Prospek Konservatif Pertumbuhan Ekonomi Dunia
Harapannya adalah menjadikan resesi dunia, kalaupun sampai terjadi, paling tidak merupakan pertumbuhan lambat, bukan kontraksi tajam, meski inflasi tetap di atas rerata normal.

Baru-baru ini Dana Moneter Internasional atau IMF merevisi ramalan pertumbuhan global dari pesimistis berhati-hati ke positif-konservatif. Prediksi pertumbuhan ekonomi dunia 2023 direvisi dari angka sebelumnya 2,7 persen ke 2,9 persen.
Namun, IMF juga tetap konservatif, diperlihatkan dengan melakukan smoothing prediksi, pada 2023 dinaikkan, tetapi tetap konservatif di 2024 pada 3,1 persen. Selain itu, inflasi di 84 persen negara-negara di dunia diperkirakan turun dari 8,8 persen pada 2022 ke 6,6 persen pada 2023, dan 4,1 persen pada 2024.
Beberapa faktor memengaruhi perubahan prediksi ini. Pertama adalah pertumbuhan positif Amerika Serikat yang mengejutkan di triwulan III dan IV 2022 masing-masing sebesar 3,2 dan 2,9 persen. Faktor penting lain adalah relaksasi kebijakan zero Covid-19 di China.
Faktor terakhir adalah musim dingin yang relatif ”hangat” di Eropa sehingga beberapa obyek wisata ski di pegunungan Alpen terpaksa tutup karena hampir tidak ada salju. Sebagai konsekuensinya, harga energi global terutama gas alam dunia cenderung turun karena permintaan energi untuk kebutuhan menghangatkan rumah juga turun.
”Realignment of expectation”
Menghadapi prospek resesi global 2023, IMF bertindak seperti petugas air traffic controler yang membimbing pendaratan pesawat ke arah jalur udara yang aman (approach and landing phase of flight). Dengan begitu, pesawat dapat mendarat dengan empuk (soft landing).
Apa yang dilakukan oleh IMF mengingatkan kita pada konsep realignment of expectation. Mereka menyadari bahwa efek pengumumannya cukup signifikan sehingga para pelaku global tidak terlalu pesimistis berlebihan dalam menyikapi prospek resesi dunia.
Ide kredibel membimbing soft landing perekonomian global ini dan anjuran moderasi dalam kenaikan suku bunga bunga global untuk memerangi inflasi mulai muncul dalam artikel Maurice Obsfeld, mantan Chief Economist IMF, yang menulis artikel dengan judul ”Central banks are raising interest rate nearly everywhere, risking a global recession”.
Cara pandang di luar pakem (out of the box) ini kemudian juga muncul dalam narasi pada satu konferensi pendamping pra-pertemuan G20 di Bali, di mana seorang narasumber IMF mengusulkan posisi seimbang dalam mengambil kebijakan, mengendalikan ekspektasi inflasi tanpa mengganggu pertumbuhan, karena dunia sedang dalam proses pemulihan dari resesi dunia akibat pandemi Covid-19.
Publikasi World Economic 2023 bernada positif-konservatif dengan merevisi pertumbuhan ke atas. Namun, masyarakat global tetap diingatkan bahwa faktor-faktor risiko masih tetap ada.
Pernyataan yang lebih eksplisit diumumkan dalam World Economic Outlook bulan Oktober 2022, di mana sepertiga negara-negara di dunia akan mengalami resesi, memberi sinyal dua pertiga lainnya dengan kebijakan yang tepat akan dapat menghindari resesi.
Akhirnya adalah publikasi World Economic 2023 yang bernada positif-konservatif dengan merevisi pertumbuhan ke atas. Namun, masyarakat global tetap diingatkan bahwa faktor-faktor risiko masih tetap ada, seperti konflik Rusia-Ukraina yang tetap berkecamuk dan memengaruhi rantai pasokan dunia, termasuk energi dan pangan.

Dampak Global dan The Fed
Bank sentral AS, The Fed, tampaknya juga memperhatikan sinyal yang diberikan oleh IMF. Pengamatan pada data sisi produksi AS menunjukkan kenaikan suku AS sebelumnya sebesar 75 dan 50 basis poin tidak hanya berdampak pada sisi permintaan, tetapi juga pada sisi produksi. Hal ini ditunjukkan oleh indeks manajer pengadaan sektor manufaktur (PMI) yang anjlok signifikan dari zona ekspansi 50,2 pada Oktober ke zona kontraksi 46,2 di bulan Desember 2022.
Pada pertemuan 31 Januari-1 Februari 2023, The Fed memutuskan untuk memoderasi kenaikan suku bunganya ke 25 basis poin. Kenaikan ini untuk menjaga reputasi The Fed dengan tetap mengambil postur elang atau rajawali, tetapi pada saat yang sama kenaikan yang lebih rendah juga menunjukkan potensi moderasi di masa mendatang. Keputusan ini didasari juga oleh penurunan tekanan inflasi di AS ke angka 6,5 persen pada bulan Desember 2022 dari 7,1 persen di bulan November.
Seperti yang diprediksi oleh model Exchange Rate Overshooting (Dornbusch; 1976), dollar AS adalah yang paling cepat terdampak. Dollar AS sebelumnya dianggap terlalu kuat sehingga tanpa harus menurunkan suku bunga, sinyal pelunakan kenaikan suku bunga The Fed sudah cukup untuk membawa penurunan indeks dollar AS.
Indeks dollar menurun tajam dari angka tertingginya sekitar 114 pada akhir bulan September 2022 mendekati paritas di 101 sampai 102 pada awal Februari. Bagi AS, pelemahan dollar akan menolong daya saing ekspor. Pada saat yang sama, juga akan menurunkan biaya impor negara-negara lain yang menggunakan denominasi dollar.
Harapannya adalah menjadikan resesi dunia, kalaupun sampai terjadi, paling tidak merupakan pertumbuhan lambat, bukan kontraksi tajam, meski mungkin inflasi tetap di atas rerata normal.
Perkembangan ini membawa dampak pada kurs rupiah per dollar AS. Ekspektasi melihat ke depan mulai membawa kurs tengah menjauhi Rp 15.700-an di awal September 2022, untuk kemudian mendekati Rp 15.000 di pertengahan Januari. Di sekitar waktu pertemuan The Fed terkini, kurs tengah rupiah berada di Rp 14.800-Rp 14.900 per dollar AS.
Walaupun lebih lambat, prospek pertumbuhan global yang lebih baik direspons oleh sisi produksi, menunjukkan para produsen dalam rantai pasokan dunia juga berciri forward looking. Angka indeks PMI dunia, walaupun masih dalam zona kontraksi (di bawah 50), meningkat dari 48,2 di bulan Desember 2022, mendekati zona ekspansi 49,8 di bulan Januari 2023.
Baca juga : Sinyal Resesi Dangkal di AS
Indeks PMI AS masih berada di zona kontraksi, tetapi mulai merayap naik ke angka 46,9 pada Januari 2023, bergerak dari 46,2 di bulan sebelumnya. Dalam kurun waktu yang sama, angka PMI China juga sedikit membaik dari 49 ke 49,3.
Perkembangan indeks PMI dunia ditunjukkan juga oleh ekspor Indonesia. Setelah pandemi mereda, ekspor Indonesia secara konsisten mengalami pertumbuhan double digit sejak Maret 2021. Pada saat indeks PMI dunia mulai menurun, pertumbuhan tahunan ekspor pun mulai melambat, bahkan kemudian memasuki zona satu digit 5,47 persen di November 2022. Perbaikan indeks PMI dunia pada Desember, walaupun masih dalam zona kontraksi, menaikkan kembali pertumbuhannya ke 6,58 persen.
Pembelajaran yang dapat diambil dari uraian di atas menunjukkan potensi signaling game dalam rancangan kebijakan dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi (Drazen; 1998 dan Melosi; 2016). Lembaga keuangan dunia IMF sudah memberikan contoh implementasi yang kemudian secara penuh atau parsial dicoba direplikasi di negara-negara lain, termasuk The Fed di AS, Bank Sentral Kanada, dan lain-lain.
Harapannya adalah menjadikan resesi dunia, kalaupun sampai terjadi, paling tidak merupakan pertumbuhan lambat, bukan kontraksi tajam, meski mungkin inflasi tetap di atas rerata normal. Berkaitan dengan ini, dalam diskursus publik di AS dan Eropa juga mulai muncul topik menghindari resesi ke arah pertumbuhan moderat. Hal ini sesuai dengan konsep self-fulfilling expectation (Hetherrington; 1996 dan Petalas et.al; 2017), di mana ekspektasi dan perilaku publik akan memengaruhi kinerja perekonomian.