesia dalam hierarki kebutuhannya menjadi lebih kompleks, melihat ke depan, memperhatikan kualitas hidup.
Oleh
ARI KUNCORO
·5 menit baca
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahunan triwulan I-2023 tercacat 5,03 persen dengan sumbangan terbesar dari konsumsi masyarakat. Oleh karena itu, menarik untuk melihat dinamika konsumsi. Dalam hal ini, teori ungkapan preferensi (revealed preference/RP) yang dikemukakan pertama kalinya oleh Samuelson (1938), kemudian dikembangkan oleh Afriat (1967) dan Mathew (2007), digunakan untuk merekonstruksi preferensi konsumen dari data konsumsi.
Preferensi bersifat ordinal (peringkat) sehingga yang dibutuhkan hanya indikasi prioritas tanpa harus terikat dengan besaran numeriknya. Kelemahan RP adalah asumsi preferensi tidak berubah (constantcy) dari waktu ke waktu. Padahal, dengan berjalannya waktu, apalagi dengan situasi dunia dewasa ini, kondisi eksternal yang berada di luar kendali konsumen selalu berubah sehingga memerlukan adaptasi perilaku. Untuk itu, dilakukan modifikasi pada metode RP bahwa secara agregat konsumen tidak perlu terikat pada asumsi peringkat yang tidak berubah. Dengan modifikasi ini, pendekatan RP berguna terutama untuk melihat dinamika perilaku konsumsi ketika lingkungan luar mengalami perubahan cepat, seperti situasi global dewasa ini.
Analisis dapat dilakukan dengan membandingkan komposisi atau pertumbuhan bundel konsumsi pada periode yang berbeda. Pendekatan paling sederhana adalah sebelum dan sesudah (before and after), yang sangat praktis jika terdapat shock di tengah-tengahnya. Pengamatan juga dapat dilakukan pada sisi produksi, misalnya, angka purchasing manager index (PMI) yang dapat dibagi menjadi barang tahan lama (manufaktur) versus jasa. Kedua kelompok barang tersebut dapat bersifat komplemen atau subsitusi, tergantung dari kondisi eksternal konsumen.
Konsumsi di AS
Krisis perbankan di AS merupakan kasus menarik untuk melihat perbedaan perilaku konsumsi sebelum dan sesudah peristiwa tersebut. Tanggal 10 Maret 2023 merupakan hari di mana Silicon Valley Bank di AS mengalami kegagalan yang menjalar ke beberapa bank regional lain. Angka purchasing manager index (PMI) untuk sektor manufaktur bergerak naik sejak Januari yang mencapai puncaknya pada bulan April dengan angka 50,2.
Kenaikan menunjukkan resiliensi sektor produksi dan konsumsi masyarakat walaupun bank sentral terus menaikkan suku bunga acuannya. Namun, situasi berubah setelah krisis bank-bank regional karena merekalah yang selama ini membiayai modal kerja untuk bisnis kecil dan menengah, pengembang properti dan kredit pemilikan rumah pada tingkat lokal.
Besaran PMI untuk manufaktur kembali memasuki zona kontraksi 48,5, yang memberi sinyal berkurangnya minat untuk membeli barang-barang tahan lama. Yang menarik angka PMI untuk sektor jasa meningkat dari 53,6 di bulan April ke 55,1 di bulan Mei, yang sejak Februari memang secara konsisten sudah di zona ekspansi. Tampaknya krisis perbankan regional di AS menggeser konsumsi ke arah jasa dan menjauhi barang tahan lama.
Di saat yang sama, sektor konstruksi pada rumah tinggal juga terkontraksi minus 5,4 persen. Inilah penyumbang penyebab utama perlambatan ekonomi AS di triwulan I-2023 ke 1,3 persen dibandingkan dengan 2,6 persen pada periode sebelumnya dan bukan konsumsi. Sebaliknya, konsumsi masyarakat naik dari 3,7 persen pada triwulan IV-2022 ke 3,8 persen pada triwulan I-2023.
Perlambatan AS sebagai lokomotif dunia ini perlu diwaspadai karena dampaknya adalah pada ekspor. Pertumbuhan ekspor Indonesia masih double-digit, sementara itu sampai maret 2023 masih mencatat surplus selama 35 bulan berturut-turut. Data terakhir triwulan I-2023 tercatat pertumbuhan riilnya 11,7 persen. Perkembangan ini membuat pencermatan pada pola perilaku konsumen sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dalam negeri menjadi penting.
Pola pertumbuhan konsumsi dalam negeri
Untuk Indonesia, kasus menarik adalah mencoba mengungkapkan preferensi konsumen sebelum dan sesudah pandemi Covid-19. Dalam situasi transisi data pertumbuhan lebih menarik daripada data pangsa (proporsi) suatu kelompok pengeluaran karena lebih menggambarkan proses transisi dari satu ekuilibrium ke ekuilibrium lainnya.
Data tahun 2015-2019 sebelum pandemi menunjukan rerata pertumbuhan tahunan dari pengeluaran triwulanan untuk kesehatan dan pendikan sudah berada di atas pertumbuhan konsumsi (5,6 persen versus 5,1 persen). Selain itu, juga lebih tinggi dari akomodasi dan restoran (5,5 persen), transportasi (5,1 persen) dan makanan dan minuman (5,3 persen). Oleh Bank Dunia (2020), pola ini disebut sebagai Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class.
Ungkapan preferensi ini mengalami disrupsi pada saat pandemi sedang pada puncaknya di tahun 2020. Rerata trwiulanan konsumsi secara keseluruhan mengalami kontraksi minus 2,6 persen. Sementara itu, kesehatan dan pendidikan tetap tumbuh positif pada 3,1 persen. Pada saat pandemi mulai terkendali di tahun 2021, terdapat efek undershooting untuk mobilitas sehingga ketika dilakukan relaksasi pembatasan mobilitas, kebutuhan masyarakat meningkat tajam karena pent-up demand. Yang terjadi kemudian adalah expenditure switching.
Rerata triwulanan pertumbuhan pengeluaran transportasi dan pergudangan tumbuh 2,8 persen, sementara akomodasi dan restoran naik 4,4 persen. Kedua kelompok pengeluaran ini lebih tinggi dari pertumbuhan kesehatan dan pendidikan (1,7 persen). Pola ini masih bertahan pada saat perekonomian sudah kembali memasuki pemulihan di tahun 2022 sampai triwulan I-2023. Rerata transportasi-pergudangan serta akomodasi dan restoran masing-masing tercatat 8,1 dan 6,4 persen, sementara kesehatan tercatat 2,5 persen. Masyarakat juga mulai kembali membeli sandang dan alas kaki (4,3 persen) serta perumahan dan perlengkapan rumah tangga (2,8 persen).
Preferensi di atas juga tecermin dalam rerata pertumbuhan triwulanan PDB sektoral 2022 sampai triwulan I-2023. Sektor-sektor berbasis mobiltas, seperti transportasi-pergudangan dan akomodasi-restoran mencatat pertumbuhan tertinggi masing-masing 19,2 dan 11,9 persen, jauh di atas pertumbuhan PDB sebesar 5,2 persen.
Yang turut menikmati daya ungkit dari sektor-sektor ini adalah perdagangan dan manufaktur, di mana UMKM medominasi dari segi jumlah unit usahanya dengan pertumbuhan masing-masing 5,4 dan 4,8 persen. Jasa kesehatan menunjukan pertumbuhan yang cukup kuat sebesar 4,8 persen.
Pengamatan data sebelum dan seudah pandemi dengan metode RP memberikan indikasi bahwa masyarakat Indonesia dalam hierarki kebutuhannya menjadi lebih kompleks, melihat ke depan, memperhatikan kualitas hidup dengan berinvestasi pada human capital untuk putra-putrinya (Becker and Tomes [1976]). Pada saat yang sama, kebutuhan pokok makanan juga penting. Namun, itu saja tidak cukup karena ada kebutuhan baru, yaitu mobilitas (transportasi, akomodasi-restoran) yang memerlukan prasarana dan sarana untuk memanfaatkan daya dorongnya terhadap perekonomian.
Editor:
MUHAMMAD FAJAR MARTA
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.