Terdapat berbagai spekulasi mengapa muncul penolakan Piala Dunia U-20 oleh dua gubernur di Indonesia. Peristiwa tersebut tidak patut terjadi jika semua pihak memahami sistem prefektur terintegrasi yang dianut Indonesia.
Oleh
IRFAN RIDWAN MAKSUM
·4 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Penolakan terhadap penyelenggaraan Piala Dunia U-20 yang akan menghadirkan tim nasional Israel, oleh Gubernur Bali dan Gubernur Jawa Tengah sebagai pemimpin daerah, belum lama lalu, perlu diselisik dari sudut pandang administrasi publik dan pemerintahan. Hal tersebut penting guna memperjelas polemik yang berkembang agar bisa menjadi pembelajaran yang baik ke depan.
Dampak paling akut dari peristiwa tersebut adalah bahwa kejadian itu bisa menjadi preseden kelak di kemudian hari, yang bisa menuntun pada kegagalan dalam tata kelola negara-bangsa.
Kedudukan pemimpin daerah
Secara teori dan konsep, kedudukan pemimpin daerah di Indonesia, untuk gubernur, menganut sistem prefektur terintegrasi, yang dapat ditentukan dari dua tolok ukur (Fried, 1960). Pertama, dari sisi jabatannya, gubernur mengandung dua jabatan (dual role), sebagai wakil pemerintah sekaligus sebagai kepala daerah.
Sebagai wakil pemerintah, gubernur adalah perpanjangan tangan dari presiden sebagai kepala pemerintahan nasional di tempatnya. Secara konseptual, gubernur sebagai wakil pemerintah tidak dibenarkan melawan kebijakan pemerintah. Gubernur, dalam hal ini, hanya dibolehkan menjalankan perintah.
Namun, dalam prefektur terintegrasi, gubernur di Indonesia juga berperan sebagai kepala daerah. Ruang ini adalah tempat gubernur menjalankan otonomi daerah sesuai aspirasi dan kebutuhan masyarakat setempat, dalam koridor urusan pemerintahan, yang menjadi tanggung jawabnya pada rel desentralisasi (penyerahan wewenang), menurut ketentuan yang berlaku.
Pada level kabupaten/kota, pada sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) saat ini, untuk bupati/wali kota, hanya dianut peran sebagai kepala daerah, dan mereka tak berperan sebagai wakil pemerintah.
Kedua, dari sisi wilayah pemerintahan. Pada jenjang provinsi sebagai lokus gubernur bekerja, terdapat dua status yang simetris (berimpitan), yakni sebagai wilayah administrasi pemerintahan untuk operasi gubernur sebagai wakil pemerintah sekaligus sebagai daerah otonom untuk operasi gubernur sebagai kepala daerah.
Impitan itu juga terjadi pada level kabupaten/kota. Hanya bedanya, pejabatnya tidak bertindak sebagai wakil pemerintah. Ketidakkonsistenan—di mana bupati/wali kota yang menerima urusan umum seperti gubernur, tidak bertindak sebagai wakil pemerintah, sementara gubernur bertindak sebagai wakil pemerintah—ini mungkin kekeliruan yang dapat ditemukan dalam peraturan perundangan RI, terkait sistem pemerintahan daerahnya.
PEMERINTAH KOTA SURABAYA
FIFA saat pengecekan kesiapan Stadion Gelora Bung Tomo di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (25/2/2023), untuk penyelenggaraan Piala Dunia U-20. Surabaya termasuk dalam enam kota penyelenggara turnamen bersama Palembang, Jakarta, Bandung, Solo, dan Gianyar (Bali).
Sulit diterima akal sehat
Sementara itu, jika dilihat dari pertautan antara wakil pemerintah dan wilayah administrasinya, dan kepala daerah dengan daerah otonomnya, terlihat adanya operasi dua asas pemerintahan. Yang pertama, akibat dianutnya dekonsentrasi. Yang kedua, akibat dianutnya desentralisasi.
Dekonsentrasi merupakan asas pemerintahan yang bekerja untuk kepentingan nasional agar pemerintahan nasional mampu beroperasi efektif ke seluruh penjuru Republik. Sementara desentralisasi beroperasi untuk kepentingan otonomi daerah karena keanekaragaman bangsa perlu ditampung dalam sistem pemerintahan.
Dekonsentrasi mewakili kepentingan nasional, sedangkan desentralisasi yang mewadahi otonomi daerah untuk kepentingan daerah otonom. Dari sisi ini, menurut logika administrasi publik dan pemerintahan, dekonsentrasi harus diletakkan di atas desentralisasi. Kepentingan nasional mewakili kedaulatan negara, sedangkan daerah otonom berada di bawah kedaulatan negara.
Jika terjadi gubernur melawan kepentingan nasional, ada kemungkinan gubernur tidak memahami sistem prefektur terintegrasi ini, atau berada dalam tekanan politik yang lebih luas.
Dengan demikian, hendaknya gubernur mampu menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan daerah otonomnya. Jika terjadi gubernur melawan kepentingan nasional, ada kemungkinan gubernur tidak memahami sistem prefektur terintegrasi ini, atau berada dalam tekanan politik yang lebih luas.
Kasus penolakan oleh dua gubernur terhadap penyelenggaraan Piala Dunia U-20 di Indonesia semakin aneh sebab kedua gubernur notabene satu partai dengan kepala pemerintahan.
Amat sulit diterima akal jika gubernur di Indonesia tidak memahami sistem wakil pemerintah dan sangat kecil kemungkinan menolak kepentingan nasional, apalagi mereka berasal dari partai yang sama dengan Presiden.
Kepentingan global?
Pelaksanaan perhelatan internasional tentu tidak hanya melibatkan kepentingan sebuah negara-bangsa, tetapi juga mencakup kepentingan global. Kepentingan global yang bekerja ini terus-menerus memengaruhi cara kerja tiap negara-bangsa dalam berbagai event, termasuk pelaksanaan Piala Dunia U-20.
TOTOK WIJAYANTO
Bacuya, maskot Piala Dunia U-20 2023, menyapa warga disepanjang Jalan MH Thamrin, Jakarta, saat peluncurannya, Minggu (18/9/2022). Maskot Piala Dunia U-20 ini merupakan seekor badak jawa asli Indonesia. Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 yang akan berlangsung pada 20 Mei-11 Juni 2023.
Seperti disampaikan oleh Presiden Joko Widodo, proses pemilihan lokasi oleh FIFA dilakukan sedemikian rupa, sebelum akhirnya ditetapkan bahwa Indonesia akan menjadi venue dari ajang Piala Dunia U-20 tersebut.
Terdapat berbagai spekulasi mengapa muncul penolakan yang cukup aneh oleh dua gubernur di Indonesia tersebut.
Yang jelas, yang muncul kemudian adalah terpuruknya penilaian sebagian warga masyarakat terhadap dua gubernur tersebut. Namun, bagi yang memahami liku-liku pemerintahan, masalahnya tidak sesederhana itu, terlebih dua gubernur tersebut berasal dari partai yang sama dengan Presiden.
Peristiwa tersebut tidak patut terjadi jika semua pihak memahami sistem prefektur terintegrasi yang dianut bangsa Indonesia dengan baik.
Kita harus menghindari jangan sampai kepentingan sesaat mengalahkan instrumen tata kelola negara-bangsa sehingga berpotensi membawa keruwetan tersendiri.
Semua pihak harus memahami sistem yang dibangun oleh bangsa Indonesia sendiri. Jika tidak, akan terjadi kekeliruan tata kelola negara-bangsa, untuk kepentingan sesaat dan amat pragmatis.
Kita harus menghindari jangan sampai kepentingan sesaat mengalahkan instrumen tata kelola negara-bangsa sehingga berpotensi membawa keruwetan tersendiri. Demikian pula, hindari jebakan keruwetan instrumen tata kelola karena kesalahan sendiri yang menggeser terwujudnya visi-misi negara bangsa.
Irfan Ridwan Maksum,Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik; Ketua Pusat Studi DeLOGO-FIA-UI