Indonesia punya keterpaparan kecil terhadap SVB. Jikapun ada, dampak dalam jangka pendek adalah melalui nilai tukar. Meski demikian, kewaspadaan tetap harus ditingkatkan dengan terus mencermati berbagai indikator.
Oleh
ARI KUNCORO
·5 menit baca
AP PHOTO/SETH WENIG
Pedagang di bursa saham New York, Amerika Serikat, mengamati pernyataan Gubernur Bank Sentral AS (The Federal Reserve) Jerome Powell dalam konferensi pers setelah mengumumkan suku bunga acuan The Fed di New York, 1 Februari 2023.
Kurva Phillips adalah visualisasi hubungan terbalik antara pengangguran dan inflasi yang ditemukan oleh Phillips (1958) serta disempurnakan oleh Samuelson dan Solow (1960). Konsep ini kemudian digunakan sebagai pegangan kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat atau The Fed.
Jika perekonomian mengalami resesi, dilakukan kebijakan yang ekspansif. Sebaliknya, jika inflasi terlalu tinggi (overheating), perekonomian perlu diresesikan dengan menaikkan suku bunga acuan. Friedman (1967) dan Phelps (1968) kemudian berpendapat, otoritas moneter tidak dapat menggunakan begitu saja trade-off dalam kurva Phillips untuk mengelola perekonomian.
Ide ini berkembang menjadi NAIRU (non-accelerating inflation rate of unemployment). Dalam NAIRU, tingkat pengangguran dapat berubah sesuai dengan situasi dan kondisi perekonomian. Untuk penentuan laju inflasi ideal, pengangguran adalah aktual, bukan rekaan statistik yang disebut pengangguran natural.
Argumen mereka didasari oleh pasar tenaga kerja yang mempunyai ekspektasi rasional yang akan membawa upah riil ke ekuilibrium awal. Upah nominal dan inflasi dapat saja lebih tinggi, berubah sesuai dengan situasi dan kondisi perekonomian, tetapi upah riil tetap sama.
Jika inflasi terlalu tinggi ( overheating), perekonomian perlu diresesikan dengan menaikkan suku bunga acuan.
Pergeseran kurva Phillips
Kerancuan terjadi ketika laju inflasi 2 persen dijadikan sebagai dogma. Dengan timbulnya Covid-19, pasar tenaga kerja berubah menjadi hibrida antara di rumah dan di kantor. Konflik Ukraina-Rusia juga diiringi perang sanksi di mana blok sekutu Barat dan Rusia saling mengisolasikan diri dari globalisasi.
Selama ini skala ekonomi yang timbul dari kolaborasi berperan menurunkan ongkos produksi dan inflasi dunia. Tren deglobalisasi makin menjadi ketika hubungan AS dan China memburuk, berdampak pada rantai pasokan dunia.
Perbandingan Suku Bunga Acuan BI, Suku Bunga Acuan The Fed, dan tingkat inflasi Indonesia. Sumber: Tim Ekonom Bank Mandiri
Efeknya di AS adalah akselerasi inflasi dari 1,7 persen pada Maret 2021 mencapai puncaknya 9,1 persen pada Juni 2022. Kemudian, perlahan turun ke 6 persen pada Februari 2023 setelah The Fed menaikkan suku bunga acuan beberapa kali sejak Juni 2022.
Pertanyaannya, apakah laju inflasi 2 persen dapat dicapai dengan situasi global dewasa ini? Apakah kurva Phillips sudah berubah ke inflasi lebih tinggi, paling tidak dalam beberapa tahun ke depan?
Pengamatan menunjukkan laju inflasi sudah turun di AS, tetapi penurunannya melambat, boleh jadi tidak akan kembali ke 2 persen dalam waktu singkat. Bahkan, mungkin akan bertahan (non-accelerating) pada tingkat 4 persen (Schrager; Bloomberg, April 2022). Pengamatan yang sama terjadi di Inggris yang bahkan menganjurkan agar bank sentral mulai menerima normal baru hidup dengan inflasi lebih tinggi (Ward; Financial Times, Desember 2022).
Seorang pekerja berbincang dengan orang-orang yang berada di depan kantor Silicon Valley Bank (SVB) di Santa Clara, California, Amerika Serikat, yang ditutup pada 10 Maret 2023.
Kenaikan suku bunga acuan The Fed yang terlalu agresif mengandung risiko tinggi. Suku bunga acuan sejak peristiwa krisis finansial global tahun 2008 dipatok pada angka mendekati nol untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini membuat terjadinya gelembung di sektor properti karena biaya pemilikan rumah menjadi terlalu rendah.
Surat berharga yang berbasis kredit perumahan (mortgage based security/MBS) menjadi instrumen investasi finansial menarik. Situasi berbalik sejak pertengahan 2022 ketika suku bunga acuan The Fed naik dengan cepat sebagai upaya meredam inflasi. Harga aset properti kemudian anjlok sekitar 20 persen.
Kombinasi biaya hidup yang semakin tinggi akibat pandemi dan ketegangan geopolitik menyebabkan daya beli masyarakat menurun sehingga kemampuan mencicil rumah juga turun drastis. Ini berdampak pada surat berharga MBS yang jadi bagian signifikan dari portofolio bank-bank regional di AS.
Kombinasi biaya hidup yang semakin tinggi akibat pandemi dan ketegangan geopolitik menyebabkan daya beli masyarakat menurun.
Gelembung pecah ketika Silicon Valley Bank (SVB) mengalami rush sehingga terjadi kegagalan. Kepanikan ini menjalar ke tiga bank regional lain, yaitu First Republic, Signature Bank, dan Silvergate. SVB selama ini merupakan bank yang menjadi system integrator antara investor dan inovator yang didominasi oleh perusahaan rintisan (start up), terutama yang berkecimpung dalam bisnis dengan teknologi digital sebagai wadah (platform).
Tanda-tandanya sudah terlihat dengan pemutusan hubungan kerja puluhan ribu karyawan di sektor teknologi sejak akhir 2022, di dalamnya termasuk perusahaan teknologi yang sudah mapan, seperti Google dan Amazon. Situasi makroekonomi yang memburuk akibat pandemi dan konflik Rusia-Ukraina menyebabkan pasar mereka menyusut.
Kebutuhan akan modal kerja untuk tetap bertahan menyebabkan mereka lebih sering mengambil dananya daripada menyetor. Sementara para pemodal mulai lebih berhati-hati dalam pembiayaan start up.
Situasi ini mendorong terjadinya masalah likuiditas di SVB. Surat berharga SVB sebagian merupakan MBS yang harga jualnya di pasar sekunder sudah merosot akibat turunnya nilai aset properti. Pada saat yang sama, harga jual obligasi pemerintah juga turun akibat kenaikan suku bunga The Fed.
Selanjutnya, SVB mengusahakan bridging fund untuk menambah dana dari penjualan surat berharganya. Tujuannya untuk beralih ke aset finansial dengan yield lebih tinggi. Berita ini kemudian bocor, menimbulkan kepanikan para deposan sehingga terjadi rush yang menyebabkan kegagalan SVB. Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) segera mengumumkan bahwa SVB sekarang di tangan regulator.
Tanpa intervensi regulator, kegagalan SVB berpotensi menjalar ke bank-bank ukuran menengah dan kecil lain di AS, membuat posisi The Fed makin sulit, antara mengendalikan inflasi dan menjaga kestabilan finansial dari kepanikan.
Akhirnya The Fed mengumumkan ”kompromi” kenaikan 25 basis poin pada pertemuan 21-22 Maret. Lebih rendah daripada perkiraan awal sebesar 50 basis poin, tetapi berisiko tinggi karena tetap menaikkan suku bunga pada saat bank-bank regional masih dilanda krisis kepercayaan. Dengan kebijakan ini, suku bunga acuan AS diperkirakan akan berkisar 4,75 sampai 5 persen, tertinggi sejak 2007.
Tanpa intervensi regulator, kegagalan SVB berpotensi menjalar ke bank-bank ukuran menengah dan kecil lain di AS,
Dampak dalam negeri
Indonesia mempunyai keterpaparan kecil terhadap SVB. Jikapun ada, dampak dalam jangka pendek adalah melalui nilai tukar. Indeks dollar AS melemah mendekati 102 akibat perpindahan ke arah aset-aset aman, baik di AS maupun ke luar negeri. Terdengar mirip paradoks, rupiah yang sebelumnya melemah karena pesan hawkish dari The Fed, pekan lalu mulai kembali menguat ke arah Rp 15.000 per dollar AS.
Kegagalan SVB menimbulkan isu bahwa resesi di AS akan berpeluang lebih tinggi. Akibatnya, harga minyak WTI sempat turun di bawah 70 dollar AS mendekati 65 dollar AS per barel. Namun, harga minyak kemudian bergerak ke keseimbangan baru di kisaran 70-75 dollar per barel dan Brent pada kisaran 76-79 dollar AS, akibat naiknya permintaan China. Hal ini dapat memperlebar koridor pilihan kebijakan berbasis mobilitas untuk menjaga momentum pertumbuhan dalam negeri.
Meski demikian, kewaspadaan tetap harus ditingkatkan, dengan terus mencermati berbagai indikator mikro perbankan dan makroekonomi dalam dan luar negeri.