Dramaturgi Piala Dunia U-20
Kesan telah terjadi politisasi terhadap pembatalan Piala Dunia U-20 di Indonesia sulit dihindari. Banyak yang kecewa. Namun, yang penting saat ini menyelamatkan mental pemain dan membangkitkan kembali semangat mereka.

Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA) secara resmi telah membatalkan gelaran Piala Dunia U-20 2023 di Indonesia. ”Karena Keadaan Saat Ini”, hanya itu alasan yang diungkap terkait pencabutan status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 yang ditetapkan pada FIFA Council Meeting di Shanghai, China, 24 November 2019.
Presiden FIFA Gianni Infantino kala itu mengumumkan bahwa Indonesia terpilih sebagai tuan rumah, mengalahkan Brasil dan Peru yang juga mengajukan diri untuk menjadi tempat penyelenggaraan Piala Dunia U-20 2021. Namun, Piala Dunia U-20 2021 ditunda hingga 2023 akibat pandemi Covid-19.
Berbagai persiapan dilakukan setelah Presiden Joko Widodo mengirimkan surat kepada FIFA yang dilampiri surat jaminan dari Menteri Keuangan, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informatika, serta Kapolri pada Agustus 2019.
Awalnya sepuluh stadion diajukan sebagai tempat pertandingan Piala Dunia U-20. Namun, dari sepuluh stadion itu, hanya enam yang dipilih oleh FIFA, yakni Stadion Jakabaring (Palembang), Stadion Utama Gelora Bung Karno (Jakarta), Stadion Si Jalak Harupat (Bandung), Stadion Manahan (Solo), Stadion Gelora Bung Tomo (Surabaya), dan Stadion Kapten I Wayan Dipta (Gianyar).
Baca juga: Isu Palestina-Israel dan Politisasi Piala Dunia U-20
Hingga, tiba-tiba Gubernur Bali I Wayan Koster mengeluarkan pernyataan penolakan terhadap kedatangan tim Israel dengan alasan konstitusi. Undian pembagian grup Piala Dunia U-20 yang rencananya dilakukan pada 31 Maret pun dibatalkan oleh FIFA. Penolakan Koster menjadi alasan pembatalan undian karena tidak mungkin dilakukan tanpa keikutsertaan seluruh peserta.
Sejumlah penolakan terhadap kedatangan Israel juga disuarakan pihak lain, salah satunya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Alasannya sama, Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Banyak asumsi khalayak menyebut bahwa pencabutan status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 dikarenakan adanya penolakan terhadap Israel ini.
Kesiapan
Meski sudah ditunjuk sejak 2019, hingga jelang pelaksanaan masih saja ada kendala teknis dan nonteknis. Selain penolakan terhadap kehadiran Israel, secara persiapan Indonesia juga belum siap 100 persen untuk menggelar perhelatan yang akan berlangsung 20 Mei hingga 11 Juni 2023 tersebut.
Kita bisa menyimak berita-berita di berbagai media mengenai survei stadion yang akan menjadi tempat pertandingan Piala Dunia U-20. Masih ada saja temuan FIFA terkait ketidaklayakan stadion. Padahal, kick off Piala Dunia U-20 sudah tinggal hitungan puluhan hari lagi.
Konser Blackpink di Stadion Utama Gelora Bung Karno beberapa waktu yang lalu pasti juga menjadi salah satu catatan FIFA. Baru kali ini venue yang akan dipakai untuk turnamen sekelas Piala Dunia (meskipun level yunior) dipakai untuk konser grup musik dalam waktu yang berdekatan dengan jadwal pertandingan internasional.
Baca juga: Kegagalan Menjadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20, dari Sepak Bola hingga Politik

Presiden Joko Widodo ketika memberikan keterangan terkait Piala Dunia U-20, 28 Maret 2023, di Istana Merdeka, Jakarta.
Ketidaksiapan ini membuat FIFA harus segera memutuskan untuk mengalihkan Piala Dunia U-20 ke luar Indonesia. FIFA pasti paham peta politik di Indonesia yang tak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel sehingga bakal ada penolakan terhadap kedatangan Israel ke Indonesia. Siapa yang menjamin keamanan tim Israel dan tak didemo setiap hari meski ada jaminan keamanan?
Mencoret Israel dari kontestasi Piala Dunia U-20 sebuah hal yang mustahil bagi FIFA. Mereka tak memiliki kekuatan dan keberanian untuk mencoret Israel seperti yang mereka lakukan kepada Rusia di Piala Dunia 2022 Qatar. Israel juga berhak tampil di Piala Dunia U-20 karena secara prestasi mereka layak setelah lolos dari kualifikasi zona Eropa.
Di sisi lain, FIFA juga tidak serta-merta bisa seenaknya mencabut Indonesia sebagai tuan rumah dengan alasan persoalan diplomatik dengan Israel. FIFA enggan vis a vis terkait pro dan kontra Israel sehingga mencari alasan lain serta menanti momen yang tepat untuk ”mengeksekusi” Indonesia.
Jika memang Tragedi Kanjuruhan jadi penyebab, harusnya FIFA sudah menjatuhkan sanksi untuk Indonesia sejak saat itu juga, termasuk mencabut Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023. Namun, nyatanya, FIFA tak menghukum Indonesia dan baru menggunakan alasan itu sekarang.
Saat itu Gianni Infantino memiliki kepentingan dengan Indonesia, dalam hal ini Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), terkait suara dalam pemilihan presiden FIFA. Infantino sangat cerdik menjadikan Tragedi Kanjuruhan sebagai alasan. FIFA seolah sengaja menyimpan persoalan Tragedi Kanjuruhan.
Duka keluarga korban Tragedi Kanjuruhan menjadi ”berkah” bagi FIFA untuk menjadi alasan memindahkan Piala Dunia U-20 dari Indonesia.
Mencoret Israel dari kontestasi Piala Dunia U-20 sebuah hal yang mustahil bagi FIFA. Mereka tak memiliki kekuatan dan keberanian untuk mencoret Israel seperti yang mereka lakukan kepada Rusia di Piala Dunia 2022 Qatar.
Olahraga dan politik
Israel memastikan diri lolos ke putaran final Piala Dunia U-20 setelah lolos hingga semifinal Euro U-19, Juni 2022.
Ajang ini juga sebagai babak kualifikasi zona Eropa untuk menentukan siapa saja yang akan mewakili Eropa untuk datang ke Indonesia. Inggris, Perancis, Italia, Slowakia, dan Israel tampil sebagai yang terbaik di kawasan Eropa.
Lolosnya Israel sudah pasti diketahui oleh FIFA dan Indonesia sebagai tuan rumah. Gelombang penolakan sudah mulai muncul saat itu. Hanya saja desibelnya masih kecil dan belum masif.
Dua bulan jelang dihelat, penolakan itu semakin kencang. Hal itu tidak lepas dari siapa memanfaatkan siapa dalam momentum yang tepat.
Teriakan jangan campur adukkan olahraga dengan politik sepertinya hanya slogan belaka. Suka atau tidak suka, sejak dulu olahraga selalu dicampuradukkan dengan politik, lebih-lebih sepak bola.
Bung Karno pernah memerintahkan tim nasional Indonesia mundur dari Piala Dunia 1958 karena harus menghadapi Israel di kualifikasi zona Asia. Indonesia juga pernah dikucilkan dari sport family ketika mendapat sanksi dari Komite Olimpiade Internasional (IOC) saat menolak kehadiran kontingen Israel dan Taiwan di Asian Games 1962 di Jakarta.
Dua tahun berselang setelahnya, Indonesia bersama China dan Korea Utara juga memboikot Olimpiade Tokyo 1964 dengan alasan politik.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menjadi salah satu yang tegas menolak kedatangan Israel. Dua kadernya, I Wayan Koster dan Ganjar Pranowo, menyebut penolakan itu mengacu pada pandangan ideologis Bung Karno yang tak akan pernah mengakui Israel selama Palestina belum merdeka.
Sebuah diksi alasan yang logis, wajar, dan masuk akal karena partai berlambang banteng bermoncong putih ini memiliki aliran ideologi Bung Karno.

Ketua Umum PSSI Erick Thohir (tengah), yang didampingi Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali (kiri) serta CEO Juaraga Mochtar Sarman (kanan), menandatangani kaus sebagai bagian dari seremoni peluncuran merchandise resmi Piala Dunia U-20 2023, Rabu (8/3/2023), di Jakarta.
Kasak-kusuk menyebut bahwa langkah PDI-P ini untuk memuluskan jalan Ganjar Pranowo dan Erick Thohir pada kontestasi politik 2024. Tidak ada yang salah dari yang dilakukan oleh kader-kader PDI-P, toh apa yang dilakukan sesuai dengan konstitusi.
Yang menjadi pertanyaan, apakah strategi ini efektif bagi partai dan kader yang akan mengikuti kontestasi politik? Atau justru menjadi blunder yang dapat menurunkan elektabilitas dan kepercayaan serta dukungan dari masyarakat?
Semua langkah politik pasti sudah ada perhitungannya. PDI-P pun pasti sudah berhitung untung dan ruginya. Masyarakat yang menyukai sepak bola (dan olahraga lain) memiliki kekuatan di media sosial dan internet. Sementara massa dengan basis agama (Islam) memiliki kekuatan pada aksi demo massa dan diskursus-diskursus debat.
Isu sepak bola dengan menolak kedatangan Israel ke Indonesia sekarang menjadi trending topic, bahkan hingga internasional. Namun, pertanyaannya, seberapa lama isu ini mampu bertahan? Sebanyak 135 orang meninggal dan ratusan lainnya mengalami luka saat Tragedi Kanjuruhan yang tersangkanya hanya dihukum ringan dan sebagian lainnya bebas saja kita sudah mulai lupa.
Namun, mengangkat isu ideologi dengan menolak atau menerima Israel demi penyelenggaraan Piala Dunia U-20 akan terus terbawa, apalagi menjelang kontestasi politik 2024. Sangat mungkin terjadi dalam Debat Calon Presiden 2024, Ganjar Pranowo atau Erick Thohir yang berpeluang besar maju dalam pemilihan akan menerima pertanyaan soal ideologi ini.
Isu sepak bola dengan menolak kedatangan Israel ke Indonesia sekarang menjadi trending topic, bahkan hingga internasional. Namun, pertanyaannya, seberapa lama isu ini mampu bertahan?
Jika moderator bertanya, ”Bagaimana tanggapan Anda yang memilih menolak Israel bermain di Piala Dunia U-20 Indonesia sehingga anak-anak muda calon pemain masa depan Indonesia kehilangan peluang tampil di pentas dunia?” kepada Ganjar, Erick, atau calon presiden dan wakil presiden mana pun yang ”terlibat” dalam penolakan Israel ini akan mudah menjawab pertanyaan itu.
Kira-kira mereka bisa menjawab seperti ini, ”Kami tetap mengacu pada pernyataan Bung Karno. Selama Palestina belum merdeka. Anak-anak muda Indonesia belum kehilangan kesempatan tampil di pentas dunia. Nanti kita buat tim nasional Indonesia yang tangguh. Bisa lolos ke tingkat dunia, baik yunior maupun senior. Bukan melalui tiket gratis sebagai tuan rumah, tetapi lewat jalur prestasi. Pak Erick sudah membuktikan. Peringkat FIFA kita naik dari 170-an ke 150-an. Insya Allah akan terus naik ke 90-an seperti di era 1998 sebagai pencapaian tertinggi kita ranking FIFA.”
Menyelamatkan mental
Palu FIFA sudah diketok. Indonesia batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023. Yang terpenting saat ini adalah menyelamatkan mental pemain-pemain. Mereka tentu sangat terpuruk, sedih, kecewa, dan marah bercampur aduk di dada.
Impian untuk bermain di level internasional membawa bendera Merah Putih tahun ini sudah lenyap. Mereka tidak boleh larut dalam kegalauan.

Presiden Joko Widodo, Sabtu (1/4/2023), bertemu tatap muka dengan tim Indonesia U-22 dan U-20 yang gagal bertanding menyusul pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Tak hanya tim Garuda Muda, pelatih, dan ofisial yang kecewa atas batalnya Piala Dunia U-20 di Indonesia. Orangtua para pemain tim U-20, yaitu Erlangga Setyo Dwi, Alfrianto Nico Saputro, dan Arkhan Fikri , juga melupakan rasa kecewanya.
PSSI harus mendampingi secara psikologis Marselino Ferdinan dan kawan-kawan. Masih bertumpuk kejuaraan yang harus ditatap di depan.
Anak-anak skuad U-20 ini bisa disalurkan ke tim nasional Indonesia U-22 yang akan berlaga di SEA Games Kamboja 2023. Mental mereka harus segera dibangkitkan kembali. Kesedihan yang mendalam tentu berdampak buruk di masa depan. Saatnya bangkit untuk membenahi pengelolaan sepak bola Indonesia menjadi lebih baik.
Bangsa Indonesia pasti lebih bangga menyaksikan tim nasionalnya tampil di Piala Dunia melalui jalur kualifikasi, bukan karena mendapat jatah sebagai tuan rumah. Harapan itu kembali kepada Erick Thohir dan jajarannya di PSSI, tentu dengan dukungan penuh dari negara.
Rosnindar Prio Eko RahardjoDosen Ilmu Komunikasi Universitas Dr Soetomo Surabaya